Ibu menemaniku menjaga Zidan hingga petang hari. Kulirik jam di ponsel yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibu pasti sudah lelah, namun ia masih setia mengajak bermain cucu kesayanyannya.
"Bu, pulang saja, ini sudah jam lima sore. Ibu harus istirahat,” ucapku pada Ibu yang tengah duduk di atas kursi.
Ibu menoleh ke arahku kemudian menatap langit kejinggaan dari balik kaca jendela. Beliau lalu kembali menatapku dengan tatapan khawatir.
"Kamu bisa jaga Zidan sendirian? Yoga belum datang sampai sekarang," tanya Ibu sembari bangkit dari kursi.
Aku mengangguk, "Iya, Bu. Aku akan menelpon Mas Yoga supaya cepat datang," bujukku berharap Ibu mau pulang ke rumah petakanku yang kecil. Sebenarnya aku malu karena tidak dapat memberikan tempat singgah yang layak untuk ibuku. Padahal Ibu terbiasa tinggal di rumah warisan kakekku yang besar dan nyaman.
Ibu menghela nafas lalu tersenyum.
"Baiklah, tapi jangan lupa makan malam, Arista."
Ibu mengelus sayang kepala Zidan lalu mencium pipinya.
"Zidan, Eyang Putri pulang dulu. Zidan bobok ya biar cepat sembuh," ucap ibuku merasa iba pada Zidan, cucu satu-satunya yang dia miliki.
Aku tersenyum untuk meyakinkan Ibu bahwa semuanya pasti akan baik baik saja.
"Bu, aku panggil taksi dulu untuk antar Ibu pulang."
Aku langsung menarikan jariku di atas layar ponsel, mencari aplikasi pemesanan taksi online. Namun gerakanku terhenti tatkala ibu menggenggam tanganku.
"Biar Ibu naik taksi di depan rumah sakit saja. Kamu tidak usah repot pesan taksi online segala. Ibu pulang dulu."
Ibu langsung pergi setelah berkata seperti itu, tak membiarkan aku untuk membalas ucapannya.
Aku menghela napas pendek lalu menggeleng. Setelah Ibu menghilang dari pandanganku, dengan cepat aku menelpon Mas Yoga. Sudah sore begini kenapa dia masih belum muncul? Pikirku berdecak sebal saat nomer Mas Yoga tidak aktif. Berkali-kali aku mencoba menghubungi Mas Yoga namun hasilnya nihil. Panggilanku justru tersambung ke kotak suara.Tak memiliki pilihan lain, aku memutuskan untuk menelpon Widi. Widi merupakan bawahan Mas Yoga sekaligus teman dekatnya. Sudah beberapa kali dia bertandang ke rumah kami, sehingga aku kenal baik dengannya.
"Halo, Bu Arista." Terdengar sebuah suara mengangkat panggilanku. Segera saja aku menjawabnya.
"Widi, kamu tahu Pak Yoga ada dimana? Dia sudah pulang dari kantor atau belum?” tanyaku beruntun pada bawahan Mas Yoga itu.
"Pak Yoga sedang bermain futsal bersama anak anak kantor, Bu. Ini saya sedang menunggu giliran main," ucap Widi. Aku bisa mendengar suara riuh orang di belakangnya.
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Rasanya ingin sekali meluapkan amarah karena Mas Yoga malah bertindak sesukanya pada saat anaknya masih terbaring sakit. Sungguh keterlaluan! Namun sebisa mungkin aku tetap menahan diri. Aku pun bergegas mengakhiri panggilanku dengan Widi.
"Baik, Widi, terima kasih." Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Setelahnya aku menutup panggilan dan menghela napas kasar.
"Mas Yoga, kamu .. !" gumamku menggeram kesal. Lagi-lagi kesabaranku harus diuji sebagai seorang istri.
***
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Terdengar suara pintu dibuka dari luar, lalu tampaklah sosok Mas Yoga yang berjalan menuju ke arahku. Menanti lama, akhirnya Mas Yoga muncul juga.
"Dari mana saja kamu, Mas? Kenapa kamu baru datang jam segini?" tanyaku berusaha menguasai diri. Aku tidak ingin suaraku terdengar oleh pasien yang ada di sebelah Zidan.
"Ya, dari kantor lah," jawab Mas Yoga singkat.
Aku pun meradang karena mendengar kebohongan yang dilontarkan Mas Yoga.
"Kamu ayah yang tidak bertanggung-jawab, Mas! Ngaku saja kalau kamu baru selesai main futsal. Aku tahu semuanya dari Widi," celaku tak membiarkan Mas Yoga berbohong lagi.
“Heh! Kamu bilang aku tidak bertanggung-jawab?!" bentak Mas Yoga. Ia tampak tidak terima dengan pernyataanku. Aku tidak peduli lagi apakah orang tua pasien di sebelah Zidan mendengar pertengkaran kami.
"Aku itu butuh penyegaran, Arista! Aku sumpek bekerja di kantor seharian!"
Mata Mas Yoga melotot ke arahku, tampak sangat kesal. Namun aku juga sama kesalnya pada Mas Yoga. Seharusnya ia memikirkan keadaan Zidan lebih dulu. Zidan adalah anak kandungnya, bagaimana bisa dia bersikap acuh tak acuh seperti itu.
"Malam ini aku menginap di rumah sakit. Malas aku menginap di rumah. Ibu cerewet sekali!" lanjut Mas Yoga membuatku terkejut.
Amarahku yang mulai mereda kembali menguap ke permukaan. Sikap Mas Yoga benar-benar membuatku tak terima. Bisa-bisanya dia berbicara tidak sopan tentang ibu mertuanya.
"Mas! Kamu seharusnya ngalah sama Ibu! Ibu sudah meminjamkan uangnya ke kita buat biaya opname Zidan," seruku tak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Yoga. Bukan hanya padaku, ternyata dia juga tidak menghormati ibu kandungku.
Mendengar ucapanku, Mas Yoga kembali mengamuk. Dia menatap tajam ke arahku untuk mengintimidasi, namun aku tak gentar oleh tatapannya itu.
"Ibu tidak akan melakukan itu kalau saja kamu nurut sama aku. Kamu memaksa agar Zidan dirawat di rumah sakit!" seru Mas Yoga. Telunjuknya mengarah tepat di depan wajahku.
Aku menggelengkan kepala lalu menatap Mas Yoga dengan pandangan tak percaya. Namun sebelum aku bisa menjawab, Mas Yoga kembali membentakku.
"Perlu aku jelasin apa yang membuat pengeluaran kita membengkak? Itu karena kamu minta kamar rawat inap kelas dua! Biayanya mahal, ngerti?!" tandas Mas Yoga membuatku tak bisa berkata-kata. Ia memang paling pintar mencari kesalahanku pada setiap situasi.
"Mas," lirihku menghentikan tuduhan Mas Yoga. Aku berusaha mengalah demi menghentikan perdebatan ini.
"Zidan dirawat di kamar kelas dua karena kemauan Ibu, bukan karena keinginanku. Tapi tanpa Ibu minta pun, aku pasti akan memberikan yang terbaik buat Zidan," jelasku berharap Mas Yoga akan mengerti. Paling tidak ia bisa memikirkan sedikit saja keadaan Zidan.
"Kamu juga cari kerja tambahan, Mas, supaya kita bisa nyicil hutang ke Ibu," saranku menurunkan nada suara. Tak ada gunanya bicara dengan emosi. Masalah kami justru akan semakin besar bila kami sama-sama dikuasai amarah.
Mengetahui aku mengalah padanya, Mas Yoga juga melakukan hal yang sama. Meskipun begitu tak dapat dipungkiri bahwa ia jadi bersikap dingin padaku.
"Mau kerja apa lagi? Badanku sudah capek. Kalau aku dipaksa kerja terus, aku bisa cepat mati," tolak Mas Yoga. Sekali lagi aku terkejut atas respon yang Mas Yoga berikan.
"Aku cicil tahun depan waktu dapat THR," sambungnya lagi.
Aku menghela napas panjang mendengar jawaban Mas Yoga. Dia sama sekali tidak mau berusaha. Bahkan setelah bekerja ia memilih untuk bermain futsal ketimbang menjenguk Zidan di rumah sakit.
"Tapi itu masih lama dan...."
"Sudahlah, Arista, kamu pulang aja sana. Bicara denganmu membuat kepalaku pusing," potong Mas Yoga mengusirku.
"Aku mau menemani Zidan, Mas," jawabku berkata jujur. Terus terang aku tidak terlalu mempercayai kemampuan Mas Yoga dalam menjaga Zidan.
Mas Yoga menghela napas kasar menanggapi perkataanku. Kentara sekali jika ia sedang menahan rasa jengkel. Namun Mas Yoga berusaha meredamnya mengingat ada orang lain di samping kami.
"Biar aku saja yang jaga Zidan. Kamu pulang sekarang. Aku transferin uang supaya kamu bisa pesan ojek online," ujar Mas Yoga. Mau tak mau aku pun menuruti perintahnya.
"Sudah masuk itu uangnya. Cepat pesan ojek dan pulang!" usir Mas Yoga untuk kedua kalinya.
Aku hanya diam, tidak menanggapi. Aku melakukan ini semata-mata supaya tidak terjadi keributan lagi di antara kami. Sambil memendam rasa kesal, aku membuka aplikasi ojek online. Tak berselang lama, aku sudah mendapatkan driver yang bersedia mengantarku.
"Mas, aku pulang," ucapku berpamitan kepada Mas Yoga.
Sebelum aku melangkahkan kaki ke luar dari pintu, Mas Yoga kembali berkata."
"Tunggu, Arista! Ingat, besok pagi kamu harus sampai di rumah sakit jam enam tepat. Kalau sampai terlambat aku bakal telat ke kantor. Ngerti?" ancam Mas Yoga padaku. Aku menjawab dengan anggukan.
Begitu Mas Yoga selesai bicara, aku segera pergi meninggalkan kamar Zidan dan pulang ke rumah.
Aku pulang dengan ojek sesuai perintah Mas Yoga. Dalam perjalanan sempat terpikir olehku kenapa aku jadi sebodoh ini. Aku diperlakukan seenaknya oleh Mas Yoga tapi tetap saja aku menurut padanya.Kerap kali aku mendengar nasehat bahwa seorang istri harus tunduk dan berbakti kepada suami. Tapi bila membiarkan diri terus ditindas bukankah ini merupakan bentuk kebodohan? Mungkinkah aku terlalu lemah atau sebenarnya aku takut diceraikan oleh Mas Yoga? Jujur, aku tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti ibuku. Ditinggalkan suami dan harus membesarkan anak seorang diri sangatlah berat. Aku tidak akan sekuat ibuku untuk menghadapinya.Tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku sampai tidak sadar kalau sudah tiba di depan rumah petak."Bu, betul ini rumahnya?" tanya driver ojek dengan suara cukup keras. Aku sampai melonjak kaget karenanya. Barangkali driver ojek ini sengaja meninggikan suara supaya aku tersadar dari lamunan."Eh, iya, Pak, betul. Terima kasih," ucapku seraya mengembalikan he
"Makasih, Rif, sudah mengantarku," ucapku menyerahkan ganti uang bensin kepada pemuda baik hati ini. Aku merasa beruntung karena memiliki tetangga sebaik Arif dan ibunya. Mereka kerap kali menolongku layaknya saudara sendiri."Sama-sama, Mbak. Saya langsung pulang ya. Nanti sore saya akan menjenguk Zidan bersama Ibu," jawab Arif dari balik helmnya.Aku ingin mengatakan pada Arif kalau kemungkinan Zidan akan pulang hari ini, tapi pemuda itu sudah berlalu pergi dengan motornya. Aku pun memutuskan untuk memberitahunya nanti lewat pesan singkat. Dengan tergesa-gesa, aku berjalan menuju ke lift. Hatiku berdebar menunggu pintu lift itu terbuka. Apalagi saat kulirik jam sudah menunjukkan pukul enam lewat. Aku yakin Mas Yoga akan memarahiku kali ini.Suara dentingan lift memaksaku melangkahkan kaki keluar. Setengah berlari, aku menyusuri koridor menuju ke kamar Zidan. Karena sudah hafal letaknya, aku pun sampai dengan cepat. Kuketuk pintu dua kali sebelum masuk agar tidak mengejutkan Mas Yoga
Selesai membereskan dapur, aku melihat Mas Yoga sedang sibuk dengan laptop dan gawainya di ruang tamu. Sesekali kudengar dia berdecap seperti kesal akan sesuatu. Tak ingin menambah masalah, kuputuskan untuk berlalu ke kamar.Ibu sudah tertidur pulas di samping Zidan. Aku yakin Ibu sedang memendam kemarahan karena aku tidak berhasil membuat Mas Yoga mengakui perbuatannya. Karena itu ia lebih memilih tidur daripada melihat wajahku.Aku beringsut naik ke atas tempat tidur dengan hati-hati. Jangan sampai aku menimbulkan suara berisik yang bisa mengganggu kenyamanan tidur Zidan dan Ibu. Kuambil satu bantal yang tersisa lalu kutepuk perlahan supaya terasa lebih nyaman. Setelah merebahkan diri, aku menghadap ke dinding seraya memejamkan mata. Tubuhku ingin sekali beristirahat namun pikiranku terus berkelana. Nampaknya fisik dan mentalku saling bertentangan satu sama lain.Kuubah posisi tidurku dengan menghadap pada putra kecilku. Cukup lama aku bertahan dalam posisi itu, tapi tetap saja aku
Karena gelisah memikirkan apa yang akan terjadi, aku bangun pagi-pagi sekali. Melihat Ibu dan Zidan masih terlelap, aku turun dengan gerakan sangat pelan dari tempat tidur. Aku harus memasak makanan dulu untuk mereka. Ini adalah persiapan yang wajib kulakukan sebelum pergi. Apalagi aku tidak bisa memprediksi berapa lama aku akan meninggalkan rumah. Bisa satu jam, dua jam atau bahkan lebih. Semua itu tergantung pada fakta apa yang nanti akan terkuak. Aku hanya berharap semoga rahasia yang disembunyikan Mas Yoga tidak akan terlalu menyakitkan hatiku.Tatkala hendak menuju dapur, Mas Yoga masih mendengkur pelan di sofa. Bisa-bisanya kamu tertidur tanpa merasa berdosa sama sekali, Mas, batinku pedih. Apa sedikitpun kamu tidak bisa merasakan penderitaanku?Ah, sudahlah, percuma saja aku berharap dia akan menjadi suami yang pengertian. Aku pun meneruskan langkahku menuju dapur. Segera aku mencuci beras, mengambil sayuran dan daging ayam yang ada di kulkas. Tanganku bergerak lincah mencuci s
Dengan perasaan yang tak menentu, aku menunggu petugas customer service menyelesaikan permasalahan Mas Yoga. Usai Mas Yoga mengisi semua formulir, ia pun membuat pin ATM yang baru. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Barangkali aku yang terlalu berprasangka buruk padanya hingga berpikiran macam-macam. "Ini Pak, buku tabungan dan KTPnya." "Terima kasih, Mbak," jawab Mas Yoga. Kemudian sang petugas customer service menjelaskan soal pendaftaran internet banking kepada Mas Yoga. Sambil menyimak, aku mengambil buku tabungan dari genggaman Mas Yoga. Ia nampak terkejut melihatku merampas bukunya begitu saja. Namun Mas Yoga tidak bisa melarangku karena masih berbicara dengan petugas di depannya. Dengan tangan yang gemetar, aku membuka lembaran buku tabungan Mas Yoga mulai dari halaman paling akhir. Fokus utamaku adalah melihat transferan gaji dari kantor. Benarkah transfer gaji selalu terlambat dan hanya dibayarkan setengahnya seperti ka
Mulutku menganga tak percaya dan kata-kataku terputus begitu saja. Berulang kali aku mengulang pesan yang dikirimkan Agung agar netraku tidak salah melihat. Namun isi tulisan itu tidak berubah. Artinya apa yang kubaca benar adanya. Dadaku kembali berdenyut nyeri, bahkan rasanya lebih parah dari tadi. Jadi inilah rahasia yang disembunyikan Mas Yoga dariku. "Kamu punya hutang kepada Agung? Dan kenapa dia bilang judi. Apa Mas berjudi selama ini?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku menahan diri untuk tidak menangis supaya bisa menuntaskan masalah ini. Aku harus mengetahui kebenaran yang sudah lama kutunggu-tunggu. Mas Yoga bungkam seribu bahasa. Ia juga tidak mau bersitatap denganku. Namun tangannya terulur, memintaku mengembalikan benda kesayangannya. "Rista, kembalikan handphoneku." "Jawab dulu pertanyaanku. Benar Mas berjudi? Dan siapa Agung ini sebenarnya?" Mas Yoga membasahi bibirnya. Baru sekali ini aku melihatnya gugup di hadapanku, padahal biasanya dia kelihatan dominan dan
"Maaf untuk apa, Rista?" tanya Ibu tertegun. Lidahku mendadak kaku hingga sulit untuk digerakkan. Rasanya aku tidak mampu berucap apalagi bila harus menjelaskan apa yang terjadi kepada Ibu. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa suamiku adalah pencuri cincin kesayangan Ibu?"Jangan buat Ibu takut, Rista. Ada apa sebenarnya?" desak Ibu seraya mengusap pelan punggungku. Itulah yang biasa dilakukannya sejak kecil untuk meredakan tangisku. Namun kali ini usaha Ibu tidak mempan. Bukannya tenang, aku justru semakin sesenggukan dibuatnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan fakta ini pada ibuku. Sudah jelas ia akan sangat terpukul."Mas Yoga, Bu. Dia membohongiku selama ini. Ternyata dia....""Dia kenapa, Rista?" tanya Ibu semakin mendesakku."Dia berjudi dan punya banyak hutang, Bu."Spontan, Ibu melerai pelukannya. Wajahnya nampak pias dan bibirnya memucat. Aku yakin dia sama syoknya seperti aku."Judi apa dan berapa banyak hutangnya?" tanya Ibu dengan suara tersendat. Perasaan Ibu
Malam ini terasa hampa dan dingin, sehampa hatiku yang telah kehilangan makna cinta. Ternyata begini rasanya harus berpisah dengan suami yang setiap hari berbagi kehidupan bersama. Meskipun aku butuh waktu untuk sendiri, tapi tetap saja ada rasa kehilangan karena kepergiannya dari sisiku.Ibu sempat menanyakan kepadaku kenapa Mas Yoga sampai meninggalkan rumah. Aku hanya berkata bahwa kami harus instropeksi diri. Sungguh aku belum sanggup untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Ibu.Aku menangis dalam diam di kamar. Tak ingin mengganggu tidur Ibu maupun Zidan, aku menelan kesedihanku dalam-dalam. Kupeluk Zidan dari belakang seraya mengecup rambutnya. Cuma putra mungilku inilah satu-satunya penyemangat hidupku saat ini. Seandainya nanti aku terpaksa menjadi orang tua tunggal, aku akan berjuang demi Zidan.Entah jam berapa mataku baru terpejam, namun tiba-tiba saja aku merasa seseorang menggoyang tubuhku."Arista, ayo bangun, dari tadi telponmu bunyi terus," terdengar suara lembut yang
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik