Aku mulai sibuk membuka laptop melihat laporan bulanan dan mulai mengamati pergerakan bisnis kami.Seketika mata ini membelalak, membuatku ingin mendekatkan wajahku sedikit lebih dekat dengan layar laptop, saat penglihatanku menyapu sebuah data laporan keuangan yang terlihat ganjal. ada dua waktu pengeluaran dana yang lumayan besar untuk keperluan yang sama sekali tidak masuk akal, dua waktu itu berjarak hanya beberapa hari. Tertulis pengeluaran untuk pembelian properti tambahan, dengan nilai barang tak sesuai dengan nominal uang yang di keluarkan."Rizal, pembelian properti tambahan ini siapa yang membuat anggaran? Kenapa banyak sekali? Padahal harga barang itu tidak begitu mahal," ucapku sambil memutar laptop ke arahnya agar terlihat oleh laki-laki di depanku."Yang membuat anggaran Pak Andi, Mbak! Beliau yang mengurusi dana keluar masuk." jawab Rizal."Tapi ... saya dengar Mas Yudi meminta revisi kembali anggaran itu, beliau meminta dana di tambahkan," tambahnya lagi membuat kenin
Aku akui ini kesalahan terbesarku, karena saat membeli dan mengurus surat-surat perizinan usaha dan sertifikat bangunan ini, aku menyerahkan sepenuhnya kepada Mas Yudi. Karena aku percaya sepenuhnya karena ketulusanku padanya tentunya.Bagiku mau pake namaku atau nama Mas Yudi itu sama saja, karena kita suami istri, tak pernah aku berpikir akan jadi seperti ini, sungguh aku menyesal begitu mempercayainya dulu.Dulu Mas Yudi terlihat begitu antusias membangun usaha di bidang ini, dan aku aku tak menyangka jika ia akan menyeleweng, kini aku menyesal telah menyetujui semua itu, itulah kenapa sertifikat bangunan ini atas nama Mas Yudi. Sebagai bentuk terimakasih karena aku telah mendukungnya, dan memberinya modal untuk berjalannya usaha ini, ia membeli sebuah rumah atas namaku, rumah yang kami tempati sekarang.Sekarang rasanya aku tak rela jika usaha yang kami rintis dari nol dan sudah berkembang ini akan di nikmati oleh mereka yang sudah menusukku. Yah, aku harus berpikir keras bagaima
Kuurungkan niatku untuk menghampirinya, aku terdiam memperhatikan mereka.Belum juga hilang rasa penasaranku, kini aku di buat terkejut dengan wanita di balik helm yang kini menghampirinya itu.Mbak Siska–Kakak perempuan Mas Yudi. Ya, itu wanita yang aku lihat di halte bus, dan wanita yang menghampirinya, itu kan Eva, perempuan yang sudah menjadi duri di dalam rumah tanggaku, aku tak mungkin salah lihat.Tunggu, bukankah Mbak Siska itu tinggal di luar kota, ikut dengan suaminya. Sejak kapan ia kembali ke kota ini. Dan ada hubungan apa dia dengan perempuan itu.Ah, Aku dibuat bingung sendiri, mereka juga tampaknya sangat akrab, memeluk dan cipika cipiki layaknya teman lama yang baru bersua.Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Astaghfirullah, ini sudah hampir jam 10 sudah terlambat menjemput Rizki, kasihan dia jikalau harus menungguku lama. Aku harus pergi sekarang, meskipun hati ini masih diliputi banyak pertanyaan, perlahan kembali kulajukan kuda besiku, dan mening
Aku coba hubungi nomer lelaki yang masih bergelar suami itu. Ternyata masih belum aktif, kemana dia sebenarnya, tak biasanya ia tak datang ke galeri, juga tak dapat dihubungi.Apa iya dia sedang bersama perempuan itu, ya! tapi siang tadi perempuan sial*n itu bertemu Mbak Siska sendirian. Lalu kemana Mas Yudi.Ah iya aku masih penasaran, ada hubungan apa Mba Siska dengan perempuan itu. Apa ini ada hubungannya dengan retaknya rumah tanggaku. Ah sebaiknya nanti saja aku cari tau, tentang mereka. ******Hari sudah sore, Mas Yudi belum juga pulang. Tak berapa lama suara motor berhenti di depan rumahku, aku singkap sedikit gorden jendela, ternyata Hana. Aku langsung membukakan pintu untuknya dan mempersilahkan masuk."Sin, sudah kamu siapkan apa saja berkas yang harus kamu kumpulkan?" tanya Hana.Usai melakukan panggilan telepon siang tadi, Hana mengirimiku pesan terkait berkas apa saja yang harus aku kumpulkan untuk keperluan balik nama sertifikat itu."Alhamdulillah semuanya sudah lengka
"Tunggu di sini, aku akan mengambilnya." ucapku kemudian meninggalkannya.Setelah mengucapkan itu, aku melangkah ke arah meja. Dari dalam tas yang ada di situ, beberapa lembar berkas kuambil. Kemudian, kepadanya aku sodorkan."Aku mau kamu tanda tangani ini," ucapku.Kupegang lembaran berkas itu sambil berdoa dalam hati agar ia tak membaca isinya."Apa itu?" "Kamu sudah berjanji kan, kalau istri mudamu tak kan tinggal di sini bersamaku. Ini hanya surat perjanjian, kalau Mas akan selalu menepati janji itu, sungguh aku tak mau jika aku harus tinggal satu atap dengan maduku," ucapku dengan sedikit berkaca-kaca, dengan akting begini pasti ia akan segera menandatanganinya, batinku."Owh cuma itu, tentu aku akan selalu menepati janjiku, sini biar Mas tanda tangani surat perjanjian itu." Terlihat matanya berbinar. Mas Yudi pasti mengira aku luluh dan mengizinkannya menikah lagi.Mas Yudi meraih berkas dan pulpen itu dari tanganku, dan tanpa membaca isinya ia menandatangani berkas itu. Yes,
"Mana teh untukku, Sin?" tanya Mas Yudi menghampiriku yang sedang masak nasi goreng dan hampir matang. Kemudian ia menarik kursi dan duduk menungguku menyuguhkan sarapan.Aku tersenyum miring melirik ke arahnya.Tanpa menyahuti pertanyaannya.Aku tuang nasi goreng ke dalam dua piring, dan meletakkannya di meja makan, tepat depan kursi tempat biasa aku duduk, dan di depan kursi biasa Rizki duduk. "Sin, kok nasi gorengnya cuma dua piring, buatku mana, Sin?" tanyanya lagi melihat ke arah nasi goreng yang masih mengepul asap di atasnya. Kemudian menatapku dengan tatapan aneh, tampak bingung."Nasi sisa semalam cuma cukup untuk dua piring, Mas!" jawabku, santai."Lalu aku sarapan apa, Sin?" tanya Mas Yudi, dengan intonasi sedikit meninggi."Bukan kah beberapa hari lalu kamu biasa sarapan bersama calon istri mudamu, Mas!" jawabku sambil mencuci tanganku di wastafel.Mas Yudi membuang napas dengan kasar, sepertinya ia sedikit kesal dengan ucapanku."Bukankah tadi malam, kita udah baikan, Si
Sekitar tiga puluh menit aku sampai di sebuah Mall yang lumayan besar di pusat kota Surabaya ini. Ting! Bunyi pesan masuk berdenting di ponselku yang tersimpan di dalam tas handbag. Segera aku membuka tas, dan mengambil benda pipih itu. [Sin, langsung ke lantai 3 ya, di food court][Oke] balasku.Aku langsung mengamit tangan Rizki dan berjalan menuju Lift. "Mah, kita mau jalan-jalan, ya?" tanya Rizki. Sambil melihat-lihat ke kanan ke kiri, di tengah keramaian Mall ini."Iya, Sayang!" jawabku singkat. Kami menaiki lift menuju lantai tiga sesuai arahan Hana. Tak butuh waktu lama untu sampai ke lantai tiga, aku edarkan pandangan mencari sosok sahabatku."Sintya! Di sini!" Panggil Hana melambaikan tangan ke arahku yang tak jauh dari lift, tampak ia duduk bersama seorang laki-laki, mungkin itu temannya yang akan membantuku mengurusi urusan ini.Aku balas dengan lambaian tangan, kemudian menghampirinya. "Duduk, Sin!" ucap Hana menepuk kursi di sampingnya."Maaf menunggu lama ya, Han?"
"Rizki, Mamah duduk di sana ya, sama Tante Hana dan Om Ferdi, Rizki jangan nakal dan hati-hati ya, kartunya juga jangan hilang ya, Nak!" pesanku sebelum meninggalkannya.Aku beranjak kembali ke meja tempat kami duduk, tak lupa juga aku titip pesan pada pengawas arena bermain, untuk membantu Rizki saat akan menggunakan permainan. Makananku sudah tak sehangat tadi, kulirik makanan Hana dan Ferdi sudah tinggal seperempat, mereka makan cukup lama karena diselingi ngobrol. Aku pun mulai makan, sesekali aku sikut lengan sahabatku yang tampak merah merona pipinya. "Mbak!" Ferdi memanggil salah satu waiters untuk datang ke meja ini. "Minta billnya ya! Dan tolong ini di bereskan," ucapnya dengan sopan.Gadis muda yang menggunakan pakaian seragam restoran ini mengangguk."Baik, Pak!" ucapnya dengan ramah, Tak lama seorang temannya datang dan membereskan meja kami, di susul olehnya membawakan bill pembayaran. Ferdi membaca struknya kemudian memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada