Kuurungkan niatku untuk menghampirinya, aku terdiam memperhatikan mereka.Belum juga hilang rasa penasaranku, kini aku di buat terkejut dengan wanita di balik helm yang kini menghampirinya itu.Mbak Siska–Kakak perempuan Mas Yudi. Ya, itu wanita yang aku lihat di halte bus, dan wanita yang menghampirinya, itu kan Eva, perempuan yang sudah menjadi duri di dalam rumah tanggaku, aku tak mungkin salah lihat.Tunggu, bukankah Mbak Siska itu tinggal di luar kota, ikut dengan suaminya. Sejak kapan ia kembali ke kota ini. Dan ada hubungan apa dia dengan perempuan itu.Ah, Aku dibuat bingung sendiri, mereka juga tampaknya sangat akrab, memeluk dan cipika cipiki layaknya teman lama yang baru bersua.Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Astaghfirullah, ini sudah hampir jam 10 sudah terlambat menjemput Rizki, kasihan dia jikalau harus menungguku lama. Aku harus pergi sekarang, meskipun hati ini masih diliputi banyak pertanyaan, perlahan kembali kulajukan kuda besiku, dan mening
Aku coba hubungi nomer lelaki yang masih bergelar suami itu. Ternyata masih belum aktif, kemana dia sebenarnya, tak biasanya ia tak datang ke galeri, juga tak dapat dihubungi.Apa iya dia sedang bersama perempuan itu, ya! tapi siang tadi perempuan sial*n itu bertemu Mbak Siska sendirian. Lalu kemana Mas Yudi.Ah iya aku masih penasaran, ada hubungan apa Mba Siska dengan perempuan itu. Apa ini ada hubungannya dengan retaknya rumah tanggaku. Ah sebaiknya nanti saja aku cari tau, tentang mereka. ******Hari sudah sore, Mas Yudi belum juga pulang. Tak berapa lama suara motor berhenti di depan rumahku, aku singkap sedikit gorden jendela, ternyata Hana. Aku langsung membukakan pintu untuknya dan mempersilahkan masuk."Sin, sudah kamu siapkan apa saja berkas yang harus kamu kumpulkan?" tanya Hana.Usai melakukan panggilan telepon siang tadi, Hana mengirimiku pesan terkait berkas apa saja yang harus aku kumpulkan untuk keperluan balik nama sertifikat itu."Alhamdulillah semuanya sudah lengka
"Tunggu di sini, aku akan mengambilnya." ucapku kemudian meninggalkannya.Setelah mengucapkan itu, aku melangkah ke arah meja. Dari dalam tas yang ada di situ, beberapa lembar berkas kuambil. Kemudian, kepadanya aku sodorkan."Aku mau kamu tanda tangani ini," ucapku.Kupegang lembaran berkas itu sambil berdoa dalam hati agar ia tak membaca isinya."Apa itu?" "Kamu sudah berjanji kan, kalau istri mudamu tak kan tinggal di sini bersamaku. Ini hanya surat perjanjian, kalau Mas akan selalu menepati janji itu, sungguh aku tak mau jika aku harus tinggal satu atap dengan maduku," ucapku dengan sedikit berkaca-kaca, dengan akting begini pasti ia akan segera menandatanganinya, batinku."Owh cuma itu, tentu aku akan selalu menepati janjiku, sini biar Mas tanda tangani surat perjanjian itu." Terlihat matanya berbinar. Mas Yudi pasti mengira aku luluh dan mengizinkannya menikah lagi.Mas Yudi meraih berkas dan pulpen itu dari tanganku, dan tanpa membaca isinya ia menandatangani berkas itu. Yes,
"Mana teh untukku, Sin?" tanya Mas Yudi menghampiriku yang sedang masak nasi goreng dan hampir matang. Kemudian ia menarik kursi dan duduk menungguku menyuguhkan sarapan.Aku tersenyum miring melirik ke arahnya.Tanpa menyahuti pertanyaannya.Aku tuang nasi goreng ke dalam dua piring, dan meletakkannya di meja makan, tepat depan kursi tempat biasa aku duduk, dan di depan kursi biasa Rizki duduk. "Sin, kok nasi gorengnya cuma dua piring, buatku mana, Sin?" tanyanya lagi melihat ke arah nasi goreng yang masih mengepul asap di atasnya. Kemudian menatapku dengan tatapan aneh, tampak bingung."Nasi sisa semalam cuma cukup untuk dua piring, Mas!" jawabku, santai."Lalu aku sarapan apa, Sin?" tanya Mas Yudi, dengan intonasi sedikit meninggi."Bukan kah beberapa hari lalu kamu biasa sarapan bersama calon istri mudamu, Mas!" jawabku sambil mencuci tanganku di wastafel.Mas Yudi membuang napas dengan kasar, sepertinya ia sedikit kesal dengan ucapanku."Bukankah tadi malam, kita udah baikan, Si
Sekitar tiga puluh menit aku sampai di sebuah Mall yang lumayan besar di pusat kota Surabaya ini. Ting! Bunyi pesan masuk berdenting di ponselku yang tersimpan di dalam tas handbag. Segera aku membuka tas, dan mengambil benda pipih itu. [Sin, langsung ke lantai 3 ya, di food court][Oke] balasku.Aku langsung mengamit tangan Rizki dan berjalan menuju Lift. "Mah, kita mau jalan-jalan, ya?" tanya Rizki. Sambil melihat-lihat ke kanan ke kiri, di tengah keramaian Mall ini."Iya, Sayang!" jawabku singkat. Kami menaiki lift menuju lantai tiga sesuai arahan Hana. Tak butuh waktu lama untu sampai ke lantai tiga, aku edarkan pandangan mencari sosok sahabatku."Sintya! Di sini!" Panggil Hana melambaikan tangan ke arahku yang tak jauh dari lift, tampak ia duduk bersama seorang laki-laki, mungkin itu temannya yang akan membantuku mengurusi urusan ini.Aku balas dengan lambaian tangan, kemudian menghampirinya. "Duduk, Sin!" ucap Hana menepuk kursi di sampingnya."Maaf menunggu lama ya, Han?"
"Rizki, Mamah duduk di sana ya, sama Tante Hana dan Om Ferdi, Rizki jangan nakal dan hati-hati ya, kartunya juga jangan hilang ya, Nak!" pesanku sebelum meninggalkannya.Aku beranjak kembali ke meja tempat kami duduk, tak lupa juga aku titip pesan pada pengawas arena bermain, untuk membantu Rizki saat akan menggunakan permainan. Makananku sudah tak sehangat tadi, kulirik makanan Hana dan Ferdi sudah tinggal seperempat, mereka makan cukup lama karena diselingi ngobrol. Aku pun mulai makan, sesekali aku sikut lengan sahabatku yang tampak merah merona pipinya. "Mbak!" Ferdi memanggil salah satu waiters untuk datang ke meja ini. "Minta billnya ya! Dan tolong ini di bereskan," ucapnya dengan sopan.Gadis muda yang menggunakan pakaian seragam restoran ini mengangguk."Baik, Pak!" ucapnya dengan ramah, Tak lama seorang temannya datang dan membereskan meja kami, di susul olehnya membawakan bill pembayaran. Ferdi membaca struknya kemudian memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada
Aku menoleh ke arah tempat Rizki, tampak ia masih asyik bermain, aku hendak menemuinya dan mengajaknya pulang.Baru saja aku bangun dari tempat dudukku, dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat kukenal, bahkan baju yang di kenakannya itu adalah baju yang aku belikan, pemandangan ini seketika membuat dada ini kembali sesak. Meskipun rasa cintaku pada Mas Yudi berlahan pudar, semenjak aku memergokinya bergumul dengan perempuan murahan itu, tapi tetap saja rasa sakit hati itu tetap ada.Mas Yudi! Yah, yang aku lihat itu Mas Yudi, ia sedang berjalan bersama perempuan jalangnya itu, tangan kanannya merangkul bahu wanita murahan itu, sedangkan wanita itu tampak senang, sesekali mencium pipi lelaki yang masih sah suamiku itu. Aku menatap nyalang punggungnya yang makin menjauh.Ingin kuhampiri mereka untuk meluapkan rasa kesalku, tapi semua itu percuma keduanya sama-sama tak punya adab.Kuurungkan niatku untuk menghampiri mereka, percuma saja jika aku marah-marah pada kedua manusia tak ada
Aku meraih ponsel pintarku yang tergeletak di atas nakas, aku menghubungi Rizal ingin menanyakan kodisi galeri, apakan semua baik-baik saja."Halo, Rizal! Gimana kondisi hari ini, semua berjalan lancar? Apa hari ini Mas datang ke galeri?" tanyaku bertubi-tubi."Halo, Mbak Sintya, santai Mbak! nanya satu-satu donk!" Terdengar suara Rizal terkekeh, di seberang sana."Maaf ya, Zal! Mbak, kan lagi banyak masalah, jadi begini deh," jawabku."Semua berjalan lancar, Mbak! Kerjasama dengan para klien juga berjalan lancar. Mas Yudi dari pagi di sini, tapi saat makan siang tadi beliau keluar, hingga sekarang belum kembali," jawab Rizal.Sudah kuduga, pasti sedang asyik jalan-jalan bersama wanita jalang itu, di mall. Sudah menjadi tabiat lelaki itu sekarang, jika sudah bermain gila ia akan lupa semuanya termasuk urusan pekerjaannya.Rasanya muak dan aku tak sabar mengambil alih semuanya, aku ingin lihat bagaimana ekspresi dua manusia itu saat menyadari semuanya, aku yang terlihat diam dan lemah