“Akan jadi apa anak-anakku nanti berada di samping dia. Ajari dulu dia adab baru kamu perkenalkan pada anak-anakku Bang!” ucap Nisa penuh penekanan, baru kali ini kulihat dia berkata dengan penuh emosi. Apakah yang aku lakukan memang sudah keterlaluan.
“Mereka ‘kan anakmu Mbak, bukan anakku!” Santi masih saja pada pendiriannya seolah yang dia lakukan memang benar. Nisa lagi-lagi menyeringai menatap tajam ke arah Santi. Sesaat kemudian raut wajah gadis itu pun berubah ketakutan, mungkin teringat saat Nisa memitingnya barusan.
“Ke-kenapa melihatku seperti itu?” ucap Santi tergugup.
“Kamu pikir saya takut sama kamu? Saya diam bukan berati lemah. Kamu sudah saya berikan kesempatan untuk jadi istri kedua. Bukannya mempersiapkan semuanya, malah sibuk merias diri,” ucap Nisa, matanya menatap Santi dari atas sampai bawah. Menyaksikan mereka bersitegang sebenarnya hatiku juga dag dig dug tak karuan, takut kalau sampai
“Maaf, Bang.”“Maaf kamu bilang?” Baru saja ingin menghadiahi satu bogem mentah lagi, sayangnya malah dicegah orang-orang di sana.“Maaf Pak, ambulansnya mau berangkat. Ada yang mau menemani?” Suara petugas kini menjadi pusat perhatian kami.“Saya,” jawabku kompak dengan Reihan, membuat kami berdua saling menatap.“Suaminya yang mana?” tanya Petugas.“Saya, Pak.” Reihan menjawab.“Ya sudah kalau begitu. Mari ikut saya! Bapak bisa nyusul ya, takut nanti di jalan malah ribut lagi. Mohon pengertiannya, kasihan pasien.” Tanpa basa-basi lagi petugas itu langsung membawa pergi Zifia. Aku mengalah, tapi lain waktu akan kubuat perhitungan dengannya. Tak lama Nisa datang, mengajakku untuk segera naik ke mobilnya. Syukurlah begitu aku sampai Zifia tengah di tangani. Aku bersandar pada d
“Tatap aku, Sa?” Kutangkupkan kedua tanganku padanya.“Abang enggak pandai merangkai kata tapi percayalah, kali ini abang mengucapkan semuanya dengan penuh keyakinan.”“Abang mau meninggalkan Santi, memutuskan semua hubungan dengannya.”“Iya,” Bibir Nisa bergetar, matanya mulai berembun, untuk sejenak mata kami bertemu.“Aku punya banyak kekurangan, aku gak bisa....”“Abang beruntung Sa, masih Tuhan berikan kesempatan untuk bertemu denganmu. Di luar sana, banyak suami-suami yang tak seberuntung Abang. Tadi siang Abang ketemu sama pria yang harus kehilangan istrinya setelah melahirkan, Abang gak bisa bayangin, kalau itu terjadi sama abang.”“Jika kehilangan kamu. Mau jadi apa hidup Abang, Sa. Kalau menggendong bayi pun Abang gak bisa. Maaf, karena telah mengabaikanmu se
Kami terus berjalan bergandengan, menyusuri trotoar jalanan kota Purwakarta. Kami memang masih tinggal di sini. Mengingat Zifia masih belum pulih, juga Santi yang masih bermalam di kota ini. Entah dia tinggal di mana, dari sekian banyak tempat kenapa harus bertemu dengannya di sini. Semoga Tuhan tak bermaksud menjadikan kami berjodoh, karena itu berarti untuk kesekian kalinya. Aku akan membuat perempuan di sampingku terluka lagi dan lagi. Sengaja kuayunkan lengan kami, menikmati ramainya kota yang letaknya bersebelahan dengan kota tempat kami tinggal, semilir angin sejuk memeluk kami di pagi hari.“Dingin?” tanyaku.“Hmm.” Wanitaku mengangguk.“Cari sarapan dulu ya sambil ngeteh.”“Boleh.” Kuraih pundaknya, hingga tak ada lagi jarak yang tersisa diantara kami, wajahnya malah tertunduk lalu tersenyum malu-malu, tenggelam dalam dada bidangku yang merengkuhnya. Bisa kulihat dengan jelas di pantulan cermin toko
Di tengah perbincangan, Khalid malah menangis, mau tak mau harus menjeda sejenak. Nisa tak berhenti menguap saat tengah menimang Khalid yang tengah menghisap Asi langsung dari payudaranya.“Sini gantian, Sa.”“Ga usah.” wanita itu malah melangkah pergi, menjauh dariku yang sengaja menghampirinya.“Sa katakan, bagaimana caranya agar kamu percaya.”“Kamu sudah terlalu banyak membuatku kecewa, Bang,” Nisa bicara tanpa menatapku, pandangannya malah kosong, persis seperti orang yang melamun.“Duduk dulu, Sa.” Kududukkan dia di kursi yang berada tepat di depan meja rias. Aku takut dia malah menjatuhkan Khalid karena tak sadar, telah larut dalam lamunannya.“Istighfar, Sa. Aku berjanji demi Tuhan,Abang akan belajar melupakannya. Hanya akan ada kamu yang ke depannya, tetapi Abang mohon berjuanglah bersama. Jangan tinggalkan Abang sendirian. Kamu pernah berjanji bukan du
“Kamu janji akan berjuang bersama lalu apa ini?”“Lihat dirimu dulu, pantaskah untuk di perjuangkan?” Nisa memanggil si kembar untuk keluar dan ikut bersamanya.“Dalam keadaan begini, kamu ingin menyetir mobil? Tidak kuizinkan, kamu bisa membahayakan anak-anak!”“Memangnya kenapa? Setelah istri mudamu mengataiku mandul. Sekarang Abang mau bilang aku perempuan gila?”“Bukan seperti itu Nisa.” Kuraih lengannya, tapi dengan cepat Nisa menepisnya. Tanpa peduli dia yang terus melarangku untuk ikut pergi bersamanya, aku tetap mengikutinya. Nisa hanya mengerkingkan matanya malas saat dia membuka pintu mobil dan aku malah ikut duduk di samping kemudi. Kutebalkan mukaku yang sudah tak tahu diri ini. Pikiranku hanya satu. Takut kalau sampai membiarkannya pergi tanpa pendampingan bersama anak-anak, malah membuat masalah ke depannya. Mobil terus berjalan menyusuri kota yang kental dengan budaya sundanese ini
“Nabi itu poligami, karena zaman dulu banyak anak-anak yang kehilangan ayahnya. Banyak istri yang kehilangan suaminya, makanya nabi dan para sahabatnya banyak yang melakukan syari’at ini.” Aku masih diam mendengarnya bicara. Jujur ada sedikit malu yang mulai menjalar ke hati. Merasa terlambat untuk sadar bahwa ilmu agamaku begitu sempit.“Istri itu titipan Mas, tugasnya menyempurnakan agama kita.”“Kewajiban suami, tahu?”“Memberikan nafkah,” ucapku tanpa ragu.“Iya betul, tetapi tugas suami sesungguhnya bukan cuma soal nafkah. Tujuan akhir dari kehidupan itu apa sih? Kita ‘kan enggak mungkin selamanya hidup.”“Saya enggak pernah mengajari istri saya agama,” harus kuakui, ini memang salahku. Nisa lebih banyak tahu tentang agama, membuatku lupa untuk sama-sama belajar memperdalamnya lagi. Kesibukan mengejar dunia, melupakan segalanya.“Lebih baik t
Baru saja mengecap bahagia, tetapi kenapa masalah kembali mengetuk pintu minta dibuka. Ingin pura-pura tak mendengar, mengabaikannya, membunuh rasa penasaran tentang alasan kedatangan perempuan paruh baya itu. Sayangnya itu tak mungkin, berdosa menolak tamu tanpa alasan syar’i.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~“Ada apa, Bu?” Aku mulai membuka suara.“Santi dirawat di rumah sakit, ada apa sebenarnya, Nak? Santi bilang Nak Irwan akan menikahinya, apa hubungan kalian baik-baik saja?”“Kami memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahan, Bu.”“Kenapa tiba-tiba, apa alasannya?”“Sayang ada tamu kok gak disuruh masuk?” Suara lembut Nisa kian mendayu di telinga, membuat tamu yang tak diundang di hadapanku mengalihkan perhatiannya fokusnya tertuju pada pemilik suara lembut yang memanggilku dari dalam. Tak menunggu lama, sosoknya muncul dari balik pintu, tersenyum ramah menyambut wanita itu.“Siapa
“Itu kenapa Allah melarang kita mendekati wanita yang bukaan mahram, Bang!”“Maaf, Dek.” Nisa langsung memalingkan wajahnya ke jendela. Liburan yang kuanggap akan memperhangat hubungan kami yang dingin, malah jadi hambar. Setelah panggilan dari Ibu Santi ditutup. Nisa tak mau lagi tertawa, entah apa yang tengah dia pikirkan. Akhirnya setelah mengunjungi Farm House, rencana menginap pun kami batalkan, tak ada protes dari Nisa, dia hanya menjawab sekenanya.“Sa, kamu marah?” tanyaku saat sampai di rumah, anak-anak sepertinya kelelahan masih sore pun mereka sudah terlelap.“Iya, aku marah. Kamu selalu membuatku bingung, Bang.”“Aku enggak akan menemuinya.”“Abang bilang begitu, tetapi sepanjang jalan terus saja memikirkannya, mendiamkan kami semua.” Nisa membalikkan badannya, memunggungiku.“Melupakan itu sulit Sa, tapi demi kamu aku akan mencobanya.” Pantas saja di kantor