PoV Nisa
Saat kita hidup sederhana di rumah kecil yang halaman depannya mengarah pada pesawahan. Kita sering makan di gubuk tengah sawah, meski lauk pauknya sederhana hanya tempe goreng dan ikan asin. Aku merasa sangat bahagia, perlakuanmu saat itu begitu manis. Terlebih ketika kamu menyuapiku sembari mengucapkan janjimu.
“Setelah kita sukses nanti, kita akan kembali ke tempat ini, menyuapimu lagi seperti ini, tapi tentunya bukan dengan ikan asin, ikan gurami mungkin.” Lelakiku itu tertawa kecil. Aku tak bisa ikut tertawa waktu itu, malah menangis terisak. Hidup kami pas-pasan sekali, tapi entah kenapa rasanya lebih bahagia saat kami lebih sering kekurangan dibanding sekarang serba berlebihan tapi tak ada lagi cinta di dalamnya. Dia mengusap pipiku pelan-pelan.
“Jangan nangis,” ucapnya lembut. Dia mengangkat lenganku, lalu menempelkan telapak tanganku di kepalanya. Bang Irwan mengangkat tanganya dan menaruhnya
PoV IrwanSejenak keheningan tercipta, netranya menatapku dalam diam.“Kamu ragu?” tanyaku kembali. Dia kembali mengangguk, seketika ada perasaan bahagia yang mulai mendesir ke dalam hati, meski belum yakin sepenuhnya. Aku telah berhasil membuat dinding keyakinannya mulai goyah. Tinggal sedikit lagi untuk membuatnya roboh.“Ayo pergi Bang, kita jalan lagi. Reina Raina, sudah habis ‘kan? Kita ke sana liat air mancurnya.”“Ayo, Mah.” Kedua anak kecil itu bersemangat sekali. Mereka menggandeng tangan papahnya dengan erat. Bang Irwan menatapku sambil tersenyum, baru tadi pagi dia memohon agar mau diimami salat subuh, sekarang mereka telah lupa dengan kesalahan Papahnya. Anak-anak memang mudah sekali berubah. Andai saja kamu juga seperti itu Bang.“Pah lihat deh ke sana, ada gelembung.”“Raina mau?” tanyaku.
“Abang kok belain Mbak Nisa?”“Ya kamu aneh jadi aneh. Orang Nisa enggak cemburu. Kenapa malah maksa?”“Ih, Abang.” Dia malah semakin merajuk. Seperti inikah perempuan seharusnya, Bang? Yang tempo hari kamu bilang harus bermanja-manja padamu? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya, kalau menyaksikannya sendiri aku pun muak.“Pokoknya Abang harus ikut aku!” Dia menarik Bang Irwan dengan paksa. Tenaganya itu kenapa kuat sekali atau memang Bang Irwan yang tak mau menahan diri agar tak ikut dengannya? Aku ini terlalu lugu. Tentu saja dia lebih memilih Santi dari pada aku. Dia lebih muda, gesit dan tentunya dia sempurna sebagai perempuan. Bukan sepertiku yang tak punya rahim.“Papah, Papah mau ke mana?” Si Kembar berteriak memanggil Papahnya yang di bawa pergi. Mereka baru menyadarinya saat Bang Irwan sudah agak jauh. Suamiku terlihat menengok k
“Sial aku tak bisa membiarkan istriku berdua dengan pria lain, si Arga ini, lengah sedikit saja selalu saja mencari kesempatan!”“Abang! di panggil dari tadi kok enggak negok-negok.” Calon istriku keduaku ini kenapa cerewet sekali. Gara-gara dia Nisa jadi langsung mematikan teleponnya. Aku harus segera menghampirinya. Aku memang cemburu, terus kenapa? Kita sudah suami istri, bukankah wajar. Mengingat pria itu seperti ingin terus berada di dekat Nisa.“Abang!” Santi menghampiriku dia berteriak tepat di depan telinga. Membuatku terlonjak kaget.“Kamu ini kenapa lagi, maunya apa?” Terlanjur emosi nada bicaraku menjadi tak terkontrol. Kutinggalkan saja Santi di depan toilet umum, benar juga kata Nisa tenagaku cukup kuat untuk tetap bertahan bersamanya. Masalahnya memang ada padaku. Hatiku yang masih condong pada perempuan ini lah yang membuatku terbawa olehnya. Rupanya Santi tetap mengikutiku dari belakang.&ldq
“Akan jadi apa anak-anakku nanti berada di samping dia. Ajari dulu dia adab baru kamu perkenalkan pada anak-anakku Bang!” ucap Nisa penuh penekanan, baru kali ini kulihat dia berkata dengan penuh emosi. Apakah yang aku lakukan memang sudah keterlaluan.“Mereka ‘kan anakmu Mbak, bukan anakku!” Santi masih saja pada pendiriannya seolah yang dia lakukan memang benar. Nisa lagi-lagi menyeringai menatap tajam ke arah Santi. Sesaat kemudian raut wajah gadis itu pun berubah ketakutan, mungkin teringat saat Nisa memitingnya barusan.“Ke-kenapa melihatku seperti itu?” ucap Santi tergugup.“Kamu pikir saya takut sama kamu? Saya diam bukan berati lemah. Kamu sudah saya berikan kesempatan untuk jadi istri kedua. Bukannya mempersiapkan semuanya, malah sibuk merias diri,” ucap Nisa, matanya menatap Santi dari atas sampai bawah. Menyaksikan mereka bersitegang sebenarnya hatiku juga dag dig dug tak karuan, takut kalau sampai
“Maaf, Bang.”“Maaf kamu bilang?” Baru saja ingin menghadiahi satu bogem mentah lagi, sayangnya malah dicegah orang-orang di sana.“Maaf Pak, ambulansnya mau berangkat. Ada yang mau menemani?” Suara petugas kini menjadi pusat perhatian kami.“Saya,” jawabku kompak dengan Reihan, membuat kami berdua saling menatap.“Suaminya yang mana?” tanya Petugas.“Saya, Pak.” Reihan menjawab.“Ya sudah kalau begitu. Mari ikut saya! Bapak bisa nyusul ya, takut nanti di jalan malah ribut lagi. Mohon pengertiannya, kasihan pasien.” Tanpa basa-basi lagi petugas itu langsung membawa pergi Zifia. Aku mengalah, tapi lain waktu akan kubuat perhitungan dengannya. Tak lama Nisa datang, mengajakku untuk segera naik ke mobilnya. Syukurlah begitu aku sampai Zifia tengah di tangani. Aku bersandar pada d
“Tatap aku, Sa?” Kutangkupkan kedua tanganku padanya.“Abang enggak pandai merangkai kata tapi percayalah, kali ini abang mengucapkan semuanya dengan penuh keyakinan.”“Abang mau meninggalkan Santi, memutuskan semua hubungan dengannya.”“Iya,” Bibir Nisa bergetar, matanya mulai berembun, untuk sejenak mata kami bertemu.“Aku punya banyak kekurangan, aku gak bisa....”“Abang beruntung Sa, masih Tuhan berikan kesempatan untuk bertemu denganmu. Di luar sana, banyak suami-suami yang tak seberuntung Abang. Tadi siang Abang ketemu sama pria yang harus kehilangan istrinya setelah melahirkan, Abang gak bisa bayangin, kalau itu terjadi sama abang.”“Jika kehilangan kamu. Mau jadi apa hidup Abang, Sa. Kalau menggendong bayi pun Abang gak bisa. Maaf, karena telah mengabaikanmu se
Kami terus berjalan bergandengan, menyusuri trotoar jalanan kota Purwakarta. Kami memang masih tinggal di sini. Mengingat Zifia masih belum pulih, juga Santi yang masih bermalam di kota ini. Entah dia tinggal di mana, dari sekian banyak tempat kenapa harus bertemu dengannya di sini. Semoga Tuhan tak bermaksud menjadikan kami berjodoh, karena itu berarti untuk kesekian kalinya. Aku akan membuat perempuan di sampingku terluka lagi dan lagi. Sengaja kuayunkan lengan kami, menikmati ramainya kota yang letaknya bersebelahan dengan kota tempat kami tinggal, semilir angin sejuk memeluk kami di pagi hari.“Dingin?” tanyaku.“Hmm.” Wanitaku mengangguk.“Cari sarapan dulu ya sambil ngeteh.”“Boleh.” Kuraih pundaknya, hingga tak ada lagi jarak yang tersisa diantara kami, wajahnya malah tertunduk lalu tersenyum malu-malu, tenggelam dalam dada bidangku yang merengkuhnya. Bisa kulihat dengan jelas di pantulan cermin toko
Di tengah perbincangan, Khalid malah menangis, mau tak mau harus menjeda sejenak. Nisa tak berhenti menguap saat tengah menimang Khalid yang tengah menghisap Asi langsung dari payudaranya.“Sini gantian, Sa.”“Ga usah.” wanita itu malah melangkah pergi, menjauh dariku yang sengaja menghampirinya.“Sa katakan, bagaimana caranya agar kamu percaya.”“Kamu sudah terlalu banyak membuatku kecewa, Bang,” Nisa bicara tanpa menatapku, pandangannya malah kosong, persis seperti orang yang melamun.“Duduk dulu, Sa.” Kududukkan dia di kursi yang berada tepat di depan meja rias. Aku takut dia malah menjatuhkan Khalid karena tak sadar, telah larut dalam lamunannya.“Istighfar, Sa. Aku berjanji demi Tuhan,Abang akan belajar melupakannya. Hanya akan ada kamu yang ke depannya, tetapi Abang mohon berjuanglah bersama. Jangan tinggalkan Abang sendirian. Kamu pernah berjanji bukan du
“Aku kan udah bilang Abang gak perlu lakuin ini! Kenapa Abang malah nekat? Sekarang aku sama siapa? Aku bener-bener sendirian.”Samar-samar kudengar suara perempuan terus mengoceh. Sepertinya letaknya tak jauh, tetapi karena telingaku yang sedikit berdengung jadi membuyarkan segalanya. Benarkah kamu takut kehilanganku, Sa? Sebagai apa, papahnya anak-anak atau suamimu? Aku masih berusaha membuka mata yang asih terasa berat sedang wanita di sampingku masih saja terus menangisi diriku, ah dia pikir aku selemah itu, hanya donor darah saja akan membuatku kehilangan nyawa.Rendah sekali penilaianmu padaku Nisa!“Abang jahat tahu gak, di saat aku benar-benar ingin...hiks hiks hiks.”Akhirnya aku berhasil membuka mataku pelan-pelan, bisa kulihat dengan jelas kalau wanita itu benar-benar Nisa, dia tengah duduk di sampingku sembari menunduk ke dekat lenganku.Kuusap pucuk kepalanya den
Baru saja kaki ini melangkah beberapa kali, tiba-tiba sosok laki-laki dengan perawakan tinggi datang mendekat ke arah Nisa, dari kejauhan bisa kulihat laki-laki itu seolah tengah memberi kekuatan pada Nisa. Entah apa yang mereka bicarakan terlalu sakit untuk mendekat bahkan jika itu hanya satu langkah.Kau tak butuh aku kah Nisa? Jika memang kamu bahagia bersama dia, aku ikhlas!“Bang Irwan, tunggu!” Baru saja kuputar tubuh ini untuk kembali ke mobil. Suara perempuan yang amat akrab di telinga, malah berteriak memanggilku. Gegas kuputar kembali badanku menghadap ke arah sumber suara.“Abang!” Kenapa, ada apa sebenarnya mata Nisa mengembun, lalu tak lama dia malah berlari ke arahku.“NISA!” Hampir saja dia tertabrak motor yang melintas dengan cepat.Bukannya segera menghindar Nisa malah tetap berdiri mematung di tengah jalan. Dia ini kenapa, raut wajahnya kenapa begitu frustasi? Bahunya bahkan sampai naik turun. Pengend
Sejenak kami menikmati saat kedua mata itu saling menatap. Kami sama-sama rindu, tetapi kenapa rasanya sulit sekali bersatu. Aku tahu bukankah kamu juga rindu Sa, dari sorot mata aku bisa tahu ada kerinduaan yang mendalam.Kenapa malah memilih jalan yang sulit, kalau kita bisa kembali? Masih ada waktu sebelum sidang keputusan itu di gelar seminggu lagi.“Masih ada waktu Sa, pikirikan semuanya baik-baik! Datang ke persidangan sekali saja, aku pamit. Jaga kesehatan ya!” ucapku.“Boleh kucium keningmu sekali Sa ....”“Enggak, berhenti jadi orang yang enggak tahu diri!”“Kenapa memangnya? Aku bakal lakuin apa pun selagi itu bisa membuatmu kembali.”“Anda pikir saya akan luluh dengan semua perlakuan anda, enggak semudah itu.”“Mudah, selama masih ada cinta di hatimu, aku gak akan menyerah.”“Terserah, hiduplah semau Anda!”Nisa pun pergi meneruskan langkahnya yang sempat t
“Bangun!” Suara lembut Nisa membangunkan tidurku, bisa-bisanya aku tidur di sini“Anda mau bangun atau mau saya panggilkan satpam?”“Astaghfirrullah Sa, kamu kok jadi kejam begini?”“Kenapa memangnya? Ini rumah saya, saya berhak menentukan siapa yang boleh masuk,” ucapnya.Aku tahu Sa, kamu hanya sedang berpura-pura kejam. Lihatlah dirimu! Kau bahkan tak berani menatap wajahku, kalau memang benar-benar membenci harusnya kau melihat ke arah mataku memandang, agar aku tahu dengan jelas kalau kamu tengah menantang. Kalau begini, kamu hanya membuatku gemas saja Nisa. Kamu tak cocok berperan jadi wanita jahat.“Kenapa Anda tersenyum?”“Kamu lebih cocok akting jadi bidadari." Dia sedikit mendecak, lalu tak lama mengerlingkan matanya malas, tangannya kini mulai bergerak membuka gembok.“Mau ke mana?” tanyaku.“Macul!”“Hahhaha." Dari sekian banyak kata kenapa juga dia harus
Kata-katanya itu, yang dia ucapkan barusan kenapa begitu menusuk, kalau kamu bisa mempercayaiku sedalam itu lalu kenapa kamu malah jatuh cinta lagi pada wanita lain.“Benar kan kamu yang menyuruhnya ke sini!”Ah perasaan ini kenapa juga mataku tiba-tiba menghangat, kubanting daun pintu dengan keras, menutupnya tanpa peduli dia masih berdiri di luar sana.Tapi tangan Bang Irwan secepat kilat menahan agar pintu itu tak cepat tertutup.“Pergi saya bilang! Anda gak mengerti bahasa manusia! Kalau saya bilang pergi ya pergi!”“Saya akan pergi, kalau kamu berhenti berpura-pura, untuk apa merendahkan dirimu demi membuatku cemburu Nisa?”“Iti hakku! Anda tidak punya hak mengatur hidup saya!”“Cukup Nisa!” Bang Irwan menarik tubuh ini, menenggelamkan pada dada bidang miliknya.“Mau sampai kapan
Luka ini belum pulih seutuhnya, tapi kamu malah hadir membawa belati, menusuknya semakin dalam, mengoyak hingga perih kembali mendera.~~Aku menyerah pada takdir, kalau hanya aku yang berjuang bagaimana bisa rumah yang tiang-tiangnya sudah rapuh di makan usia tetap kokoh berdiri. Apalagi yang kamu lakukan dengan sengaja merobohkan satu persatu tiang itu tanpa kenal ampun pada akhirnya rumah itu akan runtuh, tinggal menunggu waktu. Terlalu banyak kata maaf yang terucap. Sejenak biarkan aku menyendiri, merenungi nasib diri yang juga berhak bahagia. Tak ada pernikahan yang sempurna, akan datang masa di mana kesakitan menyelimuti hari. Memang menyesakkan, tetapi selagi raga mampu di gerakkan maka kehidupan akan terus berjalan.Aku pernah meyakini, ini hanya tentang ujian, bukan akhir sebuah ikatan suci. Sekali lagi, pasti bisa di perbaiki tentu saja harus bisa di kembalikan seperti semula. Kuulangi kalimat itu setiap hari, jam , hingga waktu
“Mana ada Sa, sampai mati pun kamu akan tetap jadi istriku.”Begitu mendengarnya Nisa malah duduk di trotoar menghadap pada tanah lapang yang ditumbuhi semak belukar, hujan yang terus mengguyur kotaku akhir-akhir ini, membuat tanaman-tanaman liar ini tumbuh lebih cepat, padahal biasanya di musim kemarau tempat ini begitu gersang.“Aku udah gak mau, terlalu sakit Bang, buat hidup sama-sama lagi kayak dulu.” Nisa membuka suara lagi, netranya mulai mengembun.“Percaya sama Abang Sa, kali ini Abang janji gak akan pernah lagi nemuin Santi, apa pun alasannya,”“Terus yang di rumah sakit itu apa? Abang bilang mau melupakan Santi, tapi kenyataannya? Di saat aku percaya kalau Abang udah berubah, malah Abang....”Nisa terlihat menghirup nafas sejenak, lalu bibirnya sedikit bergertar, seolah yang dia katakan sangat menyakitkan.“Malah apa?&
Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu Sa, dulu memang kita hampir tak pernah sejalan, masih teringat dengan jelas saat kamu sering kali mengalah mengikuti kemauanku meski itu bertentangan dengan dirimu, seperti saat kamu tak ingin menunda kehamilan dengan mengikuti program keluaganya berencana, kamu menurut saja saat kubilang aku tak ingin punya anak dulu sebelum kehidupan kita membaik.Tuhan ternyata mendengar doaku, Dia mengabulkannya 11 tahun penantian, setelah kami punya segalanya, Tuhan baru berkenan menitipkan amanahnya pada kami, Raina dan Reina. Ucapan itu mampu menjadi penentu takdir kehidupan, di masa depan.~~“Gak akan ada kata pisah di antara kita Sa,” ucapku.Nisa tak menjawab, hanya menatapku datar tanpa ekspresi.“Ayo bangun kita salat subuh, abis itu lari pagi!” Kutarik lengannya agar dia segera bangkit dari tempat tidur.“Lari pagi? Enggak ah Abang aja.&
Aku sengaja berdehem, hingga membuatnya sedikit gelagapan, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Abang sejak kapan di sini? Maaf ya Adek gak denger Abang masuk ini, sebentar ya.” Nisa langsung bangkit dari tempatnya mengambil tas kerjaku meletakkannya di ruang kerjaku.Penasaran dengan apa yang membuat Nisa sefokus itu, kubuka laptopnya, rupanya di sedang menulis sesuatu, seperti sebuah cerita, tapi rasanya ini bukan sebuah diari lebih seperti novel romans, dia menulis kah?“Abang kopinya?” Secangkir kopi panas dia suguhkan di atas meja ruang tamu tepat di hadapanku.“Kamu nulis apa? Novel?”“Ya Bang, iseng aja, Abang baca ya? Aku jadi malu.” Nisa malah salah tingkah, dia benar-benar terlihat malu, sedang aku hanya tersenyum kecut menatap datar wajahnya yang malu-malu.“Kenapa? Abang gak suka?”