Pov YudiSintya sudah mengetahui hubunganku dengan Eva, aku sungguh kaget bukan kepalang, tak menyangka Sintya datang ke rumah Eva tepat saat kami sedang melakukan hubungan intim. Rasa kaget, malu, hina semua bercampur jadi satu.Kata maaf yang tulus kuucapkan pun seakan tak berarti apa-apa bagi Sintya. Nasi sudah menjadi bubur, jika aku di suruh memilih Sintya atau Eva, aku ingin memiliki keduanya, Eva sudah menemaniku dari titik nol, bahkan ia rela aku ajak pindah ke kota kelahiranku ini, dan memulai usaha dekor dari nol, ia pun rela memberikan semua uang tabungan miliknya untuk membangun semua impianku.Tapi aku tak bisa menolak pesona Eva yang begitu mampu membangkitkan semangatku, di saat Sintya mulai sibuk di rumah, diam-diam aku menjalin hubungan dengan klienku yang cantik dan mempesona itu.Ah sudahlah, semua sudah terjadi apa mau di kata. Aku yakin, lama-lama Sintya pasti mau menerima Eva, ia sangat mencintaiku dan aku yakin ia akan menerima Eva menjadi madunya. Buktinya kem
"Mas Yudi, kamu kemana aja sih! Beli minum aja lama banget!" rajuknya."Maaf, Sayang! Tadi Mas sekalian cari ATM, jadi agak lama. Kamu sudah selesai belanjanya? udah donk jangan ngambek," rayuku mencolek pipi mulusnya. Ia sedikit tersipu, karena beberapa SPG toko tersenyum melihat kami."Sudah tuh, di kasir tinggal bayar." Sintya menunjuk kasir dengan dagunya."Berapa total semuanya, Mbak?" tanyaku pada petugas kasir. Setelah semua belanjaan Eva selesai di scan."Totalnya jadi dua juta enam ratus ribu rupiah, Pak!" jawabnya.Deg! Uang cash yang aku ambil di ATM tadi tidak cukup untuk membayar belanjaan Eva, aku sedikit gugup melihat isi dompetku."Kenapa, Mas! Bukanya kamu tadi abis ambil uang di ATM kan? Kenapa bingung gitu?" tanya Eva mungkin melihat ekspresiku."Ng–Nggak apa-apa, Sayang! Mbak, pakai kartu debit bisa ya, Mbak?" ucapku menyerahkan kartu ATMku pada wanita cantik petugas kasir itu."Bisa Pak." jawab petugas kasir bernama Intan, terlihat dari nametag yang tersemat di d
Sore hari seperti janjiku, aku kembali ke rumah Eva."Mas, kamu kapan akan menceraikan istrimu?" tanya Eva, padaku yang baru saja tiba dan merebahkan tubuhku di sofa."Eva, Kamu tak keberatan kan, jika kamu jadi yang kedua, aku tak bisa jauh dari Rizki anakku," jawabku. Raut wajahnya berubah masam mendengar jawabanku."Kamu tenang aja, Sayang! Aku janji akan lebih banyak waktuku bersama kamu," tambahku lagi merayunya."Bener, ya! Aku mau kamu lebih banyak waktu di sini, sama aku," sahutnya dengan manja. Aku tersenyum. "Dua Minggu lagi jadi kan kamu nikahin aku, aku udah bilang sama orang tuaku, dan mereka akan kemari minggu depan," tambahnya lagi. Aku terdiam sejenak menatap wajah ayunya."Iya jadi donk, Sayang! Kamu udah bilang juga kan sama orang tuamu kalau kita akan menikah secara siri terlebih dahulu?" tanyaku."Iya aku udah bilang kok, dan mereka nggak keberatan, apalagi calon mantunya seorang pengusaha dekor, mereka pasti bangga aku punya suami orang kaya sepertimu, Mas!" Eva
Malam ini aku akan tinggal di rumah ini sebagai sepasang pengantin baru. Entah kenapa aku justru kepikiran Sintya dan Rizki. Ah, Mungkin karena saat acara ijab kabul tadi Sintya tak hadir di sini. "Mas! Kok bengong, sih!" ucap Eva tiba-tiba, mengagetkan aku yang sedang duduk di teras rumahnya."Nggak apa-apa kok, Sayang!" kilahku melempar senyum ke arah wanita yang sudah sah secara agama ini."Ayo, masuk! Bapak mau bicara," ucapnya kemudian meraih tanganku dan menggandengnya masuk ke dalam rumah.Pak Burhan dan Ibu Ita kedua orang tua Eva, serta Ari adik laki-lakinya tengah duduk di ruang tengah."Duduk Yudi, Bapak pengin ngobrol-ngobrol aja sama kamu," ucap Pak Burhan.Aku mengangguk kemudian duduk berbaur dengan mereka."Jadi kamu ini seorang pengusaha dekor ya Yud?" tanya Pak Burhan."Iya Pak, Alhamdulillah, usaha yang saya rintis dari nol kini mulai berkembang," jawabku santai, sambil menikmati teh hangat dan pisang goreng yang di hidangkan oleh ibu mertuaku."Gini, Yudi, Bapak s
Tak berapa lama pesan darinya kembali masuk.[Makasih, Mas! Nanti sore pulang ke rumah Eva lagi ya, Mas.] Disertai emoticon kiss with heart.Aku tersenyum, tadinya aku berencana pulang ke rumah Sintya, tapi ...Tak ada salahnya malam ini aku kembali ke rumah Eva, menikmati masa-masa pengantin baruku bersamanya. Lagi pula aku malas bertengkar dengan Sintya, gumamku.Sore hari aku pulang ke rumah Eva, saat aku sampai di Eva sudah cantik seperti hendak pergi ke suatu tempat."Kamu mau kemana, Sayang?" tanyaku padanya."Aku mau ke salon sebentar ya, Sayang," jawabnya sambil meraih tas tangan yang tergeletak di sofa."Mau aku antar?" "Tak perlu, Sayang. Salonnya deket kok, aku bawa motor sendiri aja," elaknya."Oke, baiklah. Hati-hati ya."Ia mengangguk dan melenggang keluar rumah. Aku sedikit heran padanya, suami pulang bukannya di bikinin teh atau makanan, malah pergi ke salon. Ah, mungkin ia memang sudah ada janji dengan pemilik salon, karena biasanya sebelum ia ke salon, ia membuat ja
Nah benar kan, kemarahan Sintya pasti sudah mereda, buktinya kini dia menghubungiku. Karena sudah dua hari ini aku tidak pulang ke rumah, pasti Sintya akan memohon dan memintaku untuk pulang. Hatiku tersenyum bangga.Segera Aku geser tombol hijau."Halo, Sin! Ada apa?" tanyaku basa basi."Mas, Rizki sakit dari kemarin nadanya panas, dan dia terus memanggil-manggil kamu, apa kamu bisa pulang sebentar untuk menemui Rizki."Degh!Aku terhenyak mendengar ucapan Sintya dari seberang sana, ternyata dia menghubungiku bukan karena yang aku pikirkan tadi, melainkan Rizki anakku sakit."Kamu sudah bawa ke dokter?" tanyaku."Sudah, tapi panas nya belum juga turun, sore tadi sempat turun, tapi sekarang naik lagi." Terdengar jelas dari suaranya, Sintya sedang di landa kekhawatiran. Aku sempat terdiam beberapa saat."Mas, bisakah kamu pulang sebentar, aku tidak mengharap apapun, selain demi Rizki. Dia terus panggil-panggil nama kamu," ucapnya lagi."Siapa, Mas!" tanya Eva yang tiba-tiba keluar kam
POV Sintya.Aku melangkah keluar kamar, danberikan mereka waktu untuk bersama.Sejak kemarin Rizki demam, entah pertanda atau apalah itu, ia demam tepat ketika Ayah kandungnya mengucap ikrar akad dengan wanita lain. Dan sepanjang ia sakit ia terus memanggil kata Ayah.Pagi tadi sudah aku bawa ia berobat ke dokter, tapi malam ini demamnya kembali naik, membuatku mau tak menghubungi Ayahnya untuk pulang. Aku duduk termenung di sofa ruang tamu. Menatap lurus ke awang-awang, berharap dengan kehadiran Mas Yudi, kondisi Rizki bisa segera membaik.Ddrrrttt. Ddrrrtttt.Suara getar ponsel mengagetkanku, aku cari-cari sumber getaran itu, sedangkan ponsel milikku ada di samping televisi sedang aku charge, masih kuingat aku mematikan ponselku sebelum aku charge.Ternyata bersumber dari ponsel milik Mas Yudi yang tersimpan di saku jaketnya. Jaket yang aku belikan saat kami jalan-jalan dulu, tergeletak di sofa.Tertera nama Eva di layar benda pipih itu, seketika membuatku sebal, pasti ia meminta M
Akhirnya malam ini Mas Yudi tidur di rumah ini, kami bertiga tidur dalam satu ranjang, di kamar utama. Yah, kamarku dan Mas Yudi dulu, dengan Rizki tidur di tengah.Alhamdulillah, demam Rizki sudah turun, aku lega kondisinya sudah mulai stabil. Semalaman aku tidur tak nyenyak, sesekali terbangun untuk cek kondisi anak semata wayangku, ada rasa takut kalau-kalau tiba-tiba panas tinggi saat tengah malam.Usai sholat subuh aku berkutat di dapur, memasak sop ayam. Mas Yudi tampak sedang bersiap-siap, entah ia akan langsung pergi ke galeri, atau pergi ke rumah istri mudanya, sejak semalam ia samasekali tak memegang gawainya, entah sudah berapa kali wanita itu mencoba menghubungi Mas Yudi.Mungkin ia lebih memilih fokus menemani Rizki, yang sedang membutuhkannya."Sintya, duduklah! Aku ingin bicara," ucap Mas Yudi, yang entah sejak kapan duduk di bangku meja makan.Aku menghela napas panjang."Ada apa lagi sih, Mas!" Sahutku ketus."Sin, Mas butuh uang, bisakah kamu transfer balik uang yan
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K