Baru saja mengecap bahagia, tetapi kenapa masalah kembali mengetuk pintu minta dibuka. Ingin pura-pura tak mendengar, mengabaikannya, membunuh rasa penasaran tentang alasan kedatangan perempuan paruh baya itu. Sayangnya itu tak mungkin, berdosa menolak tamu tanpa alasan syar’i.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~“Ada apa, Bu?” Aku mulai membuka suara.“Santi dirawat di rumah sakit, ada apa sebenarnya, Nak? Santi bilang Nak Irwan akan menikahinya, apa hubungan kalian baik-baik saja?”“Kami memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahan, Bu.”“Kenapa tiba-tiba, apa alasannya?”“Sayang ada tamu kok gak disuruh masuk?” Suara lembut Nisa kian mendayu di telinga, membuat tamu yang tak diundang di hadapanku mengalihkan perhatiannya fokusnya tertuju pada pemilik suara lembut yang memanggilku dari dalam. Tak menunggu lama, sosoknya muncul dari balik pintu, tersenyum ramah menyambut wanita itu.“Siapa“Itu kenapa Allah melarang kita mendekati wanita yang bukaan mahram, Bang!”“Maaf, Dek.” Nisa langsung memalingkan wajahnya ke jendela. Liburan yang kuanggap akan memperhangat hubungan kami yang dingin, malah jadi hambar. Setelah panggilan dari Ibu Santi ditutup. Nisa tak mau lagi tertawa, entah apa yang tengah dia pikirkan. Akhirnya setelah mengunjungi Farm House, rencana menginap pun kami batalkan, tak ada protes dari Nisa, dia hanya menjawab sekenanya.“Sa, kamu marah?” tanyaku saat sampai di rumah, anak-anak sepertinya kelelahan masih sore pun mereka sudah terlelap.“Iya, aku marah. Kamu selalu membuatku bingung, Bang.”“Aku enggak akan menemuinya.”“Abang bilang begitu, tetapi sepanjang jalan terus saja memikirkannya, mendiamkan kami semua.” Nisa membalikkan badannya, memunggungiku.“Melupakan itu sulit Sa, tapi demi kamu aku akan mencobanya.” Pantas saja di kantor
“Pergi kamu!” bentak ayah.“Nak Irwan pergi aja, ya! Ayo Yah, kita masuk aja!”“Ayah mau cari Nisa Bu, enggak bisa tenang ayah, kalau dia belum ketemu.” Pria itu langsung pergi ke dalam lalu tak lama keluar dengan kunci mobil berada dalam genggamannya.“Ayah, Kita telepon kakak-kakaknya dulu barangkali aja Nisa mampir ke sana.” Ayah menghentikan langkahnya, benar juga kata ibu, kenapa aku tak berpikir ke arah sana. Kami mencoba menelepon saudara-saudara Nisa, tapi nihil, tak ada yang tahu Nisa di mana.“Ayo Bu, kita cari aja!” ajak Ayah kembali. Pasturi itu pun menaiki mobil, sedang aku mengikuti dari belakang, tujuan pertama kami adalah rumah kontrakan Nisa. Begitu sampai di sana, jangankan Nisa, tanda-tanda kehidupan pun tak tampak. Rumah itu sepi dan sunyi daun-daun kering yang berjatuhan di biarkan begitu saja berserakan di halaman rumah menambah kesan, kalau kediaman itu lama tak berpenghuni.&
Ujian terberat seorang pendosa ialah ketika semesta enggan memberinya kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar.~~~~~~~~~~~~~~~~Seakan dunia hanya milik orang suci, tak ada tempat bagi pendosa, meski telah taubat sekali pun“Abang kenapa menghindar terus?” tanya Santi saat kami tengah berada di lift. Aku tak mungkin menghindar lagi, karena klien sudah menungguku di bawah. Entah dengan dia, mau ke mana di jam kerja seperti ini.“Sebaiknya kita memang harus menjaga jarak San, enggak enak kelihatan sama karyawan lain.”“Karyawan lain atau Mbak Nisa?” Aku menatap wajahnya sekilas, lalu secepatnya mengalihkan pandangan ke arah lain, takut malah tenggelam lagi dalam kenyamanan semu yang dia tawarkan.“Dua-duanya.”“Kenapa Bang, kalau sikapku kekanak-kanakan aku bisa merubahnya demi Abang.” Santi menggenggam tanganku, sejenak mataku memandang ke sana, ketika kedua tangan kami saling bertum
Belum reda sesak yang mengepung kalbu, bagai di hujani busur panah, sakit dan perih, meradang hingga seisi kalbu rasanya terkoyak.“Bapak baik-baik saja,” Bi Sumi mulai menatap khawatir.“Ya.”“Kepala Bapak sakit?”“Enggak apa-apa Bi, saya baik-baik saja,” Kepalaku mendadak sakit, tapi hatiku jauh lebih sakit Bi.“Mau saya ambilkan obat, Pak?”“Enggak usah,”“Bapa mau saya siapkan makan? Dari kemarin bapak belum makan? Sayur yang saya masak masih utuh.” Kukibaskan tangan, menolaknya, lalu melangkah menaiki tangga, sesekali berpegangan pada dinding pembatasnya. Aku terbangun saat adzan subuh berkumandang, mengerjapkan mata berkali-kali, menyesuaikan cahaya yang menyeruak masuk tanpa permisi, aku lupa mematikan lampu. Pandanganku langsung tertuju ke samping tempat tidur.“Nisa?”“Abang,” dia tersenyum sangat manis. Sosok yang begitu k
“Bos, mau gabung enggak?”“Ngapain?”“Biasalah, belaga gak tahu. Gue share lock alamatnya.”“Iya Sayang, sebentar,” Suara Fredi terdengar lembut, tapi bagiku malah menjijikan.“Ayo, Bang,” terdengar suara perempuan di seberang telepon. Sudah bisa kutebak dia berada di klub malam, suara berisik musik, mulai terdengar mengeras “Bos, udah dulu ya hehe.” Fredi malah tertawa kecil. Aku mendecak kesal, kebiasaan Fredi memang, ada masalah sedikit malah lari ke tempat begitu, belum tahu dia kalau di tinggal istri itu sangat menyiksa. Harus kucari ke mana kamu Dek, besok Bi Sumi pulang kampung. Sudah macam kuburan saja rumah kita ini. Haruskah aku ikuti saran Fredi? Bodo amat! yang penting keluar. Di malam minggu jalanan memang selalu ramai. Pasangan berhilir mudik dari yang muda sampai yang sudah berumur. Ada yang hanya berdua ada juga yang membawa serta anak-anal mereka. Sedangan, aku duduk di pojokkan cafe. Sendirian menikmati kehangatan mereka dari jauh. Tuhan dan dunia selalu punya cara
Sialan orang ini! Memanfaatkan orang yang tak berdaya. Ponsel! Dia mengambil ponselku.Ingin sekali mencegahnya tapi tiba-tiba terdengar pintu mobil di tutup, pergi ke mana orang itu. Setelah berhasil mengambil ponselku dia meninggalkanku begitu saja. Ya Tuhan, andai aku tak keluar tadi. Sesaat pintu terbuka lagi, aku bisa mendengarnya. Lalu tak lama bisa kurasakan seseorang menyentuh bibirku untuk memasukkan sebuah tablet. Rasanya tak asing, pahit dan bentuknya sama seperti obat vertigoku.Tak lama sepertinya sebuah botol minuman kemasan dia berikan padaku. Kesadaranku masih belum hilang meski rasanya untuk membuka mata sudah berat sekali, sekalinya bisa pandanganku malah kabur. Siapa dia, kenapa rasanya tak asing? Dia bahkan tahu obat yang kubutuhkan, tak mungkin dokter ‘kan? Mobil melaju lagi, entah dia akan membawaku ke mana, tak lama setelah mobil berhenti, dia kembali memapahku. Kuedarkan pandangan meski gelap dan samar-samar, jelas aku hafal sekali. Ini rumahku, tak mungkin bisa
“Mah, kita ke sana ya?” Suara Raina menarik kesadaranku kembali. “Ke mana, Sayang?” “Katanya Mamah mau ke toko buku, kok malah di sini?” “Engga jadi Sayang, kita pulang aja.” “Ih jangan pulang Mah, aku mau beli buku cerita.” “Lain kali aja, oke.” Posisi Cafe dan toko buku saling berseberangan. Aku hanya khawatir kalau Bang Irwan melihat kami. Apa lagi dia duduk tepat di samping jendela. “Hay Adek-adek cantiknya Om.” Suara seorang pria tiba-tiba terdengar mendekat. “Arga.” Saat pandangan kami bertemu baru kusadari pria itu Arga, anak kecil cengeng yang dulu sering sekali menangis di pinggiran sekolah. Dia yatim piatu, tak kusangka kami akan bertemu lagi, bahkan menjadi tetangga samping rumah. Setidaknya aku bersyukur dia bisa hidup dengan baik. Setelah keluargaku pindah ke luar kota mengikuti ayah yang dipindah tugaskan, aku sudah tak pernah lagi tahu kabat tentang Arga. Pada akhirnya aku melupakan segalanya tentang anak itu. Dia yang dulu selalu mengisi hari-hariku dengan penuh
Aku pulang ke rumah ibu, menjemput anak-anak. Di sana sudah memberondongku dengan berbagai macam pertanyaan. “Buat apa sih masih peduli sama laki-laki macam itu?” tanya Ayah yang terlanjur emosi. “Kasihan, Yah.” “Enggak usah di kasihani orang seperti itu Sa, nanti ngelunjak.” “Dia kan masih Papahnya anak-anak, kalau kenapa-kenapa mereka juga pasti sedih.” “Kamu itu jangan terlalu baik Sa, nanti di injak-injak terus, sekali-kali kan kamu bisa tegas.” “Aku kurang tegas apa Yah, bukankah sudah kuajukan surat gugatan cerai? Cuma ‘kan Bang Irwannya sendiri yang enggak mau tanda tangan, jadi prosesnya di persulit.” “Biar Ayah yang paksa dia tanda tangan, kurang ajak memang tuh orang. Harus di beri pelajaran, seenaknya menggantung anak orang.” “Istigfar Yah, jangan pakai kekerasan terus.” Ibu mulai membuka suara, dia pun duduk mende “Ayah udah sabar Bu, kalau bukan ngelihat Nisa udah Ayah hajar dari dulu pas tahu seena