"Tunggu di sini, aku akan mengambilnya." ucapku kemudian meninggalkannya.Setelah mengucapkan itu, aku melangkah ke arah meja. Dari dalam tas yang ada di situ, beberapa lembar berkas kuambil. Kemudian, kepadanya aku sodorkan."Aku mau kamu tanda tangani ini," ucapku.Kupegang lembaran berkas itu sambil berdoa dalam hati agar ia tak membaca isinya."Apa itu?" "Kamu sudah berjanji kan, kalau istri mudamu tak kan tinggal di sini bersamaku. Ini hanya surat perjanjian, kalau Mas akan selalu menepati janji itu, sungguh aku tak mau jika aku harus tinggal satu atap dengan maduku," ucapku dengan sedikit berkaca-kaca, dengan akting begini pasti ia akan segera menandatanganinya, batinku."Owh cuma itu, tentu aku akan selalu menepati janjiku, sini biar Mas tanda tangani surat perjanjian itu." Terlihat matanya berbinar. Mas Yudi pasti mengira aku luluh dan mengizinkannya menikah lagi.Mas Yudi meraih berkas dan pulpen itu dari tanganku, dan tanpa membaca isinya ia menandatangani berkas itu. Yes,
"Mana teh untukku, Sin?" tanya Mas Yudi menghampiriku yang sedang masak nasi goreng dan hampir matang. Kemudian ia menarik kursi dan duduk menungguku menyuguhkan sarapan.Aku tersenyum miring melirik ke arahnya.Tanpa menyahuti pertanyaannya.Aku tuang nasi goreng ke dalam dua piring, dan meletakkannya di meja makan, tepat depan kursi tempat biasa aku duduk, dan di depan kursi biasa Rizki duduk. "Sin, kok nasi gorengnya cuma dua piring, buatku mana, Sin?" tanyanya lagi melihat ke arah nasi goreng yang masih mengepul asap di atasnya. Kemudian menatapku dengan tatapan aneh, tampak bingung."Nasi sisa semalam cuma cukup untuk dua piring, Mas!" jawabku, santai."Lalu aku sarapan apa, Sin?" tanya Mas Yudi, dengan intonasi sedikit meninggi."Bukan kah beberapa hari lalu kamu biasa sarapan bersama calon istri mudamu, Mas!" jawabku sambil mencuci tanganku di wastafel.Mas Yudi membuang napas dengan kasar, sepertinya ia sedikit kesal dengan ucapanku."Bukankah tadi malam, kita udah baikan, Si
Sekitar tiga puluh menit aku sampai di sebuah Mall yang lumayan besar di pusat kota Surabaya ini. Ting! Bunyi pesan masuk berdenting di ponselku yang tersimpan di dalam tas handbag. Segera aku membuka tas, dan mengambil benda pipih itu. [Sin, langsung ke lantai 3 ya, di food court][Oke] balasku.Aku langsung mengamit tangan Rizki dan berjalan menuju Lift. "Mah, kita mau jalan-jalan, ya?" tanya Rizki. Sambil melihat-lihat ke kanan ke kiri, di tengah keramaian Mall ini."Iya, Sayang!" jawabku singkat. Kami menaiki lift menuju lantai tiga sesuai arahan Hana. Tak butuh waktu lama untu sampai ke lantai tiga, aku edarkan pandangan mencari sosok sahabatku."Sintya! Di sini!" Panggil Hana melambaikan tangan ke arahku yang tak jauh dari lift, tampak ia duduk bersama seorang laki-laki, mungkin itu temannya yang akan membantuku mengurusi urusan ini.Aku balas dengan lambaian tangan, kemudian menghampirinya. "Duduk, Sin!" ucap Hana menepuk kursi di sampingnya."Maaf menunggu lama ya, Han?"
"Rizki, Mamah duduk di sana ya, sama Tante Hana dan Om Ferdi, Rizki jangan nakal dan hati-hati ya, kartunya juga jangan hilang ya, Nak!" pesanku sebelum meninggalkannya.Aku beranjak kembali ke meja tempat kami duduk, tak lupa juga aku titip pesan pada pengawas arena bermain, untuk membantu Rizki saat akan menggunakan permainan. Makananku sudah tak sehangat tadi, kulirik makanan Hana dan Ferdi sudah tinggal seperempat, mereka makan cukup lama karena diselingi ngobrol. Aku pun mulai makan, sesekali aku sikut lengan sahabatku yang tampak merah merona pipinya. "Mbak!" Ferdi memanggil salah satu waiters untuk datang ke meja ini. "Minta billnya ya! Dan tolong ini di bereskan," ucapnya dengan sopan.Gadis muda yang menggunakan pakaian seragam restoran ini mengangguk."Baik, Pak!" ucapnya dengan ramah, Tak lama seorang temannya datang dan membereskan meja kami, di susul olehnya membawakan bill pembayaran. Ferdi membaca struknya kemudian memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada
Aku menoleh ke arah tempat Rizki, tampak ia masih asyik bermain, aku hendak menemuinya dan mengajaknya pulang.Baru saja aku bangun dari tempat dudukku, dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat kukenal, bahkan baju yang di kenakannya itu adalah baju yang aku belikan, pemandangan ini seketika membuat dada ini kembali sesak. Meskipun rasa cintaku pada Mas Yudi berlahan pudar, semenjak aku memergokinya bergumul dengan perempuan murahan itu, tapi tetap saja rasa sakit hati itu tetap ada.Mas Yudi! Yah, yang aku lihat itu Mas Yudi, ia sedang berjalan bersama perempuan jalangnya itu, tangan kanannya merangkul bahu wanita murahan itu, sedangkan wanita itu tampak senang, sesekali mencium pipi lelaki yang masih sah suamiku itu. Aku menatap nyalang punggungnya yang makin menjauh.Ingin kuhampiri mereka untuk meluapkan rasa kesalku, tapi semua itu percuma keduanya sama-sama tak punya adab.Kuurungkan niatku untuk menghampiri mereka, percuma saja jika aku marah-marah pada kedua manusia tak ada
Aku meraih ponsel pintarku yang tergeletak di atas nakas, aku menghubungi Rizal ingin menanyakan kodisi galeri, apakan semua baik-baik saja."Halo, Rizal! Gimana kondisi hari ini, semua berjalan lancar? Apa hari ini Mas datang ke galeri?" tanyaku bertubi-tubi."Halo, Mbak Sintya, santai Mbak! nanya satu-satu donk!" Terdengar suara Rizal terkekeh, di seberang sana."Maaf ya, Zal! Mbak, kan lagi banyak masalah, jadi begini deh," jawabku."Semua berjalan lancar, Mbak! Kerjasama dengan para klien juga berjalan lancar. Mas Yudi dari pagi di sini, tapi saat makan siang tadi beliau keluar, hingga sekarang belum kembali," jawab Rizal.Sudah kuduga, pasti sedang asyik jalan-jalan bersama wanita jalang itu, di mall. Sudah menjadi tabiat lelaki itu sekarang, jika sudah bermain gila ia akan lupa semuanya termasuk urusan pekerjaannya.Rasanya muak dan aku tak sabar mengambil alih semuanya, aku ingin lihat bagaimana ekspresi dua manusia itu saat menyadari semuanya, aku yang terlihat diam dan lemah
Pov YudiSintya sudah mengetahui hubunganku dengan Eva, aku sungguh kaget bukan kepalang, tak menyangka Sintya datang ke rumah Eva tepat saat kami sedang melakukan hubungan intim. Rasa kaget, malu, hina semua bercampur jadi satu.Kata maaf yang tulus kuucapkan pun seakan tak berarti apa-apa bagi Sintya. Nasi sudah menjadi bubur, jika aku di suruh memilih Sintya atau Eva, aku ingin memiliki keduanya, Eva sudah menemaniku dari titik nol, bahkan ia rela aku ajak pindah ke kota kelahiranku ini, dan memulai usaha dekor dari nol, ia pun rela memberikan semua uang tabungan miliknya untuk membangun semua impianku.Tapi aku tak bisa menolak pesona Eva yang begitu mampu membangkitkan semangatku, di saat Sintya mulai sibuk di rumah, diam-diam aku menjalin hubungan dengan klienku yang cantik dan mempesona itu.Ah sudahlah, semua sudah terjadi apa mau di kata. Aku yakin, lama-lama Sintya pasti mau menerima Eva, ia sangat mencintaiku dan aku yakin ia akan menerima Eva menjadi madunya. Buktinya kem
"Mas Yudi, kamu kemana aja sih! Beli minum aja lama banget!" rajuknya."Maaf, Sayang! Tadi Mas sekalian cari ATM, jadi agak lama. Kamu sudah selesai belanjanya? udah donk jangan ngambek," rayuku mencolek pipi mulusnya. Ia sedikit tersipu, karena beberapa SPG toko tersenyum melihat kami."Sudah tuh, di kasir tinggal bayar." Sintya menunjuk kasir dengan dagunya."Berapa total semuanya, Mbak?" tanyaku pada petugas kasir. Setelah semua belanjaan Eva selesai di scan."Totalnya jadi dua juta enam ratus ribu rupiah, Pak!" jawabnya.Deg! Uang cash yang aku ambil di ATM tadi tidak cukup untuk membayar belanjaan Eva, aku sedikit gugup melihat isi dompetku."Kenapa, Mas! Bukanya kamu tadi abis ambil uang di ATM kan? Kenapa bingung gitu?" tanya Eva mungkin melihat ekspresiku."Ng–Nggak apa-apa, Sayang! Mbak, pakai kartu debit bisa ya, Mbak?" ucapku menyerahkan kartu ATMku pada wanita cantik petugas kasir itu."Bisa Pak." jawab petugas kasir bernama Intan, terlihat dari nametag yang tersemat di d