Home / Pernikahan / Ketika Suami Tak Lagi Peduli / Menunggu Putraku Sendirian

Share

Menunggu Putraku Sendirian

Author: Risca Amelia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Mas Yoga," seruku berusaha memanggilnya. Mas Yoga tidak menoleh sama sekali. Justru ia mempercepat langkahnya meninggalkanku. Aku terpaksa berhenti mengejarnya karena harus mengurus Zidan. Terlebih aku melihat dua orang perawat sudah mendorong kasur roda tempat Zidan berbaring. Pertanda bahwa putra kecilku akan segera dipindahkan ke ruang rawat.

"Sus, dimana kamar anak saya?" tanyaku bergegas mengikuti perawat itu.

"Di kamar 304, Bu, ruang Pelangi lantai tiga."

Aku bergegas mengikuti perawat itu ke dalam lift. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali mengusap lengan Zidan untuk membuatnya lebih tenang. Aku berusaha keras untuk menahan air mata supaya Zidan tidak semakin gelisah. Karena meskipun dia masih bayi, dia bisa membaca ekspresi wajahku dengan baik.

Salah satu perawat membukakan pintu kamar, lalu perawat yang lain mendorong masuk kasur roda tempat Zidan berbaring. Setelah itu, mereka memindahkan Zidan ke tempat tidur yang ada di kamar tersebut berikut dengan selang infusnya.

"Saya tinggal dulu Ibu. Kalau ada keluhan, Ibu bisa menekan tombol ini," ujar salah seorang perawat menunjukkan tombol panggil berwarna merah.

Aku menjawab dengan anggukan.

"Terima kasih, Suster."

Usai perawat itu pergi, aku memandangi wajah Zidan. Kuusap pelan pucuk kepalanya. Mungkin karena tubuh mungilnya masih sangat lemah, dia lebih banyak tertidur daripada membuka mata. Namun beberapa detik kemudian, dia menggeliat. Perutnya mengejang sebentar lalu kembali terlelap. Aku langsung paham dengan gejala ini. Apalagi ketika tercium aroma tak sedap yang memenuhi hidungku. Yah, Zidan diare lagi entah untuk keberapa kalinya.

Berusaha tegar, aku pun segera bertindak. Kuambil diapers dan celana panjang dari dalam tas lalu kubersihkan tubuh putraku dengan hati-hati. Saat kuperiksa, masih ada darah di dalamnya walaupun hanya sedikit. Ini artinya kondisi Zidan mulai berangsur membaik. Paling tidak ada hal yang masih bisa aku syukuri di tengah masalah yang tengah menderaku. Meskipun begitu tetap saja aku merasa khawatir. Yang kuinginkan hanyalah Zidan segera sembuh dan bisa tertawa lagi seperti biasanya.

Aku terduduk di samping tempat tidur Zidan. Dalam kesendirianku, aku baru teringat kalau Mas Yoga belum juga kembali. Entah dimana dia berada sekarang.

Sambil menghela napas, aku meraih ponsel yang kuletakkan di atas nakas. Kutekan nomer panggilan cepat sehingga aku langsung terhubung dengan Mas Yoga.

Kudengar nada panggilan yang tersambung, namun Mas Yoga tak kunjung mengangkatnya. Barulah pada kali kelima, ia menerima panggilan tersebut.

"Halo, Mas Yoga. Mas ada dimana? Kenapa tidak pulang ke rumah sakit?" tanyaku menuntut jawaban.

"Aku di rumah, mau tidur."

Seketika aku meradang karena mendengar Mas Yoga berkata dengan enteng.

"Bisa-bisanya Mas tidur dalam keadaan begini? Apa Mas tidak memikirkan Zidan sedikitpun? Anakmu masih diopname di rumah sakit, Mas," ucapku dengan suara parau. Rongga dadaku sampai terasa nyeri karena menahan emosi.

"Aku masuk angin. Kepalaku pusing dan badanku nyeri. Kalau aku sakit dan tidak bisa masuk kerja, kamu mau gajiku dipotong?" tandas Mas Yoga balik memarahiku.

"Biarkan aku tidur nyenyak malam ini. Kamu jaga aja Zidan sendiri. Masa begitu aja harus ditemani suami. Jangan kemanjaan, Arista. Kamu itu wanita dewasa bukan anak kecil," sambung Mas Yoga dengan nada tinggi.

Aku menelan ludah kasar karena urung membantah perkataan Mas Yoga. Dia selalu tahu bagaimana cara membuatku tersudut. Sebenarnya aku ingin bertanya siapa yang menelponnya tadi, tapi aku membatalkan niatku itu. Mungkin sekali ini aku harus mengalah karena Mas Yoga sedang tidak enak badan.

"Aku tidak akan mengganggu Mas malam ini. Tapi besok sepulang dari kantor tolong Mas ke rumah sakit. Zidan pasti kangen sama ayahnya."

"Ah, itu urusan besok. Sudah ya, aku ngantuk."

Mas Yoga mematikan ponselnya tanpa menunggu aku selesai berbicara. Aku hanya bisa berkeluh kesah di dalam hati. Mengapa suamiku seolah-olah tidak mempedulikan aku dan anak kandungnya? Dimana letak kesalahanku sehingga Mas Yoga terlihat kesal padaku setiap saat? Apa dia sudah tidak menganggapku lagi sebagai istrinya?

Beragam pertanyaan terus berputar di benakku. Namun tak ada jawaban yang kudapatkan. Justru semua ini menyebabkan pandanganku serasa berkunang-kunang. Aku pun meletakkan kepalaku yang penat di tempat tidur Zidan sambil memejamkan mata. Membiarkan diriku beristirahat sejenak untuk melupakan kepedihan yang ada.

***

Tangisan Zidan membuatku terjaga di kala subuh. Aku pun memeriksa diapersnya. Ternyata Zidan diare lagi meskipun tanpa bercak darah. Pantas saja ia rewel karena merasa risih dengan kondisinya.

Seketika rasa kantukku pun hilang. Tanpa membuang waktu, aku mengganti celananya lalu membersihkan Zidan dengan tissue basah.

"Perut Zidan sakit? Sabar ya Sayang, nanti Zidan akan minum obat," ucapku membelai rambutnya.

Kuangkat Zidan dari tempat tidur lalu kugendong dia sambil berjalan mengitari kamar rawat. Aku menyanyikan lagu pengantar tidur kesukaannya dan sesekali mengusap punggungnya. Beruntung Zidan termasuk anak yang kuat. Sebentar saja dia sudah kembali tenang. Kubaringkan Zidan di tempat tidurnya lalu kubuatkan sebotol susu hangat. Dia pun meminumnya dengan lahap sambil memainkan jari jemarinya.

Aku tersenyum melihat Zidan sudah mau minum susu. Ini perkembangan yang cukup baik, mengingat kemarin ia menolak makan dan minum. Aku pun menunggui Zidan hingga ia tertidur kembali. Kemudian kutinggalkan dia sebentar untuk mandi.

Saat aku keluar dari kamar mandi, petugas datang membawakan bubur untuk sarapan Zidan. Aku baru sadar bahwa perutku juga terasa lapar karena belum makan apa-apa sejak semalam. Namun aku enggan meninggalkan Zidan dalam waktu lama. Lebih baik kutahan saja rasa lapar ini sampai ada orang yang bisa menggantikan aku menjaga Zidan. Toh nanti aku bisa memakan sisa bubur kepunyaan Zidan untuk mengganjal perut.

Aku menengok ketika terdengar suara pintu terbuka. Dua orang perawat datang mendorong kasur roda dengan seorang anak perempuan terbaring di atasnya. Ternyata ada pasien baru yang akan berbagi kamar dengan Zidan. Di belakangnya kulihat pasangan suami istri yang berpegangan tangan. Bisa dipastikan mereka adalah ayah dan ibu dari anak tersebut.

Sang ibu menganggukkan kepala sebentar kepadaku saat berjalan melewatiku. Aku pun membalas dengan senyuman. Pemandangan ini membuatku merasa iri. Andai saja Mas Yoga bersikap sama seperti suami ibu ini, pastilah aku merasa bahagia. Namun segera kutepis perasaan itu. Aku tidak boleh terlalu sensitif dan mementingkan diri sendiri. Sebagai istri dan ibu, aku harus belajar untuk lebih banyak bersabar.

***

Zidan sudah selesai dimandikan oleh perawat. Kini aku sedang membujuknya agar bersedia menerima suapan bubur dari tanganku. Awalnya Zidan menutup rapat mulutnya. Namun setelah kuceritakan dongeng Belalang dan Semut, dia bersedia menelan bubur yang kuberikan.

"Arista," panggil Ibu seraya melangkah masuk ke kamar rawat Zidan. Spontan aku berdiri dan mencium tangan Ibu.

"Bagaimana kondisi Zidan pagi ini?" tanya Ibu membelai rambut cucu kesayangannya.

"Masih diare, Bu. Tapi sudah tidak ada darahnya. Ayo, duduk, Bu," ucapku memberikan kursi untuk ibuku.

Ibu menarik napas panjang seraya memandangku.

"Semalam Ibu menegur Yoga karena dia malah enak-enakan tidur. Ibu menyuruhnya menemani kamu di rumah sakit, tapi dia beralasan sedang masuk angin. Yoga itu suami yang tidak ada tanggung-jawabnya," tutur Ibu kesal.

"Sudahlah, Bu. Kemarin aku juga bertengkar dengan Mas Yoga di telpon. Mungkin dia memang lagi kurang enak badan. Tapi Mas Yoga janji hari ini dia akan menjaga Zidan setelah pulang dari kantor," ucapku berusaha menjelaskan pada Ibu.

"Kamu selalu saja membela suamimu."

"Apa Mas Yoga sudah berangkat ke kantor, Bu?" tanyaku.

"Iya, dia berangkat kerja sebelum Ibu datang kesini. Waktu Ibu memintanya memesankan taksi, wajahnya cemberut. Yoga itu tidak ada sopan santunnya sebagai menantu," tukas Ibu tampak jengkel.

"Sabar, Bu. Nanti aku akan bicara pelan-pelan dengan Mas Yoga."

"Kamu sudah makan, Arista?" tanya Ibu memandang wajahku yang pucat.

"Belum, Bu. Aku mau menghabiskan buburnya Zidan."

"Jangan, Arista. Makan bubur tidak akan memberimu tenaga yang cukup. Turunlah dan makan di kantin rumah sakit. Ibu akan menjaga Zidan."

Ibu merogoh dompetnya lalu menyerahkan lembaran uang berwarna merah ke tanganku. Ia pasti tahu kalau aku tidak membawa uang sama sekali.

"Ini untukmu. Pilihlah makanan yang kamu suka."

"Tapi, Bu....," jawabku ingin menolak. Aku benar-benar malu. Sebagai anak yang sudah dewasa dan berumah tangga, tidak sepantasnya aku diberikan uang oleh Ibu.

"Terimalah, Arista. Kamu membutuhkannya. Cepat pergi makan."

Aku mengangguk kecil. Sungguh aku ingin menangis di dalam hati. Wajahku terasa tertampar karena merasa gagal sebagai seorang anak.

Related chapters

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Memilih Pergi daripada Menjaga Anak

    Ibu menemaniku menjaga Zidan hingga petang hari. Kulirik jam di ponsel yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibu pasti sudah lelah, namun ia masih setia mengajak bermain cucu kesayanyannya."Bu, pulang saja, ini sudah jam lima sore. Ibu harus istirahat,” ucapku pada Ibu yang tengah duduk di atas kursi.Ibu menoleh ke arahku kemudian menatap langit kejinggaan dari balik kaca jendela. Beliau lalu kembali menatapku dengan tatapan khawatir."Kamu bisa jaga Zidan sendirian? Yoga belum datang sampai sekarang," tanya Ibu sembari bangkit dari kursi.Aku mengangguk, "Iya, Bu. Aku akan menelpon Mas Yoga supaya cepat datang," bujukku berharap Ibu mau pulang ke rumah petakanku yang kecil. Sebenarnya aku malu karena tidak dapat memberikan tempat singgah yang layak untuk ibuku. Padahal Ibu terbiasa tinggal di rumah warisan kakekku yang besar dan nyaman.Ibu menghela nafas lalu tersenyum."Baiklah, tapi jangan lupa makan malam, Arista."Ibu mengelus sayang kepala Zidan lalu mencium pipinya."Zidan

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Siapa Pencurinya

    Aku pulang dengan ojek sesuai perintah Mas Yoga. Dalam perjalanan sempat terpikir olehku kenapa aku jadi sebodoh ini. Aku diperlakukan seenaknya oleh Mas Yoga tapi tetap saja aku menurut padanya.Kerap kali aku mendengar nasehat bahwa seorang istri harus tunduk dan berbakti kepada suami. Tapi bila membiarkan diri terus ditindas bukankah ini merupakan bentuk kebodohan? Mungkinkah aku terlalu lemah atau sebenarnya aku takut diceraikan oleh Mas Yoga? Jujur, aku tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti ibuku. Ditinggalkan suami dan harus membesarkan anak seorang diri sangatlah berat. Aku tidak akan sekuat ibuku untuk menghadapinya.Tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku sampai tidak sadar kalau sudah tiba di depan rumah petak."Bu, betul ini rumahnya?" tanya driver ojek dengan suara cukup keras. Aku sampai melonjak kaget karenanya. Barangkali driver ojek ini sengaja meninggikan suara supaya aku tersadar dari lamunan."Eh, iya, Pak, betul. Terima kasih," ucapku seraya mengembalikan he

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Harus Percaya Pada Siapa

    "Makasih, Rif, sudah mengantarku," ucapku menyerahkan ganti uang bensin kepada pemuda baik hati ini. Aku merasa beruntung karena memiliki tetangga sebaik Arif dan ibunya. Mereka kerap kali menolongku layaknya saudara sendiri."Sama-sama, Mbak. Saya langsung pulang ya. Nanti sore saya akan menjenguk Zidan bersama Ibu," jawab Arif dari balik helmnya.Aku ingin mengatakan pada Arif kalau kemungkinan Zidan akan pulang hari ini, tapi pemuda itu sudah berlalu pergi dengan motornya. Aku pun memutuskan untuk memberitahunya nanti lewat pesan singkat. Dengan tergesa-gesa, aku berjalan menuju ke lift. Hatiku berdebar menunggu pintu lift itu terbuka. Apalagi saat kulirik jam sudah menunjukkan pukul enam lewat. Aku yakin Mas Yoga akan memarahiku kali ini.Suara dentingan lift memaksaku melangkahkan kaki keluar. Setengah berlari, aku menyusuri koridor menuju ke kamar Zidan. Karena sudah hafal letaknya, aku pun sampai dengan cepat. Kuketuk pintu dua kali sebelum masuk agar tidak mengejutkan Mas Yoga

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Uang Lima Juta

    Selesai membereskan dapur, aku melihat Mas Yoga sedang sibuk dengan laptop dan gawainya di ruang tamu. Sesekali kudengar dia berdecap seperti kesal akan sesuatu. Tak ingin menambah masalah, kuputuskan untuk berlalu ke kamar.Ibu sudah tertidur pulas di samping Zidan. Aku yakin Ibu sedang memendam kemarahan karena aku tidak berhasil membuat Mas Yoga mengakui perbuatannya. Karena itu ia lebih memilih tidur daripada melihat wajahku.Aku beringsut naik ke atas tempat tidur dengan hati-hati. Jangan sampai aku menimbulkan suara berisik yang bisa mengganggu kenyamanan tidur Zidan dan Ibu. Kuambil satu bantal yang tersisa lalu kutepuk perlahan supaya terasa lebih nyaman. Setelah merebahkan diri, aku menghadap ke dinding seraya memejamkan mata. Tubuhku ingin sekali beristirahat namun pikiranku terus berkelana. Nampaknya fisik dan mentalku saling bertentangan satu sama lain.Kuubah posisi tidurku dengan menghadap pada putra kecilku. Cukup lama aku bertahan dalam posisi itu, tapi tetap saja aku

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Coba Mengelak

    Karena gelisah memikirkan apa yang akan terjadi, aku bangun pagi-pagi sekali. Melihat Ibu dan Zidan masih terlelap, aku turun dengan gerakan sangat pelan dari tempat tidur. Aku harus memasak makanan dulu untuk mereka. Ini adalah persiapan yang wajib kulakukan sebelum pergi. Apalagi aku tidak bisa memprediksi berapa lama aku akan meninggalkan rumah. Bisa satu jam, dua jam atau bahkan lebih. Semua itu tergantung pada fakta apa yang nanti akan terkuak. Aku hanya berharap semoga rahasia yang disembunyikan Mas Yoga tidak akan terlalu menyakitkan hatiku.Tatkala hendak menuju dapur, Mas Yoga masih mendengkur pelan di sofa. Bisa-bisanya kamu tertidur tanpa merasa berdosa sama sekali, Mas, batinku pedih. Apa sedikitpun kamu tidak bisa merasakan penderitaanku?Ah, sudahlah, percuma saja aku berharap dia akan menjadi suami yang pengertian. Aku pun meneruskan langkahku menuju dapur. Segera aku mencuci beras, mengambil sayuran dan daging ayam yang ada di kulkas. Tanganku bergerak lincah mencuci s

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Kebohongan Suamiku (Part 1)

    Dengan perasaan yang tak menentu, aku menunggu petugas customer service menyelesaikan permasalahan Mas Yoga. Usai Mas Yoga mengisi semua formulir, ia pun membuat pin ATM yang baru. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Barangkali aku yang terlalu berprasangka buruk padanya hingga berpikiran macam-macam. "Ini Pak, buku tabungan dan KTPnya." "Terima kasih, Mbak," jawab Mas Yoga. Kemudian sang petugas customer service menjelaskan soal pendaftaran internet banking kepada Mas Yoga. Sambil menyimak, aku mengambil buku tabungan dari genggaman Mas Yoga. Ia nampak terkejut melihatku merampas bukunya begitu saja. Namun Mas Yoga tidak bisa melarangku karena masih berbicara dengan petugas di depannya. Dengan tangan yang gemetar, aku membuka lembaran buku tabungan Mas Yoga mulai dari halaman paling akhir. Fokus utamaku adalah melihat transferan gaji dari kantor. Benarkah transfer gaji selalu terlambat dan hanya dibayarkan setengahnya seperti ka

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Kebohongan Suamiku (Part 2)

    Mulutku menganga tak percaya dan kata-kataku terputus begitu saja. Berulang kali aku mengulang pesan yang dikirimkan Agung agar netraku tidak salah melihat. Namun isi tulisan itu tidak berubah. Artinya apa yang kubaca benar adanya. Dadaku kembali berdenyut nyeri, bahkan rasanya lebih parah dari tadi. Jadi inilah rahasia yang disembunyikan Mas Yoga dariku. "Kamu punya hutang kepada Agung? Dan kenapa dia bilang judi. Apa Mas berjudi selama ini?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku menahan diri untuk tidak menangis supaya bisa menuntaskan masalah ini. Aku harus mengetahui kebenaran yang sudah lama kutunggu-tunggu. Mas Yoga bungkam seribu bahasa. Ia juga tidak mau bersitatap denganku. Namun tangannya terulur, memintaku mengembalikan benda kesayangannya. "Rista, kembalikan handphoneku." "Jawab dulu pertanyaanku. Benar Mas berjudi? Dan siapa Agung ini sebenarnya?" Mas Yoga membasahi bibirnya. Baru sekali ini aku melihatnya gugup di hadapanku, padahal biasanya dia kelihatan dominan dan

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Berpisah Adalah Jalan Terbaik

    "Maaf untuk apa, Rista?" tanya Ibu tertegun. Lidahku mendadak kaku hingga sulit untuk digerakkan. Rasanya aku tidak mampu berucap apalagi bila harus menjelaskan apa yang terjadi kepada Ibu. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa suamiku adalah pencuri cincin kesayangan Ibu?"Jangan buat Ibu takut, Rista. Ada apa sebenarnya?" desak Ibu seraya mengusap pelan punggungku. Itulah yang biasa dilakukannya sejak kecil untuk meredakan tangisku. Namun kali ini usaha Ibu tidak mempan. Bukannya tenang, aku justru semakin sesenggukan dibuatnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan fakta ini pada ibuku. Sudah jelas ia akan sangat terpukul."Mas Yoga, Bu. Dia membohongiku selama ini. Ternyata dia....""Dia kenapa, Rista?" tanya Ibu semakin mendesakku."Dia berjudi dan punya banyak hutang, Bu."Spontan, Ibu melerai pelukannya. Wajahnya nampak pias dan bibirnya memucat. Aku yakin dia sama syoknya seperti aku."Judi apa dan berapa banyak hutangnya?" tanya Ibu dengan suara tersendat. Perasaan Ibu

Latest chapter

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Cinta Sejati di Waktu yang Tepat (END)

    Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Berpisah dengan Baik-baik

    Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Mantan Suamiku Meminta Pekerjaan

    Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Karma Atas Perselingkuhan

    Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Masa Penantian Cinta

    “Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Berpisah untuk Bersatu

    Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Rela Melepaskan Aku

    Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Apakah Ini Ikatan Takdir

    Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Tamparan Keras

    Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik

DMCA.com Protection Status