Share

Siapa Pencurinya

Author: Risca Amelia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku pulang dengan ojek sesuai perintah Mas Yoga. Dalam perjalanan sempat terpikir olehku kenapa aku jadi sebodoh ini. Aku diperlakukan seenaknya oleh Mas Yoga tapi tetap saja aku menurut padanya.

Kerap kali aku mendengar nasehat bahwa seorang istri harus tunduk dan berbakti kepada suami. Tapi bila membiarkan diri terus ditindas bukankah ini merupakan bentuk kebodohan? Mungkinkah aku terlalu lemah atau sebenarnya aku takut diceraikan oleh Mas Yoga? Jujur, aku tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti ibuku. Ditinggalkan suami dan harus membesarkan anak seorang diri sangatlah berat. Aku tidak akan sekuat ibuku untuk menghadapinya.

 

Tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku sampai tidak sadar kalau sudah tiba di depan rumah petak.

 

"Bu, betul ini rumahnya?" tanya driver ojek dengan suara cukup keras. Aku sampai melonjak kaget karenanya. Barangkali driver ojek ini sengaja meninggikan suara supaya aku tersadar dari lamunan.

 

"Eh, iya, Pak, betul. Terima kasih," ucapku seraya mengembalikan helm yang kupakai. Aku pun bergegas melangkah ke pekarangan. Suasana di sekitarku sudah lengang karena ini memang waktunya orang-orang beristirahat. Bahkan tetanggaku di rumah petak tidak ada satu pun yang terlihat.

 

Aku bergegas membuka pintu karena merasakan hembusan angin malam yang dingin menusuk kulit.

 

"Bu, aku pulang," panggilku seraya mendorong daun pintu perlahan. Ibu pasti tidak menguncinya karena tahu aku akan pulang.

 

"Arista, akhirnya kamu pulang juga. Ibu menunggumu dari tadi," sambut Ibu.

 

Melihat wajah ibuku yang tegang, aku menjadi was-was. Ibu mengajakku duduk di kursi lalu menghela napas pelan.

 

"Yoga bersedia menjaga Zidan malam ini?" tanya Ibu.

 

Aku mengangguk sebagai jawaban.

 

"Mungkin si Yoga itu sadar setelah Ibu menegurnya tadi. Jam tujuh dia pulang ke rumah. Ibu melihatnya pakai baju sepak bola lalu Ibu bertanya darimana dia. Eh, Yoga malah menjawab dengan ketus. Dia bilang ada acara futsal di kantornya. Ibu menyuruhnya ke rumah sakit tapi dia tidak menjawab. Sepertinya Yoga malas bicara dengan Ibu."

 

Pengaduan Ibu tentang Mas Yoga membuatku semakin tak enak hati. Ternyata dia tidak hanya bersikap sinis padaku tapi juga kepada Ibu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus menanyakan langsung kepada Mas Yoga apa alasannya bersikap tidak sopan terhadap ibuku.

 

Ibu kembali menarik napas dalam sambil menatapku.

 

"Arista, Ibu juga ingin mengatakan sesuatu padamu."

 

Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar ucapan Ibu. Darahku terasa mengalir lebih cepat karena takut dengan apa yang akan disampaikan oleh Ibu.

 

"Tadi Ibu meletakkan cincin emas yang Ibu pakai di meja ini karena mau cuci piring. Tapi waktu Ibu kembali cincinnya sudah hilang."

 

Kulihat Ibu mengepalkan telapak tangan kanannya sambil menaikkan intonasi suara. Aku tahu Ibu pasti sangat sedih mengingat betapa berharganya cincin itu untuknya. Cincin itu adalah pemberian dari kakekku sebelum Beliau meninggal dunia.

 

"Mungkin jatuh di lantai. Coba aku carikan, Bu," kataku berusaha untuk berpikir positif.

 

Tanpa menunggu jawaban dari Ibu, aku segera menunduk sambil berjongkok di lantai. Kuarahkan senter dari gawaiku untuk menyusuri seluruh sudut rumah. Bahkan aku sampai menggeser kursi dan meja untuk mencari benda berwarna kuning keemasan itu. Berharap pencarianku akan membuahkan hasil. Namun nyatanya hasil yang kudapat nihil.

 

"Percuma, Rista. Ibu yakin cincin itu bukan jatuh tapi ada yang mengambilnya."

 

Untuk kedua kalinya perkataan ibu menohok hatiku. Jika cincin Ibu hilang di rumahku, artinya yang bertanggung-jawab pastilah aku dan Mas Yoga. Tapi seharian ini aku ada di rumah sakit. Dengan demikian yang dimaksud Ibu mengambil cincinnya adalah Mas Yoga. Meskipun begitu, aku perlu memastikan terlebih dulu. Siapa tahu dugaanku ini keliru.

 

"Maksud Ibu ada yang mencurinya?" tanyaku spontan menghentikan pencarian.

 

Aku kembali duduk di kursi dengan bahu meluruh.

 

"Iya. Harusnya kamu bisa menebak siapa yang Ibu maksud. Di rumah ini hanya ada Ibu dan suamimu. Cincin itu hilang setelah Yoga pergi ke rumah sakit."

 

Ibu menyentuh bahu kananku dengan tangannya.

 

"Bukannya Ibu menuduh, tapi firasat Ibu mengatakan Yoga yang mengambil cincin itu."

 

Pipiku serasa ditampar dengan keras. Aku menggelengkan kepala karena pelupuk mataku telah dibanjiri oleh air mata.

 

"Ti...dak mungkin, Mas Yoga...tega melakukan itu, Bu," jawabku terbata-bata.

 

"Percayalah pada Ibu, Rista. Suamimu itu menyembunyikan sebuah rahasia besar. Dia tidak pernah memberimu nafkah yang cukup. Lalu saat Zidan sakit, dia bilang ATMnya hilang dan sekarang dia mencuri cincin Ibu. Perbuatannya sangat keterlaluan! Menantu yang tidak tahu malu!" ujar Ibu meradang.

 

Aku hanya tertunduk tanpa bisa membantah perkataan Ibu. Aku tidak mampu membela Mas Yoga karena semua yang dikatakan Ibu benar adanya. Yang kurasakan kini hanyalah perih yang semakin menyiksa batinku.

 

"Rista, apa Yoga pernah menunjukkan slip gajinya?" tanya Ibu mencari tahu.

 

"Tidak pernah, Bu. Aku juga tidak bisa melihat transferan gaji yang masuk dari kantor," jawabku jujur.

 

Ibu membuang napas kasar. Tampak dia sangat kesal dengan kepolosanku.

 

"Kamu ini benar-benar dibodohi sama Yoga. Di setiap rumah tangga, istri seharusnya yang memegang gaji suami. Kamu tidak dipegangi uang sama sekali malah jumlah gaji suamimu kamu juga tidak tahu. Ibu tidak tahu harus ngomong apa lagi, Rista."

 

"Maaf, Bu," jawabku kehabisan kata-kata.

 

"Minta maaf pada Ibu tidak ada gunanya. Ibu cuma mau cincin itu kembali. Tugasmu sekarang adalah menyelidiki Yoga. Sepertinya Yoga sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga dia nekat jadi pencuri."

 

"Iya, Bu, aku janji akan menanyai Mas Yoga besok," jawabku dengan suara bergetar.

 

"Menurut Ibu hanya ada dua kemungkinan kenapa Yoga kekurangan uang. Pertama si Yoga membiayai pendidikan adiknya secara diam-diam. Kedua...."

 

Ibu memberikan jeda pada kalimatnya, seolah membicarakan hal ini akan membutuhkan kekuatan yang besar.

 

"Mungkin Yoga memiliki wanita simpanan di luar sana. Dia memberikan seluruh uangnya pada wanita itu."

 

Kembali hatiku serasa diremas-remas. Benarkah yang Ibu katakan bahwa Mas Yoga telah menduakan cintaku. Bila ini benar, harus bagaimanakah aku bersikap nanti? Sanggupkah aku menerima kenyataan pahit itu?

 

Derai air mata berjatuhan di pipiku. Ibu segera mengambil tissue dan menyodorkannya padaku. Pasti hatinya ikut merasa sakit saat melihat putrinya terpuruk begini.

 

"Sudah, Rista, jangan menangis. Ini baru dugaan Ibu saja. Supaya semuanya lebih jelas, kamu harus mencari bukti-buktinya. Sekarang istirahatlah. Besok kamu harus menjaga Zidan."

 

"Iya, Bu," lirihku tak berdaya. Tubuhku terasa kehilangan tenaga karena lelah dengan keadaan ini. Rasanya aku ingin rebah di tempat tidur lalu terhempas ke alam mimpi. Untuk saat ini, tidur adalah satu-satunya cara bagiku untuk bisa melarikan diri dari semua persoalan ini.

 

***

 

Sambil menguap, aku menyeret kakiku turun dari tempat tidur. Mataku mendadak terbuka lebar saat melihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit. Astaga, Mas Yoga bisa marah besar jika aku terlambat datang ke rumah sakit. Dengan tergesa-gesa aku pergi ke kamar mandi. Ibu yang tertidur di sampingku sampai terbangun mendengar suara berisik yang kubuat.

 

Aku mandi secepat kilat lalu merapikan diri seadanya. Sejak menjadi seorang ibu, aku hampir tidak pernah memakai make up. Hanya sapuan bedak tipis yang terkadang aku pakai agar wajahku tidak terlalu kusut saat dipandang.

 

Tanpa sarapan pagi, aku langsung berpamitan kepada Ibu.

 

"Bu, aku berangkat sekarang ke rumah sakit," pamitku seraya mencium tangan Ibu.

 

"Pagi-pagi begini sudah ada tukang ojek?" tanya Ibu mengerutkan dahi.

 

"Aku minta tolong diantar Arif, anaknya Bu Siti. Semalam aku sudah tanya padanya melalui W******p dan dia bilang bisa mengantarku."

 

"Kalau begitu hati-hati di jalan, Rista."

 

Aku mengangguk lalu melangkah pergi. Sesungguhnya aku bingung bagaimana harus menghadapi Mas Yoga. Apakah aku mampu menanyakan padanya mengenai hilangnya cincin Ibu? Bagaimana bila tuduhan Ibu ternyata keliru

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
ternyata Rista bucin parah ya sampe gak bisa berfikir logis.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Harus Percaya Pada Siapa

    "Makasih, Rif, sudah mengantarku," ucapku menyerahkan ganti uang bensin kepada pemuda baik hati ini. Aku merasa beruntung karena memiliki tetangga sebaik Arif dan ibunya. Mereka kerap kali menolongku layaknya saudara sendiri."Sama-sama, Mbak. Saya langsung pulang ya. Nanti sore saya akan menjenguk Zidan bersama Ibu," jawab Arif dari balik helmnya.Aku ingin mengatakan pada Arif kalau kemungkinan Zidan akan pulang hari ini, tapi pemuda itu sudah berlalu pergi dengan motornya. Aku pun memutuskan untuk memberitahunya nanti lewat pesan singkat. Dengan tergesa-gesa, aku berjalan menuju ke lift. Hatiku berdebar menunggu pintu lift itu terbuka. Apalagi saat kulirik jam sudah menunjukkan pukul enam lewat. Aku yakin Mas Yoga akan memarahiku kali ini.Suara dentingan lift memaksaku melangkahkan kaki keluar. Setengah berlari, aku menyusuri koridor menuju ke kamar Zidan. Karena sudah hafal letaknya, aku pun sampai dengan cepat. Kuketuk pintu dua kali sebelum masuk agar tidak mengejutkan Mas Yoga

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Uang Lima Juta

    Selesai membereskan dapur, aku melihat Mas Yoga sedang sibuk dengan laptop dan gawainya di ruang tamu. Sesekali kudengar dia berdecap seperti kesal akan sesuatu. Tak ingin menambah masalah, kuputuskan untuk berlalu ke kamar.Ibu sudah tertidur pulas di samping Zidan. Aku yakin Ibu sedang memendam kemarahan karena aku tidak berhasil membuat Mas Yoga mengakui perbuatannya. Karena itu ia lebih memilih tidur daripada melihat wajahku.Aku beringsut naik ke atas tempat tidur dengan hati-hati. Jangan sampai aku menimbulkan suara berisik yang bisa mengganggu kenyamanan tidur Zidan dan Ibu. Kuambil satu bantal yang tersisa lalu kutepuk perlahan supaya terasa lebih nyaman. Setelah merebahkan diri, aku menghadap ke dinding seraya memejamkan mata. Tubuhku ingin sekali beristirahat namun pikiranku terus berkelana. Nampaknya fisik dan mentalku saling bertentangan satu sama lain.Kuubah posisi tidurku dengan menghadap pada putra kecilku. Cukup lama aku bertahan dalam posisi itu, tapi tetap saja aku

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Coba Mengelak

    Karena gelisah memikirkan apa yang akan terjadi, aku bangun pagi-pagi sekali. Melihat Ibu dan Zidan masih terlelap, aku turun dengan gerakan sangat pelan dari tempat tidur. Aku harus memasak makanan dulu untuk mereka. Ini adalah persiapan yang wajib kulakukan sebelum pergi. Apalagi aku tidak bisa memprediksi berapa lama aku akan meninggalkan rumah. Bisa satu jam, dua jam atau bahkan lebih. Semua itu tergantung pada fakta apa yang nanti akan terkuak. Aku hanya berharap semoga rahasia yang disembunyikan Mas Yoga tidak akan terlalu menyakitkan hatiku.Tatkala hendak menuju dapur, Mas Yoga masih mendengkur pelan di sofa. Bisa-bisanya kamu tertidur tanpa merasa berdosa sama sekali, Mas, batinku pedih. Apa sedikitpun kamu tidak bisa merasakan penderitaanku?Ah, sudahlah, percuma saja aku berharap dia akan menjadi suami yang pengertian. Aku pun meneruskan langkahku menuju dapur. Segera aku mencuci beras, mengambil sayuran dan daging ayam yang ada di kulkas. Tanganku bergerak lincah mencuci s

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Kebohongan Suamiku (Part 1)

    Dengan perasaan yang tak menentu, aku menunggu petugas customer service menyelesaikan permasalahan Mas Yoga. Usai Mas Yoga mengisi semua formulir, ia pun membuat pin ATM yang baru. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Barangkali aku yang terlalu berprasangka buruk padanya hingga berpikiran macam-macam. "Ini Pak, buku tabungan dan KTPnya." "Terima kasih, Mbak," jawab Mas Yoga. Kemudian sang petugas customer service menjelaskan soal pendaftaran internet banking kepada Mas Yoga. Sambil menyimak, aku mengambil buku tabungan dari genggaman Mas Yoga. Ia nampak terkejut melihatku merampas bukunya begitu saja. Namun Mas Yoga tidak bisa melarangku karena masih berbicara dengan petugas di depannya. Dengan tangan yang gemetar, aku membuka lembaran buku tabungan Mas Yoga mulai dari halaman paling akhir. Fokus utamaku adalah melihat transferan gaji dari kantor. Benarkah transfer gaji selalu terlambat dan hanya dibayarkan setengahnya seperti ka

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Kebohongan Suamiku (Part 2)

    Mulutku menganga tak percaya dan kata-kataku terputus begitu saja. Berulang kali aku mengulang pesan yang dikirimkan Agung agar netraku tidak salah melihat. Namun isi tulisan itu tidak berubah. Artinya apa yang kubaca benar adanya. Dadaku kembali berdenyut nyeri, bahkan rasanya lebih parah dari tadi. Jadi inilah rahasia yang disembunyikan Mas Yoga dariku. "Kamu punya hutang kepada Agung? Dan kenapa dia bilang judi. Apa Mas berjudi selama ini?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku menahan diri untuk tidak menangis supaya bisa menuntaskan masalah ini. Aku harus mengetahui kebenaran yang sudah lama kutunggu-tunggu. Mas Yoga bungkam seribu bahasa. Ia juga tidak mau bersitatap denganku. Namun tangannya terulur, memintaku mengembalikan benda kesayangannya. "Rista, kembalikan handphoneku." "Jawab dulu pertanyaanku. Benar Mas berjudi? Dan siapa Agung ini sebenarnya?" Mas Yoga membasahi bibirnya. Baru sekali ini aku melihatnya gugup di hadapanku, padahal biasanya dia kelihatan dominan dan

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Berpisah Adalah Jalan Terbaik

    "Maaf untuk apa, Rista?" tanya Ibu tertegun. Lidahku mendadak kaku hingga sulit untuk digerakkan. Rasanya aku tidak mampu berucap apalagi bila harus menjelaskan apa yang terjadi kepada Ibu. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa suamiku adalah pencuri cincin kesayangan Ibu?"Jangan buat Ibu takut, Rista. Ada apa sebenarnya?" desak Ibu seraya mengusap pelan punggungku. Itulah yang biasa dilakukannya sejak kecil untuk meredakan tangisku. Namun kali ini usaha Ibu tidak mempan. Bukannya tenang, aku justru semakin sesenggukan dibuatnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan fakta ini pada ibuku. Sudah jelas ia akan sangat terpukul."Mas Yoga, Bu. Dia membohongiku selama ini. Ternyata dia....""Dia kenapa, Rista?" tanya Ibu semakin mendesakku."Dia berjudi dan punya banyak hutang, Bu."Spontan, Ibu melerai pelukannya. Wajahnya nampak pias dan bibirnya memucat. Aku yakin dia sama syoknya seperti aku."Judi apa dan berapa banyak hutangnya?" tanya Ibu dengan suara tersendat. Perasaan Ibu

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Musibah yang Tak Disangka

    Malam ini terasa hampa dan dingin, sehampa hatiku yang telah kehilangan makna cinta. Ternyata begini rasanya harus berpisah dengan suami yang setiap hari berbagi kehidupan bersama. Meskipun aku butuh waktu untuk sendiri, tapi tetap saja ada rasa kehilangan karena kepergiannya dari sisiku.Ibu sempat menanyakan kepadaku kenapa Mas Yoga sampai meninggalkan rumah. Aku hanya berkata bahwa kami harus instropeksi diri. Sungguh aku belum sanggup untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Ibu.Aku menangis dalam diam di kamar. Tak ingin mengganggu tidur Ibu maupun Zidan, aku menelan kesedihanku dalam-dalam. Kupeluk Zidan dari belakang seraya mengecup rambutnya. Cuma putra mungilku inilah satu-satunya penyemangat hidupku saat ini. Seandainya nanti aku terpaksa menjadi orang tua tunggal, aku akan berjuang demi Zidan.Entah jam berapa mataku baru terpejam, namun tiba-tiba saja aku merasa seseorang menggoyang tubuhku."Arista, ayo bangun, dari tadi telponmu bunyi terus," terdengar suara lembut yang

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Aku Memaafkanmu, Mas

    "Saya setuju untuk dilakukan operasi pada suami saya," ucapku mengambil keputusan. Resiko apapun akan kutempuh demi kesembuhan Mas Yoga. Sesulit apapun kondisi keuangan kami, aku yakin Yang Kuasa akan memberikan jalan keluar.Dalam kondisi seperti saat ini, aku baru sadar bahwa aku sangat takut kehilangan suamiku. Sungguh aku sangat menyesal karena telah mengucapkan kata perpisahan padanya kemarin."Silakan Ibu mengurus biaya administrasinya di lobi depan. Kami akan melakukan persiapan untuk operasi Pak Yoga," ucap perawat kepadaku."Baik, Suster."Sebelum pergi, aku mencoba menguatkan Mas Yoga agar tegar menghadapi musibah ini."Mas, jangan takut, aku akan mendampingimu. Sekarang aku pergi dulu untuk mengurus administrasi," kataku menyentuh tangannya."Terima kasih, Rista," jawab Mas Yoga dengan tatapan sendu. Baru kali ini aku mendengar Mas Yoga mengucapkan terima kasih padaku setelah sekian lama. Ternyata memang benar nasehat yang diberikan orang bijak bahwa di balik cobaan salalu

Latest chapter

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Cinta Sejati di Waktu yang Tepat (END)

    Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Berpisah dengan Baik-baik

    Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Mantan Suamiku Meminta Pekerjaan

    Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Karma Atas Perselingkuhan

    Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Masa Penantian Cinta

    “Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Berpisah untuk Bersatu

    Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Rela Melepaskan Aku

    Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Apakah Ini Ikatan Takdir

    Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Tamparan Keras

    Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik

DMCA.com Protection Status