Share

Bab 56

Penulis: Tifa Nurfa
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-25 19:48:43

Deru suara mobil berhenti di depan rumahku, aku yang memang sudah menunggu kedatangannya, bergegas bangkit untuk membuka pintu. Jam dinding menunjukkan pukul 03.00 dini hari, aku hanya tidur sebentar selepas isya tadi, dan terbangun jam dua belas malam, karena Ayah akan tiba dini hari, jadi mata ini enggan terpejam lagi sampai sekarang.

Aku masukkan anak kunci dan memutarnya ke kanan, meraih daun pintu kemudian membukanya.

Sosok yang sangat kurindukan, kini ada di hadapanku, ialah pahlawanku, superhero yang selalu aku kagumi, yah beliau ayahku, Imran nama ayahku, datang bersama Nuri adikku yang masih kuliah. Kami dua bersaudara.

"Ayah!" Teriakku, sedetik kemudian menghambur ke arahnya dan memeluk beliau yang sudah memasuki pagar rumahku, terlihat Nuri masih membayar taksi online itu.

Beliau melepaskan Tas travel bag yang ada di tangannya, dan menyambut hangat pelukanku.

Aku meraih tangannya dan mencium takzim tangan yang mulai keriput, dengan pembuluh yang timbul di sekitarnya.

"Kamu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 57

    "Rizki di sini aja dulu ya sama Mamah sama Bulek, Mbah mau bicara sama Ayah," titah Ayah pada cucunya yang secara otomatis juga berlaku padaku dan Nuri agar tidak ke depan dulu.Tempe sudah matang, aku segera mengangkatnya dan mematikan kompor."Rizki di sini aja dulu sama Bulek Nuri ya! Nuri, Mbak ke depan dulu ya! Tolong temani Rizki," ucapku, Nuri mengangguk paham.Dengan langkah cepat aku menyusul Ayah yang sudah lebih dulu di depan."A–Ayah!" ucap Mas Yudi dengan ekspresi kaget saat Ayah membuka pintu depan, langkahku terhenti di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang tengah."Ayah, kapan datang?" tanya Mas Yudi seraya berjalan mendekat bermaksud hendak meraih tangan Ayah. Wajahnya terlihat pucat.Plak!Namun, bukanya Ayah memberikan tangannya untuk di cium oleh menantunya, justru dengan cepat tangan itu mengayun dan mendarat di pipi kiri Mas Yudi. Wajahnya yang pias kini memerah karena tamparan yang cukup keras.Mas Yudi tertunduk, mungkin ia menyadari apa sebab Ayah menamparn

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 58

    "Semuanya sudah terlambat Mas! Maaf aku akan tetap melanjutkan gugatan cerai, sebaiknya Mas bersiap, sampai ketemu di pengadilan Mas!" ucapku mantap.Mas Yudi tampak menggelengkan kepalanya, perlahan ia lepaskan genggaman tangannya."Sudah jelas kan Yudi? Niat Sintya sudah bulat," ucap Ayah yang tengah memperhatikan kami."Ayah!" suara Rizki membuat pandangan kami beralih ke arahnya yang tengah berlari ke arah kami."Rizki! Maafkan Ayah ya Nak!" Mas Yudi menyambut hangat, dan mendekap erat tubuh kecilnya.Rizki hanya mengangguk, entah ia paham atau tidak perkataan maaf yang di maksud ayahnya."Ayah Ayo kota makan sama-sama! Sama Mbah Kakung, sama Bulek Nuri juga," ucap anakku pada ayahnya.Mas Yudi mengangguk, akhirnya kami semua duduk dan sarapan bersama, Suasana di meja makan hening, tak ada yang bersuara, hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang terdengar bersahutan. "Mah hari ini aku berangkat ke Bimba di antar sama Ayah boleh nggak?" ucapnya tiba-tiba saat baru saja sele

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 59

    Jemariku menari di atas layar ponsel, mencari kontak nama Budi setelah menemukannya, segera aku menelponnya."Halo Budi! Hari ini bisa aku datang ke kantor? Ada hal yang ingin aku sampaikan.""Baik Sintya, aku tunggu di kantor jam sembilan, ya!"Panggilan telepon aku matikan, setalah membuat janji dengan sang pengacara.Sesuai waktu yang disepakati, aku datang ke kantor pengacara seorang diri, tak lupa membawa surat perjanjian pra nikah yang sebelumnya di berikan Ayah. Aku melajukan kuda besiku membelai jalanan menuju perkotaan, kantornya bertengger di deretan area gedung perkantoran. Suasana hatiku sedikit tenang, karena kini langkahku semakin mudah dengan adanya surat perjanjian itu, dalam hati terus berharap semoga yang aku lakukan ini sedikit bisa memberi pelajaran pada suamiku, yang kini berada dalam pelukan wanita lain.Langit hari ini tampak begitu cerah, awan putih yang membentang di langit biru, nampak begitu indah nan cerah hari ini.Suasana jalanan yang ramai, menambah hir

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 60

    "Eva, Akhirnya rencana Mbak menjodohkanmu dengan Yudi berhasil, dan sedikit lagi Yudi dan Sintya akan bercerai, kau akan menjadi satu-satunya di hidup Yudi."Degh!Apa? Aku seperti kenal pemilik suara itu, suara seorang perempuan yang di tepat di belakangku.Itu suara Mbak Siska, kakak iparku. Aku sedikit memiringkan tubuhku berusaha melirik ke belakang. Tepat dugaanku, Mbak Siska sedang duduk bersama Eva di meja belakangku, posisiku membelakanginya."Iya, Mbak! Tapi kapan donk mereka akan bercerai?" terdengar suara wanita pelak*r itu."Kamu tenang, secepatnya mereka akan bercerai, kemarin Mbak ketemu sama Yudi, dan dia bilang Sintya memang sudah mengajukan gugatan cerainya," ucap Mbak Siska, dengan semangat."Oh ya, bagus deh, biar nanti aku bisa jadi nyonya di rumah itu," sahut perempuan murahan itu."Mbak memang tidak cocok dengan Sintya sejak dulu, tapi Yudi sangat mencintai dia, jadi sulit untuk Mbak memisahkan mereka, dan saat Mbak kenal kamu, Mbak pikir kami lebih cocok berdamp

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 61

    "Kembaliannya ambil aja ya, dan tolong kasih tau mereka jika makanan mereka sudah di bayar, tapi katakan itu saat saya sudah bangkit dari tempat duduk ini," jelasku. Dia mengangguk paham dengan instruksiku."Baik, Bu! Terimakasih!" sahutnya.Aku mulai memasukkan ponselku dan dompetku ke dalam tas, dan beranjak dari tempat dudukku. Baru saja aku melangkah beberapa langkah, terdengar sang waiters memberitahu mereka jika makanan dan minuman mereka telah di bayar."Siapa yang bayar, Mbak!" tanya Mbak Siska."Mbak-Mbak itu yang bayar, Bu?" Aku melenggang hendak keluar kafe, sepertinya waiters itu menunjuk ke arahku.Langkahku semakin menjauh dari mereka tapi aku masih mendengar percakapan mereka, sengaja aku melangkah dengan pelan."Bukankah itu Sintya? Apa maksudnya dia membayar makanan kita? Apa jangan-jangan dia tadi denger semua obrolan kita?" ucap Mbak Siska, dari suaranya terdengar panik."Sintya!" panggil Mbak Siska.Aku yang sudah di ambang pintu keluar, menoleh sebentar ke arahny

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 62

    POV YudiPagi ini aku datang ke rumah Sintya, kedatangan Eva yang menyusulku di rumah itu kemarin, membuat suasana semakin panas, entah harus bagaimana lagi caraku membujuk Sintya untuk mengurungkan niatnya untuk bercerai, memang tindakanku berselingkuh dengan Eva sudah menyakiti hatinya. Tapi apa dia tidak memikirkan perasaan Rizki, dia masih terlalu kecil, untuk memahami kondisi seperti ini.Aarrgghh!Teriakku yang masih berada di dalam kamar ini, menghadap cermin yang memantulkan bayangan wajahku sendiri. Aku mencintai mereka berdua, tak bisakah mereka berdamai, dan keduanya menjadi milikku?Eva sangat mempesona, bahkan dia sangat lihai di atas ranjang. Sintya ibu dari anakku, dia istri yang lembut, dan penurut, meskipun sikapnya menjadi berubah 180 derajat sejak aku ketahuan selingkuh."Ada apa, Mas? Kenapa kamu teriak-teriak begitu?" ucap Eva yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu, karena mendengar teriakanku."Ng–Nggak apa-apa, Va! Maaf, Sayang, aku harus ke rumah Sintya sekar

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 63

    Mendengar kata maafku yang terucap, justru membuat Pak Imran Ayah mertuaku semakin marah, aku hanya pasrah duduk tertunduk di hadapanya, hingga beliau mengatakan sebuah surat perjanjian yang pernah aku tanda tangani sebelum menikahi Sintya.Sontak membuatku mengangkat kepalaku, dan membuat mataku terbuka lebar.Degh! "Su–Surat perjanjian?" tanyaku.Astaghfirullah, surat perjanjian itu, aku memang pernah menandatangani surat perjanjian pra nikah itu. Aku menepuk jidatku, dan berkali-kali aku mengusap kasar wajahku, betapa bodohnya aku. Itu artinya aku akan kehilangan semuanya. Ada rasa nyeri yang menyayat hati aku rasakan.Surat perjanjian yang di ajukan oleh Pak Imran sebelum aku menikahi putrinya, memang awalnya beliau tak menyetujui pernikahan kami, akan tetapi niatku menikahi Sintya begitu tulus, pun dengan Sintya, yang terus mengiba pada Ayahnya agar memberi restu dan bersedia menjadi wali nikah saat itu.Hingga akhirnya beliau mengajakku bicara dan akan merestui pernikahan kami

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 64

    Aku mengantar Rizki ke tempat Bimbanya, usai kami sarapan bersama, jujur ini kali pertama aku mengantarnya ke bimbanya, biasanya ini menjadi rutinitas Sintya. Tapi kali ini, karena Rizki yang meminta, aku bersedia mengantarnya ke tempat bimba.Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, beberapa meter lagi sampai ke tempat bimba anakku, tapi getar ponsel di saku celanaku sangat menggangu, beberapa kali aku abaikan, akhirnya aku menepi sebentar dan melihat siapa yang menghubungiku.Nama Eva tertera di layar ponselku yang masih bergetar, entah kenapa ada sedikit malas untuk mengangkat teleponnya, mungkin karena pikiranku sedang kacau, aku hanya ingin sedikit tenang.Tiga kali sudah aku mengabaikan panggilan masuk dari Eva, namun sepertinya ia tak menyerah, ponselku kembali bergetar. Hingga akhirnya aku geser tombol hijau."Halo Eva ada apa sih? Aku lagi di jalan nih!" ucapku ketus pada wanita yang sudah menjadi istri keduaku di seberang sana."Kamu kenapa sih Mas! Aku cuma mau bilang, aku ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25

Bab terbaru

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 150 (ending)

    Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 149

    Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 148

    Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 147

    Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 146

    "Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 145

    Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 144

    Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 143

    Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 142

    Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K

DMCA.com Protection Status