Kami terus berjalan bergandengan, menyusuri trotoar jalanan kota Purwakarta. Kami memang masih tinggal di sini. Mengingat Zifia masih belum pulih, juga Santi yang masih bermalam di kota ini. Entah dia tinggal di mana, dari sekian banyak tempat kenapa harus bertemu dengannya di sini. Semoga Tuhan tak bermaksud menjadikan kami berjodoh, karena itu berarti untuk kesekian kalinya. Aku akan membuat perempuan di sampingku terluka lagi dan lagi. Sengaja kuayunkan lengan kami, menikmati ramainya kota yang letaknya bersebelahan dengan kota tempat kami tinggal, semilir angin sejuk memeluk kami di pagi hari.
“Dingin?” tanyaku.
“Hmm.” Wanitaku mengangguk.
“Cari sarapan dulu ya sambil ngeteh.”
“Boleh.” Kuraih pundaknya, hingga tak ada lagi jarak yang tersisa diantara kami, wajahnya malah tertunduk lalu tersenyum malu-malu, tenggelam dalam dada bidangku yang merengkuhnya. Bisa kulihat dengan jelas di pantulan cermin toko
Di tengah perbincangan, Khalid malah menangis, mau tak mau harus menjeda sejenak. Nisa tak berhenti menguap saat tengah menimang Khalid yang tengah menghisap Asi langsung dari payudaranya.“Sini gantian, Sa.”“Ga usah.” wanita itu malah melangkah pergi, menjauh dariku yang sengaja menghampirinya.“Sa katakan, bagaimana caranya agar kamu percaya.”“Kamu sudah terlalu banyak membuatku kecewa, Bang,” Nisa bicara tanpa menatapku, pandangannya malah kosong, persis seperti orang yang melamun.“Duduk dulu, Sa.” Kududukkan dia di kursi yang berada tepat di depan meja rias. Aku takut dia malah menjatuhkan Khalid karena tak sadar, telah larut dalam lamunannya.“Istighfar, Sa. Aku berjanji demi Tuhan,Abang akan belajar melupakannya. Hanya akan ada kamu yang ke depannya, tetapi Abang mohon berjuanglah bersama. Jangan tinggalkan Abang sendirian. Kamu pernah berjanji bukan du
“Kamu janji akan berjuang bersama lalu apa ini?”“Lihat dirimu dulu, pantaskah untuk di perjuangkan?” Nisa memanggil si kembar untuk keluar dan ikut bersamanya.“Dalam keadaan begini, kamu ingin menyetir mobil? Tidak kuizinkan, kamu bisa membahayakan anak-anak!”“Memangnya kenapa? Setelah istri mudamu mengataiku mandul. Sekarang Abang mau bilang aku perempuan gila?”“Bukan seperti itu Nisa.” Kuraih lengannya, tapi dengan cepat Nisa menepisnya. Tanpa peduli dia yang terus melarangku untuk ikut pergi bersamanya, aku tetap mengikutinya. Nisa hanya mengerkingkan matanya malas saat dia membuka pintu mobil dan aku malah ikut duduk di samping kemudi. Kutebalkan mukaku yang sudah tak tahu diri ini. Pikiranku hanya satu. Takut kalau sampai membiarkannya pergi tanpa pendampingan bersama anak-anak, malah membuat masalah ke depannya. Mobil terus berjalan menyusuri kota yang kental dengan budaya sundanese ini
“Nabi itu poligami, karena zaman dulu banyak anak-anak yang kehilangan ayahnya. Banyak istri yang kehilangan suaminya, makanya nabi dan para sahabatnya banyak yang melakukan syari’at ini.” Aku masih diam mendengarnya bicara. Jujur ada sedikit malu yang mulai menjalar ke hati. Merasa terlambat untuk sadar bahwa ilmu agamaku begitu sempit.“Istri itu titipan Mas, tugasnya menyempurnakan agama kita.”“Kewajiban suami, tahu?”“Memberikan nafkah,” ucapku tanpa ragu.“Iya betul, tetapi tugas suami sesungguhnya bukan cuma soal nafkah. Tujuan akhir dari kehidupan itu apa sih? Kita ‘kan enggak mungkin selamanya hidup.”“Saya enggak pernah mengajari istri saya agama,” harus kuakui, ini memang salahku. Nisa lebih banyak tahu tentang agama, membuatku lupa untuk sama-sama belajar memperdalamnya lagi. Kesibukan mengejar dunia, melupakan segalanya.“Lebih baik t
Baru saja mengecap bahagia, tetapi kenapa masalah kembali mengetuk pintu minta dibuka. Ingin pura-pura tak mendengar, mengabaikannya, membunuh rasa penasaran tentang alasan kedatangan perempuan paruh baya itu. Sayangnya itu tak mungkin, berdosa menolak tamu tanpa alasan syar’i.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~“Ada apa, Bu?” Aku mulai membuka suara.“Santi dirawat di rumah sakit, ada apa sebenarnya, Nak? Santi bilang Nak Irwan akan menikahinya, apa hubungan kalian baik-baik saja?”“Kami memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahan, Bu.”“Kenapa tiba-tiba, apa alasannya?”“Sayang ada tamu kok gak disuruh masuk?” Suara lembut Nisa kian mendayu di telinga, membuat tamu yang tak diundang di hadapanku mengalihkan perhatiannya fokusnya tertuju pada pemilik suara lembut yang memanggilku dari dalam. Tak menunggu lama, sosoknya muncul dari balik pintu, tersenyum ramah menyambut wanita itu.“Siapa
“Itu kenapa Allah melarang kita mendekati wanita yang bukaan mahram, Bang!”“Maaf, Dek.” Nisa langsung memalingkan wajahnya ke jendela. Liburan yang kuanggap akan memperhangat hubungan kami yang dingin, malah jadi hambar. Setelah panggilan dari Ibu Santi ditutup. Nisa tak mau lagi tertawa, entah apa yang tengah dia pikirkan. Akhirnya setelah mengunjungi Farm House, rencana menginap pun kami batalkan, tak ada protes dari Nisa, dia hanya menjawab sekenanya.“Sa, kamu marah?” tanyaku saat sampai di rumah, anak-anak sepertinya kelelahan masih sore pun mereka sudah terlelap.“Iya, aku marah. Kamu selalu membuatku bingung, Bang.”“Aku enggak akan menemuinya.”“Abang bilang begitu, tetapi sepanjang jalan terus saja memikirkannya, mendiamkan kami semua.” Nisa membalikkan badannya, memunggungiku.“Melupakan itu sulit Sa, tapi demi kamu aku akan mencobanya.” Pantas saja di kantor
“Pergi kamu!” bentak ayah.“Nak Irwan pergi aja, ya! Ayo Yah, kita masuk aja!”“Ayah mau cari Nisa Bu, enggak bisa tenang ayah, kalau dia belum ketemu.” Pria itu langsung pergi ke dalam lalu tak lama keluar dengan kunci mobil berada dalam genggamannya.“Ayah, Kita telepon kakak-kakaknya dulu barangkali aja Nisa mampir ke sana.” Ayah menghentikan langkahnya, benar juga kata ibu, kenapa aku tak berpikir ke arah sana. Kami mencoba menelepon saudara-saudara Nisa, tapi nihil, tak ada yang tahu Nisa di mana.“Ayo Bu, kita cari aja!” ajak Ayah kembali. Pasturi itu pun menaiki mobil, sedang aku mengikuti dari belakang, tujuan pertama kami adalah rumah kontrakan Nisa. Begitu sampai di sana, jangankan Nisa, tanda-tanda kehidupan pun tak tampak. Rumah itu sepi dan sunyi daun-daun kering yang berjatuhan di biarkan begitu saja berserakan di halaman rumah menambah kesan, kalau kediaman itu lama tak berpenghuni.&
Ujian terberat seorang pendosa ialah ketika semesta enggan memberinya kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar.~~~~~~~~~~~~~~~~Seakan dunia hanya milik orang suci, tak ada tempat bagi pendosa, meski telah taubat sekali pun“Abang kenapa menghindar terus?” tanya Santi saat kami tengah berada di lift. Aku tak mungkin menghindar lagi, karena klien sudah menungguku di bawah. Entah dengan dia, mau ke mana di jam kerja seperti ini.“Sebaiknya kita memang harus menjaga jarak San, enggak enak kelihatan sama karyawan lain.”“Karyawan lain atau Mbak Nisa?” Aku menatap wajahnya sekilas, lalu secepatnya mengalihkan pandangan ke arah lain, takut malah tenggelam lagi dalam kenyamanan semu yang dia tawarkan.“Dua-duanya.”“Kenapa Bang, kalau sikapku kekanak-kanakan aku bisa merubahnya demi Abang.” Santi menggenggam tanganku, sejenak mataku memandang ke sana, ketika kedua tangan kami saling bertum
Belum reda sesak yang mengepung kalbu, bagai di hujani busur panah, sakit dan perih, meradang hingga seisi kalbu rasanya terkoyak.“Bapak baik-baik saja,” Bi Sumi mulai menatap khawatir.“Ya.”“Kepala Bapak sakit?”“Enggak apa-apa Bi, saya baik-baik saja,” Kepalaku mendadak sakit, tapi hatiku jauh lebih sakit Bi.“Mau saya ambilkan obat, Pak?”“Enggak usah,”“Bapa mau saya siapkan makan? Dari kemarin bapak belum makan? Sayur yang saya masak masih utuh.” Kukibaskan tangan, menolaknya, lalu melangkah menaiki tangga, sesekali berpegangan pada dinding pembatasnya. Aku terbangun saat adzan subuh berkumandang, mengerjapkan mata berkali-kali, menyesuaikan cahaya yang menyeruak masuk tanpa permisi, aku lupa mematikan lampu. Pandanganku langsung tertuju ke samping tempat tidur.“Nisa?”“Abang,” dia tersenyum sangat manis. Sosok yang begitu k
“Aku kan udah bilang Abang gak perlu lakuin ini! Kenapa Abang malah nekat? Sekarang aku sama siapa? Aku bener-bener sendirian.”Samar-samar kudengar suara perempuan terus mengoceh. Sepertinya letaknya tak jauh, tetapi karena telingaku yang sedikit berdengung jadi membuyarkan segalanya. Benarkah kamu takut kehilanganku, Sa? Sebagai apa, papahnya anak-anak atau suamimu? Aku masih berusaha membuka mata yang asih terasa berat sedang wanita di sampingku masih saja terus menangisi diriku, ah dia pikir aku selemah itu, hanya donor darah saja akan membuatku kehilangan nyawa.Rendah sekali penilaianmu padaku Nisa!“Abang jahat tahu gak, di saat aku benar-benar ingin...hiks hiks hiks.”Akhirnya aku berhasil membuka mataku pelan-pelan, bisa kulihat dengan jelas kalau wanita itu benar-benar Nisa, dia tengah duduk di sampingku sembari menunduk ke dekat lenganku.Kuusap pucuk kepalanya den
Baru saja kaki ini melangkah beberapa kali, tiba-tiba sosok laki-laki dengan perawakan tinggi datang mendekat ke arah Nisa, dari kejauhan bisa kulihat laki-laki itu seolah tengah memberi kekuatan pada Nisa. Entah apa yang mereka bicarakan terlalu sakit untuk mendekat bahkan jika itu hanya satu langkah.Kau tak butuh aku kah Nisa? Jika memang kamu bahagia bersama dia, aku ikhlas!“Bang Irwan, tunggu!” Baru saja kuputar tubuh ini untuk kembali ke mobil. Suara perempuan yang amat akrab di telinga, malah berteriak memanggilku. Gegas kuputar kembali badanku menghadap ke arah sumber suara.“Abang!” Kenapa, ada apa sebenarnya mata Nisa mengembun, lalu tak lama dia malah berlari ke arahku.“NISA!” Hampir saja dia tertabrak motor yang melintas dengan cepat.Bukannya segera menghindar Nisa malah tetap berdiri mematung di tengah jalan. Dia ini kenapa, raut wajahnya kenapa begitu frustasi? Bahunya bahkan sampai naik turun. Pengend
Sejenak kami menikmati saat kedua mata itu saling menatap. Kami sama-sama rindu, tetapi kenapa rasanya sulit sekali bersatu. Aku tahu bukankah kamu juga rindu Sa, dari sorot mata aku bisa tahu ada kerinduaan yang mendalam.Kenapa malah memilih jalan yang sulit, kalau kita bisa kembali? Masih ada waktu sebelum sidang keputusan itu di gelar seminggu lagi.“Masih ada waktu Sa, pikirikan semuanya baik-baik! Datang ke persidangan sekali saja, aku pamit. Jaga kesehatan ya!” ucapku.“Boleh kucium keningmu sekali Sa ....”“Enggak, berhenti jadi orang yang enggak tahu diri!”“Kenapa memangnya? Aku bakal lakuin apa pun selagi itu bisa membuatmu kembali.”“Anda pikir saya akan luluh dengan semua perlakuan anda, enggak semudah itu.”“Mudah, selama masih ada cinta di hatimu, aku gak akan menyerah.”“Terserah, hiduplah semau Anda!”Nisa pun pergi meneruskan langkahnya yang sempat t
“Bangun!” Suara lembut Nisa membangunkan tidurku, bisa-bisanya aku tidur di sini“Anda mau bangun atau mau saya panggilkan satpam?”“Astaghfirrullah Sa, kamu kok jadi kejam begini?”“Kenapa memangnya? Ini rumah saya, saya berhak menentukan siapa yang boleh masuk,” ucapnya.Aku tahu Sa, kamu hanya sedang berpura-pura kejam. Lihatlah dirimu! Kau bahkan tak berani menatap wajahku, kalau memang benar-benar membenci harusnya kau melihat ke arah mataku memandang, agar aku tahu dengan jelas kalau kamu tengah menantang. Kalau begini, kamu hanya membuatku gemas saja Nisa. Kamu tak cocok berperan jadi wanita jahat.“Kenapa Anda tersenyum?”“Kamu lebih cocok akting jadi bidadari." Dia sedikit mendecak, lalu tak lama mengerlingkan matanya malas, tangannya kini mulai bergerak membuka gembok.“Mau ke mana?” tanyaku.“Macul!”“Hahhaha." Dari sekian banyak kata kenapa juga dia harus
Kata-katanya itu, yang dia ucapkan barusan kenapa begitu menusuk, kalau kamu bisa mempercayaiku sedalam itu lalu kenapa kamu malah jatuh cinta lagi pada wanita lain.“Benar kan kamu yang menyuruhnya ke sini!”Ah perasaan ini kenapa juga mataku tiba-tiba menghangat, kubanting daun pintu dengan keras, menutupnya tanpa peduli dia masih berdiri di luar sana.Tapi tangan Bang Irwan secepat kilat menahan agar pintu itu tak cepat tertutup.“Pergi saya bilang! Anda gak mengerti bahasa manusia! Kalau saya bilang pergi ya pergi!”“Saya akan pergi, kalau kamu berhenti berpura-pura, untuk apa merendahkan dirimu demi membuatku cemburu Nisa?”“Iti hakku! Anda tidak punya hak mengatur hidup saya!”“Cukup Nisa!” Bang Irwan menarik tubuh ini, menenggelamkan pada dada bidang miliknya.“Mau sampai kapan
Luka ini belum pulih seutuhnya, tapi kamu malah hadir membawa belati, menusuknya semakin dalam, mengoyak hingga perih kembali mendera.~~Aku menyerah pada takdir, kalau hanya aku yang berjuang bagaimana bisa rumah yang tiang-tiangnya sudah rapuh di makan usia tetap kokoh berdiri. Apalagi yang kamu lakukan dengan sengaja merobohkan satu persatu tiang itu tanpa kenal ampun pada akhirnya rumah itu akan runtuh, tinggal menunggu waktu. Terlalu banyak kata maaf yang terucap. Sejenak biarkan aku menyendiri, merenungi nasib diri yang juga berhak bahagia. Tak ada pernikahan yang sempurna, akan datang masa di mana kesakitan menyelimuti hari. Memang menyesakkan, tetapi selagi raga mampu di gerakkan maka kehidupan akan terus berjalan.Aku pernah meyakini, ini hanya tentang ujian, bukan akhir sebuah ikatan suci. Sekali lagi, pasti bisa di perbaiki tentu saja harus bisa di kembalikan seperti semula. Kuulangi kalimat itu setiap hari, jam , hingga waktu
“Mana ada Sa, sampai mati pun kamu akan tetap jadi istriku.”Begitu mendengarnya Nisa malah duduk di trotoar menghadap pada tanah lapang yang ditumbuhi semak belukar, hujan yang terus mengguyur kotaku akhir-akhir ini, membuat tanaman-tanaman liar ini tumbuh lebih cepat, padahal biasanya di musim kemarau tempat ini begitu gersang.“Aku udah gak mau, terlalu sakit Bang, buat hidup sama-sama lagi kayak dulu.” Nisa membuka suara lagi, netranya mulai mengembun.“Percaya sama Abang Sa, kali ini Abang janji gak akan pernah lagi nemuin Santi, apa pun alasannya,”“Terus yang di rumah sakit itu apa? Abang bilang mau melupakan Santi, tapi kenyataannya? Di saat aku percaya kalau Abang udah berubah, malah Abang....”Nisa terlihat menghirup nafas sejenak, lalu bibirnya sedikit bergertar, seolah yang dia katakan sangat menyakitkan.“Malah apa?&
Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu Sa, dulu memang kita hampir tak pernah sejalan, masih teringat dengan jelas saat kamu sering kali mengalah mengikuti kemauanku meski itu bertentangan dengan dirimu, seperti saat kamu tak ingin menunda kehamilan dengan mengikuti program keluaganya berencana, kamu menurut saja saat kubilang aku tak ingin punya anak dulu sebelum kehidupan kita membaik.Tuhan ternyata mendengar doaku, Dia mengabulkannya 11 tahun penantian, setelah kami punya segalanya, Tuhan baru berkenan menitipkan amanahnya pada kami, Raina dan Reina. Ucapan itu mampu menjadi penentu takdir kehidupan, di masa depan.~~“Gak akan ada kata pisah di antara kita Sa,” ucapku.Nisa tak menjawab, hanya menatapku datar tanpa ekspresi.“Ayo bangun kita salat subuh, abis itu lari pagi!” Kutarik lengannya agar dia segera bangkit dari tempat tidur.“Lari pagi? Enggak ah Abang aja.&
Aku sengaja berdehem, hingga membuatnya sedikit gelagapan, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Abang sejak kapan di sini? Maaf ya Adek gak denger Abang masuk ini, sebentar ya.” Nisa langsung bangkit dari tempatnya mengambil tas kerjaku meletakkannya di ruang kerjaku.Penasaran dengan apa yang membuat Nisa sefokus itu, kubuka laptopnya, rupanya di sedang menulis sesuatu, seperti sebuah cerita, tapi rasanya ini bukan sebuah diari lebih seperti novel romans, dia menulis kah?“Abang kopinya?” Secangkir kopi panas dia suguhkan di atas meja ruang tamu tepat di hadapanku.“Kamu nulis apa? Novel?”“Ya Bang, iseng aja, Abang baca ya? Aku jadi malu.” Nisa malah salah tingkah, dia benar-benar terlihat malu, sedang aku hanya tersenyum kecut menatap datar wajahnya yang malu-malu.“Kenapa? Abang gak suka?”