Bab 67Belanja BulananAku meletakkan cangkir di atas meja makan. Sebuah kotak berisi brownies coklat aku keluarkan dari kulkas. Aku mengiris kue itu menjadi beberapa bagian dan menyusunnya di piring saji. Brownies coklat yang manis dengan secangkir teh panas yang rasanya tidak terlalu manis ini menjadi pasangan yang sungguh sempurna.Sepuluh menit kemudian mas Ibra akhirnya keluar dari kamar dan menghampiri meja makan. Lelaki itu terlihat lebih segar dengan pakaian yang lebih kasual. Dia menarik kursi, kemudian duduk."Kamu kenapa, Sayang? Bawaannya kok cemberut terus dari Mas datang tadi?" tanya mas Ibra. Dia meraih cangkir berisi teh dan menghirupnya sedikit, lalu meletakkannya kembali ke atas meja."Mau sampai kapan dia tinggal bersama kita di sini, Mas?" Akhirnya pertanyaan itu lolos juga dari mulutku, pertanyaan yang mengganjal pikiranku akhir-akhir ini. Aku menatap lekat wajah suamiku, wajah yang meskipun sudah terlihat lebih segar, namun raut lelah itu tetap saja tak bisa dise
Bab 68Lelah"Terserah kamu bicara apa sama aku, tapi yang jelas jangan harap aku mau tunduk kepadamu. Jika kondisi kamu sudah pulih, maka Mas Ibra akan segera memindahkan kamu ke apartemen yang lain. Kamu nggak akan selamanya tinggal di sini dan mengacaukan hidup semua orang!" Sekalian saja aku memberitahu isi percakapan kami malam itu, agar gadis ini tahu diri. Dia pikir semua orang akan melakukan apa yang ia inginkan?Oh, tidak!Dia di negara ini sendirian dan keluar dari negaranya pun secara diam-diam tanpa membawa asisten ataupun pengawal."Tapi kalau lelaki itu datang bagaimana?" rajuknya. Gadis itu rupanya masih saja terus membantah."Makanya, berani berbuat itu berani bertanggung jawab. Kalau sudah begini gimana, coba?" Aku berdecak sebal."Kamu nggak tahu apa yang aku rasakan, Kayla. Semua ini gara-gara kamu! Kamu yang sudah merebut Kak Ibra dariku. Jadi seharusnya kamu punya tanggung jawab untuk mengurus dan merawatku. Lagi pula kehamilanku bermasalah...."Luar biasa sekali
Bab 69Makan Rujak Bersama Adiba adalah identitas baru yang dibuat oleh Mas Ibra untuk Fahda. Sosok dan wajah Fahda memang cukup familiar, meskipun tidak benar-benar familiar untuk orang-orang di daerah ini, tetapi bisa saja orang-orang akan menyadari jika seorang putri bangsawan dari negeri onta tengah menyembunyikan diri di negeri ini.Kami harus super ketat menyeleksi setiap orang yang berhubungan dengannya. Itulah kenapa aku harus rela berkorban waktu dan tenaga untuk mengurus sendiri gadis itu. Dokter Ilham sudah diberitahu soal ini dan pria itu bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia ini kepada siapapun, apalagi ini menyangkut kode etik tentang kerahasiaan seorang pasien.Pria itu sangat profesional. Aku mempersilahkan dokter Ilham dan asistennya masuk ke dalam kamar gadis itu. Berhubung tidak ada alat kedokteran penunjang, dokter Ilham hanya mengukur denyut nadi gadis itu dan memeriksa kontraksi rahim dengan tangannya. Syukurlah, keadaan Fahda sudah lebih baik."Ini obat ya
Bab 70Nafkah Yang Keliru"Mama sudah menagih uang gajiku. Padahal aku belum mengucapkan salam," gerutu Gilang. Wajahnya yang semula ceria mendadak keruh. Ibunya seperti petugas yang menagih uang pajak saja, atau debt kolektor yang menagih cicilan."Ya, wa alaikum salam," sahut mama Kumala dengan wajah cemberut tanpa menarik tangannya. Dia masih saja menadahkan tangan.Namun Gilang tidak menghiraukan ibunya. Dia menerobos masuk ke dalam rumah."Sabar dulu, Ma. Tutup pintu, baru setelah itu kita bicara." Gilang duduk setelah melepaskan sepatunya, lalu menaruh ransel di pangkuan."Kamu tinggal kasih aja uang gaji kamu sama Mama. Gitu aja kok repot. Bukannya selama ini Mama yang ngurus kamu? Wajar dong kalau Mama berhak atas gaji kamu...." Perempuan tua itu mulai kembali mengoceh."Wajar, tapi bukan berarti harus semuanya, karena aku juga punya keperluan. Aku butuh uang untuk beli bensin, pulang pergi ke tempat kerja." Gilang beralasan. Dia membuka tas ransel kemudian mengeluarkan sebuah
Bab 71Cerita GitaPria itu bergegas menghampiri adiknya, lalu merangkul tubuh itu saat mendapati tubuh Gita yang limbung. Dia segera membawa adiknya masuk ke dalam. Sebelah tangannya menutup pintu dan setelah itu Gilang membawa Gita duduk di lantai yang beralaskan karpet tipis berbahan plastik."Ada apa, Gita?" Gilang mengamati penampilan sang adik. Penampilan Gita terlihat menyedihkan dengan pakaian yang kusut serta rambut yang sedikit acak-acakan."Maaf, aku terburu-buru berangkat kemari, jadi tidak sempat memperhatikan penampilanku." Gita merasa jengah ditatap oleh kakaknya."Tak apa, tetapi apa yang membuat kamu menjadi buru-buru kemari? Selama ini kamu nggak ada kabar dan tiba-tiba kamu muncul dengan penampilan yang seperti ini pula," balas Gilang dengan suara rendah."Mas Evan menceraikanku, Mas....""Apa?" Suara Gilang langsung menggelegar lantaran ia sangat terkejut dan itu membuat mama Kumala yang tengah berada di dapur langsung melongok ke ruang tamu."Gita!" teriak perempu
Bab 72Penawaran Baru"Sebenarnya Mas Evan itu adalah asisten pribadi Tuan Ibra yang sekarang menjadi suaminya Mbak Kayla," akui Gita."Asisten pribadi Ibra?" Gilang kian mengeratkan genggamannya, tanpa menyadari Gita yang meringis lantaran pegangan itu begitu kuat. Dia sangat terkejut. Ucapan Gita sukses membuat dadanya terasa tertohok"Benar Mas. Mas Evan itu adalah asisten pribadi Tuan Ibra. Aku baru tahu belakangan, tepatnya di detik-detik terakhir pernikahan kami. Mas Evan menceritakan segalanya, kenapa ia harus menikahi aku. Orang yang membeliku sebenarnya bukan Mas Evan, tetapi Tuan Ibra. Uang 100 juta itu berasal dari Tuan Ibra dan Tuan Ibra melakukan ini karena Mbak Kayla."Akhirnya pegangan itu mengendur dan terlepas. Gilang memijat pelipisnya, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang muncul dari mulut sang adik.Ibra? Kayla?"Jadi mereka dalang di balik semua ini?""Seperti itulah yang diceritakan Mas Evan kepadaku untuk menjawab rasa penasaran, karena selama kami menika
Bab 73Pergi Dari Rumah "Kalau iya, kenapa? Kamu mau marah? Oh, silakan!" Perempuan tua itu merentangkan tangan seraya menatap anak sulungnya dalam-dalam. "Mama sudah berusaha agar kamu dan Gita hidup enak, agar kamu jadi manajer lagi, nggak seperti sekarang jadi pelayan. Kamu sadar nggak sih, Mama itu sayang sama kamu dan Gita. Jadi nggak benar Mama menjual Gita. Mama hanya ingin Gita hidup enak, tanpa harus kerja keras. Cuma ngangkang doang kok, apa susahnya?!" oceh mama Kumala. "Dan Mama kecipratan enaknya punya uang banyak juga, kan?" ujar Gilang sinis. Ibunya benar-benar sudah tidak bisa lagi diajak berpikir jernih. Sedemikian inginkah ibunya agar kehidupan mereka kembali seperti dulu, sampai menghalalkan segala cara? Entah terbuat dari apa hati ibunya sehingga tega berbuat seperti ini. "Masa depan Gita masih panjang, Ma. Jangan Mama korbankan. Kasihan, Gita sudah cukup susah karena harus menikah dengan orang yang tidak dia kenal, kemudian diceraikan. Biarkan Gita menata hid
Bab 74Garis Dua"Mas Gilang...."Pria itu menoleh. Aku melempar senyum sambil merentangkan tangan Keisha, mengajak putri kecilku untuk melambai. Bagaimanapun, mas Gilang adalah ayah kandungnya, dan aku tidak mau merusak hati dan pandangan polos Keisha tentang ayah kandungnya.Ayahnya memang pernah menyakiti kami, tetapi jangan sampai rasa dendam dan benci menyelimuti jiwa putriku yang masih bersih."Kayla." Pria itu mendekat, dengan masih memegang kardus di tangannya."Iya, aku mau belanja keperluan Keisha," ucapku."Aku akan membantumu belanja, tapi tunggu sebentar ya. Aku harus menata barang di kardus ini." Dia memperlihatkan isi kardus yang berisi satu merk mie instan."Aku duluan ke area perlengkapan bayi ya," pamitku."Iya, silakan." Pria itu mengangguk dan membiarkan aku pergi sambil mendorong troli. Sekilas aku melihat dia tergesa-gesa membereskan pekerjaannya."Keisha makan bubur bayi instan?" tanya mas Gilang saat mengamati troli di hadapanku yang sudah terisi dengan beberap
Bab 146 "Kejutan apa itu, Mbak?" Benakku langsung membayangkan suasana di apartemen. Mungkin lantaran merasa rindu dengan kami, asisten rumah tangga kami ini berinisiatif mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dengan memasak masakan kesukaan kami. "Rahasia dong! Kalau saya bilang, berarti bukan kejutan lagi dong!" Perempuan itu tersenyum jahil dan aku tak lagi berniat untuk mendesak. Toh, sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan segera tahu apa yang disiapkan oleh asisten rumah tangga kami ini. Mobil perlahan memasuki basement dan akhirnya berhenti. Aku dan mas Ibra keluar dari mobil dan berjalan menuju lift menuju lantai unitku berada. "Tara... kejutan!' seru mbak Ranti setelah ia menekan tombol password di pintu apartemenku. "Mas Gilang, Gita!" Aku sangat kaget, dan refleks menatap mbak Ranti dan bik Jum bergantian. Namun, kedua asisten rumah tanggaku itu malah tersenyum, bahkan ketika aku menatap mas Yanto, pria bertubuh kekar itu juga tersenyum. Ada apa ini? Aku menat
Bab 145Aku membiarkan Kania digendong oleh Rihanna. Menyaksikan binar matanya yang nampak begitu menyayangi putriku, aku tidak tega untuk mengambilnya. Akhirnya aku memilih mengayunkan kaki menuju kamarku.Biarkan saja Kania bersama dengan Rihanna. Jika putri kecilku haus, Rihanna pasti akan segera mengantarnya kepadaku."Ada sedikit masalah di dalam rahimnya, makanya sampai sekarang Rihanna belum punya anak, padahal kami semua sangat menginginkan keturunan yang berasal dari rahim adikku," ujar mas Ibra ketika aku tanya. "Kalau menang Rihanna ingin bersama dengan Kania selama ia berada di sini, biarkan saja. Rihanna itu sepertinya sosok yang keibuan dan penyayang anak-anak, hanya saja kebetulan memang belum rezeki." "Terima kasih atas pengertiannya, Sayang. Kita berdoa saja semoga disegerakan punya keponakan baru." Pria itu mengecup pelipisku berkali-kali, lalu membimbingku menuju tempat tidur.Ruangan ini sungguh luas. Kamar hotel tipe presiden suite saja masih kalah mewah dengan
Bab 144Aku tidak bisa berbuat atau berbicara apapun lagi, selain menatap jalanan sembari memangku Kania. Sementara mas Ibra memangku Keisha. Kami memang tidak membawa baby sister dalam perjalanan kali ini untuk alasan kepraktisan, bahkan kami tidak membawa pengawal, kecuali pengawal yang dibawa oleh ummi Azizah dari Mekkah.Kesakitan yang ummi Azizah rasakan menular juga kepadaku, tetapi aku tidak berdaya, hanya mampu menatap suamiku yang dengan segera mengedipkan matanya. Setelah mobil sampai di bandara, kami pun segera berpindah ke pesawat pribadi milik keluarga Salim Al-Maliki. Sudah lama pesawat pribadi itu ada. Sebelumnya, pesawat pribadi dimiliki hanya keluarga Al-Maliki secara umum, tetapi kini Abi Emir sudah membeli pesawat khusus untuk keluarga Salim Al-Maliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan ketergantungan dengan keluarga itu dan juga Almeera Oil Company.Keterikatan ummi Azizah terhadap perusahaan minyak itu sebatas dia adalah pemegang satu persen sa
Bab 143Perempuan tua itu menoleh. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah menuju pintu, tetapi berbalik menghampiri perempuan tua yang duduk santai di sebuah sofa di salah satu sudut ruangan.Ruang tamu khusus laki-laki ini memang sangat luas, memiliki beberapa sofa disusun dari ujung ke ujung, karena seringkali menerima tamu dengan jumlah yang banyak. "Sejak Abi meninggal dunia, aku merasa Ummu, Khaled, dan Waled berubah, kecuali Wafa," ucap ummi Azizah tanpa menuruti permintaan ibu tirinya untuk duduk kembali ke sofa di dekat perempuan tua itu duduk."Itu hanya perasaanmu saja, Azizah," balasnya."Tapi aku merasa dipermainkan di keluarga ini. Keluarga yang kupikir bisa memberikan secercah harapan, tapi ternyata hanya kepalsuan yang kudapatkan. Orang yang benar-benar menyayangiku hanya Abi, hanya syekh Ali yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, dan juga adik kecilku, Wafa." Ummi Azizah menjeda ucapannya dengan sentakan nafasnya yang berat. "Namun kalian dengan begitu kejam
Bab 142Raut wajah pria itu seketika menegang. Tampak sekali ia tengah menahan emosinya. Namun kurasa ia tidak sedang memarahiku, karena kulihat mulutnya bergerak-gerak."Aku tidak tahu, Sayang. Tapi yang jelas, aku harus mengusut semua ini. Sayang sekali di ruangan kerjaku dan di ruangan pribadi itu tidak ada kamera CCTV. Mas juga tidak tahu bagaimana caranya Nona Barbara merekam adegan itu. Mas benar-benar tidak tahu karena Mas tengah tertidur.""Tapi... tunggu Mas!" Otakku segera mencerna kejanggalan yang terjadi, karena bagiku tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Jika memang Mas Ibra bisa tertidur sampai seperti orang pingsan, apa jangan-jangan ada orang yang memasukkan obat tidur ke dalam minumannya?"Aku rasa ini sudah tidak wajar, Mas. Walaupun Mas sedang tidur, tapi kalau ada orang yang menggerayangi, biasanya Mas akan terbangun, seperti biasanya saat kita sedang bersama," ujarku mengingatkan. Pria itu tampak tercenung sejenak."Omonganmu masuk akal juga, Sayang." Pri
Bab 141"Ya Tuhan!" Aku memekik, refleks jemariku menyentuh layar. Dan adegan demi adegan itu membuat perutku seketika mual. Tubuhku lemas dan akhirnya luruh ke lantai dan tanpa sadar menjatuhkan ponselku yang masih menyala layarnya."Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Mas? Bahkan aku baru saja melahirkan anak kamu." Aku duduk sembari memeluk betisku. Tangisku pecah seketika.Siapa perempuan itu sebenarnya? Kenapa ia bisa bersama dengan mas Ibra di dalam satu ruangan, bahkan satu ranjang?Aku masih saja merapatkan wajahku dengan lutut, meski terdengar suara ketukan dibalik pintu sampai akhirnya pintu pun terbuka."Ibu kenapa? Ada apa?" Mbak Ranti terlihat kaget saat aku mengangkat wajahku yang bersimbah air mata."Papanya Kania selingkuh, Mbak," lirihku."Selingkuh?" Bibir wanita itu bergerak-gerak. Namun hanya kata selingkuh yang terucap dari bibirnya. Aku menubruk perempuan itu lalu memeluknya. Tangisku kembali pecah. Aku menangis dalam pelukan mbak Ranti. "Kenapa dia begitu
Bab 140Ibra tidak menyadari jika dari balik pintu ruang kerjanya muncul sesosok tubuh yang tadi sempat pamit keluar.Sementara itu, pintu ruangan peristirahatannya pun terbuka."Dia sudah tak sadar, Ghazi?" tanya sesosok perempuan yang tepat berdiri di depan pintu ruangan peristirahatan Ibra."Aman, Nona. Dia tidak akan sadar selama beberapa jam dan Nona bisa melakukan apapun," jawab pria itu sembari menyeringai."Bagus. Kerjamu sungguh bagus. Bayaranmu akan segera kamu terima, berikut bonusnya.""Terima kasih, Nona. Sekarang apa yang bisa saya lakukan lagi?""Bawa pria itu ke tempat tidur. Setelah itu kamu boleh keluar. Jangan lupa kunci ruang kerjanya. Nanti jika semuanya sudah selesai, aku akan hubungi lagi. Tetaplah stand by di tempatmu," titah perempuan itu yang ternyata adalah Barbara.Perempuan itu tersenyum manakala menatap pria yang tengah digendong oleh Ghazi. Sebentar lagi rencananya akan terwujud. Ghazi merebahkan Ibra dengan hati-hati ke pembaringan, kemudian segera per
Bab 139Meski penuturan sang paman tidak membuat Ibra terlalu terkejut, tetapi tak urung matanya tetap membulat sempurna. Dia bahkan refleks menjauhkan tubuhnya dari pria tua itu. Ibra berdiri, lalu pindah tempat duduk sehingga kini posisi mereka menjadi berhadapan."Dan Paman pikir aku menerima tawaran itu?" sinisnya."Paman pikir kamu hanya perlu menikahinya sebentar, setelah itu menceraikannya. Lagi pula dia hanya memintamu untuk menjadi suaminya sebentar saja. Pernikahan ini pun juga hanya akan dilaksanakan secara siri," bujuk pangeran Khaled. Dibenaknya tentu deretan angka-angka yang akan segera masuk ke perusahaan jika pernikahan ini benar-benar terjadi.Pria itu pun sebenarnya tidak ingin keponakannya menikahi wanita itu. Namun perusahaan mereka masih dalam kondisi terguncang. Tidak mudah mendapatkan investor kelas kakap seperti Tuan Wiliam.Apa salahnya jika menyuruh keponakannya untuk menikahi wanita itu? Toh, istrinya Ibra berada di Indonesia dan tidak akan tahu jika suaminy
Bab 138Meski cukup banyak perempuan yang tidak memakai jilbab di kota metropolitan Arab Saudi ini, tetapi Ibra merasa cara berpakaian Barbara cukup berani, padahal dia hanya seorang tamu di negara ini.Meski kemungkinan perempuan ini non muslim, tapi seharusnya ia tahu diri dan mengerti situasi, mengingat ia berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas penduduk wanitanya harus mengenakan pakaian tertutup.Namun, Ibra tidak menangkap itikad baik dari Barbara, justru perempuan itu bersikap seolah-olah restoran ini berada di negaranya yang menganut paham kebebasan. Lagi-lagi ia mengibaskan rambutnya, sehingga harum helaian itu terendus oleh Ibra dan membuat pria itu seketika menghembuskan nafas."Anda terlalu berlebihan, Nona. Saya hanya orang biasa. Kebetulan saja dua orang pria tua yang telah berbicara dengan ayah anda itu adalah adik dari ibu saya," sahut Ibra. Dia menurunkan tangannya dari meja, lalu menangkupkan telapak tangannya di pangkuannya."Tentu. Saya pun mengenal ibu anda yan