"Teruslah berpikir aku tidak tahu apa-apa, Fernando! Sebelum ku tendang kau ke pojok kehidupan!" Hati Melani menggeram.
"Tadi Papa ditelepon sama atasan dari perusahaan. Katanya besok papa harus kembali pergi keluar kota. Tapi sebelumnya Papa udah minta izin untuk tidak terburu-buru sebab ingin menemani kamu untuk mencabut laporan hilangnya Papa kemarin. Kan kalau laporannya nggak dicabut, Papa malu jadinya." Melanie manggut-manggut, menahan gejolak amarah yang hampir saja mendidih. Ia tahu Fernando lagi-lagi sedang berbohong. "Oh gitu, jadi besok Papa akan pergi lagi? Berapa banyak sih tugas yang diberikan sama atasan Papa? Sampai segitunya pergi beberapa hari?" Fernando memperbaiki posisi duduknya. "Mama sayang, kamu harus mengerti. Habis ini Papa akan mendapatkan bonus yang besar, tapi tunggu bulan depan. Memang kan kalau pengen penghasilan gede, kita harus rela berkorban termasuk kamu rela mengorbankan waktu Papa untuk pekerjaan." "Ya, terus?" "Besok lusa kita menarik laporanmu ke kantor pihak berwajib, kemungkinan besar setelahnya Papa harus langsung pergi. Tolong kamu siapkan barang-barang papa ya! Soalnya kali ini Papa agak lama. Pokoknya kamu jangan khawatir. Papa tidak akan kenapa-napa. Anggap saja papa sedang berjuang untuk masa depan keluarga kita." "Seberapa lamanya waktu yang akan di habiskan untuk keluar kota kali ini, Pa?" Uhuk... Uhuk... Fernando terbatuk kecil. Tangannya meraih dan mereguk air putih yang ada di hadapannya. Setelah usai, barulah ia kembali angkat bicara. "Begini Mah, mungkin Papa akan menghabiskan waktu yang lebih lama daripada biasanya. Tepatnya Papa tidak bisa menjelaskan secara detil berapa hari. Pokoknya kamu tidak usah banyak menghawatirkan. Tenang, uang bulanan akan tetap papa kasih. Kamu cukup di rumah saja dan mengasuh Arka. Urusan perekonomian biar Papa yang mengatur." "Mama bisa rasakan sendiri selama ini meskipun Papa sering tidak berada di rumah, tapi keadaan ekonomi kita tetap stabil bukan?" Lanjut Fernando menatap Melanie. Melanie mengangguk kecil. Anggukan Melanie bukan berarti Melanie membenarkan ucapan Fernando, melainkan hanya sebuah cara untuk memuluskan rencana yang akan ia persiapkan. "Iya benar. Papa memang suami dan ayah yang baik." Jawab Melanie menyunggingkan senyum. "Oleh karena itu jadilah istri dan ibu yang baik untuk anak kita, Ma. Biarkan Papa yang memperjuangkan ekonomi agar lebih baik." Dalam hati Melanie hanya tertawa dengan ucapan-ucapan penuh sandiwara dari mulut Fernando, "Kau mainkan kebohongan atas pengkhianatanmu, ku siapkan sebuah sketsa buruk atas kehidupanmu bersama simpananmu." "Sekarang Mama tidurlah. Agar besok tidak kesiangan." Dari dari tadi Fernando selalu menganjurkan agar Melania tidur dengan cepat. Melanie tahu tentu saja maksudnya adalah agar ia bisa telponan atau chattingan secara bebas sana Anggia, selingkuhannya. "Papa bagaimana? Pengen tidur sekarang atau?" Tanya Melanie. "Papa nanti saja tidurnya, masih ada yang ingin Papa urus." "Oh baiklah kalau begitu, Mama ke kamar dulu." Fernando mengangguk mengiakan. Tidak mau memperpanjang percakapan, Melanie beranjak ke tempat tidur. Di kamar terlihat Arka sudah tertidur lelap, Melanie memandang wajah imut Arka. Bocah yang belum tahu apa-apa soal orang tuanya. "Bahkan sepertinya Fernando tidak merindukan Arka. Pikirannya sudah terobsesi oleh Anggia. Apa yang harus kulakukan sekarang?" Melanie menopang dagu dengan sebelah tangan. "Oh ya, aku ingat aku masih mau punya sebuah benda yang bisa kugunakan untuk mengetahui sepak terjang mereka." Melanie mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah alat penyadap suara dan pengambil gambar. Sebelumnya itu adalah kepunyaan adiknya yang berkunjung beberapa waktu yang lalu, alat itu sengaja di beli untuk keperluan mata kuliahnya. "Untungnya alat ini tertinggal, beruntung juga kemarin aku minta diajari cara menggunakannya" Melanie memain-mainkan benda tersebut. Melanie bergegas kembali ke ruang keluarga di mana Fernando berada. "Ada apa, Ma? Kok balik lagi?" Tanya Fernando seakan tak suka. "Maaf kalau mengganggu. Mama ingin cari ikat rambut Mama. Mama rasa jatuh di sini, di sekitaran sofa." "Tapi kan ikat rambut mamah banyak bukan cuma satu." "Iya benar tapi besok kan kita harus cepat dan mama cuman nyaman pakai ikat rambut yang satu itu," ujar Melanie. "Kalau begitu cari aja. Cepat dikit ya kasihan Arka tidur sendirian di kamar." "Ya, Pa." Melanie terlihat sibuk di sekitaran kursi. "Diam dulu, Pa," Melanie tiba-tiba menunjukkan telunjuknya ke bibir. "Apa, Ma?" Fernando heran. "Kayaknya ada suara di dapur deh, kayak suara tikus gitu. Tolong Papa liatin. Mama mau cari ikat rambut dulu." "Apa-apaan sih Mama? Papa nggak dengar suara apa-apa deh." "Lihat aja dulu! Papa mau apa makanan atau tudung nasi kita diporak-porandakan sama tikus?" "Iya iya." Dengan malas Fernando melangkah ke dapur. Tidak lupa benda pipih tetap melekat pada tangannya. "Yup, ini waktunya." Dengan cepat, Melanie mengeluarkan benda kecil tadi, lalu memposisikannya di tempat yang tepat dan tersembunyi. "Beres." Melanie lega. Setelah selesai Melani kembali menuju ke kamar. "Udah dapat Ma, ikat rambutnya?" "Udah Pa. Gimana tikusnya ada beneran nggak?" "Mama salah dengar tuh, nggak ada apa-apa di dapur." "Oh ya kalau begitu Mama mau tidur dulu dah." Fernando menggangguk.*** Jam telah menunjukan pukul 02.30 menjelang dini hari, Melanie menoleh ke samping. Tidak ia temukan keberadaan Fernando di sana. "Ternyata belum tidur juga tuh orang." Gumam Melanie. Melanie bangun dari tempat tidur, ia melangkahkan kaki menuju ke ruang keluarga. Di sofa ruang keluarga terlihat Fernando tertidur pulas di sofa. Ponsel yang masih di tangan. Dengan pelan dan berhati-hati, Melanie meraih ponsel tersebut. Sialnya, ponsel Fernando terkunci."Ketahuan kalo nyimpen rahasia! Ponsel pake di gembok segala. Padahal sebelumnya tidak pernah." gerutu melanie pelan.
Melani cobae mendekatkan layar ponsel ke wajah Fernando.
Clink... Ponsel itu terbuka. Tak terlalu susah rupanya. Pengkhianat yang kurang berhati-hati. Pertama kali, Melanie membuka aplikasi pesan."Astaga!"
Mata Melanie terbelalak melihat sebuah dari sebuah nomor kontak yang bernama "Mamah Muda" [Mas, udah aman belum? telpon aku dong!] [Iya, iya sayang. Bentar.] Balas Fernando. Tentu saja Melanie tidak tahu apa yang mereka bicarakan lewat telpon. Rasa penasaran menyeruak di hatinya.Yapi untuk sementara rasa penasaran itu di singkirkan oleh Melani. Ada hal yang lebih penting yang harus Melani lakukan sekarang. Selagi ada kesempatan dengan cepat, melalui sebuah aplikasi khusus, Melanie mengambil ponselnya dan menyadap ponsel Fernando.
"Akan kuselidiki sepak terjang kalian bedebah." Bisik Melani dalam hati. Setelah usai, Melanie mengambil penyadap suara sekaligus mengambil gambar yang tadi ia selipkan di tempat tersembunyi. Di kamarnya, Melanie bersiap-siap untuk mendengar sebuah kemungkinan yang menjadi kejutan untuknya. Terlebih dahulu Melanie mengunci pintu kamar, untuk menjaga keadaan aman."Whatt? Apa ini?"
Kali ini Melanie dibuat lebih terbelalak lagi dengan isi percakapan di rekaman tersebut, [Mas, besok jangan lama-lama ya! Aku tunggu di rumah. Ibu nanyain kamu terus, Mas. Katanya ingin beli cincin buat lamaran nanti?] [Iya sayang tunggu aja. Nggak terlalu sore Mas pasti datang. Ini di rumah lagi menyusun situasi. pertama Mas harus meyakinkan Melanie, satu lagi Mas juga harus mengajaknya untuk mencabut dulu laporan hilang kemarin.] [Iya, Mas. Aku bisa maklum. Tapi mas itu nggak usah lama-lama deh kalau pulang sama Melani. Ntar Mas lupa sama aku. Bisa-bisa Mas nggak cinta sama aku lagi] [Tidak mungkinlah Mas lupa sama kamu. Kalau mas gak cinta sama kamu,nggak mungkin mas mau jadiin kamu istri.] Dughh... Jantung Melanie kembali berdegup kencang. "Berarti benar tidak lama lagi Fernando akan menikahi Anggia. Ya Rabb! Kurang ajar? Persiapan harus ku lakukan sekarang, lebih cepat lebih baik." Melanie menggeram.Bersambung....Bab 6 Kembali Melanie memeriksa handphone Fernando dengan rinci. Na'as sekali Fernando hanya mengunci ponsel dengan gestur wajahnya. Rupanya sangat mudah untuk mengakses semua isi ponsel tersebut. Membuka galeri, satu persatu foto mereka Melanie temukan. "Astaga ya, Tuhan...! Foto ini. Begitu percaya diri kah Fernando berfoto dengan busana seperti ini? Tidak kusangka." Mata Melanie menatap nanar pada sebuah foto syur sepasang manusia yang belum di ikat oleh hubungan apapun. Melanie menggeleng-geleng kepala. Andainya saja Melani tidak bisa menahan emosi, sudah pasti saat itu juga kepala Fernando yang tengah tertidur lelap itu ia hantam. Namun, Melanie masih sadar ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan, ketimbang dengan mendamprat kepala lelaki bi*dab tersebut secara langsung dan membabi buta. Nasehat Riana berguna juga. Clink... Sebuah ide muncul di kepala. "Foto-foto ini akan berguna untuk ku." Cepat-cepat Melani segera menyalin file-f
Melanie berucap di dalam hati, "Aku tidak yakin kalau pernikahanmu akan berjalan mulus, Fernando. Lihat saja, nanti akan ku permalukan dirimu habis-habisan. Sekarang nikmatilah saja perbuatanmu. Anggap saja kamu menang. Tapi ingat, itu hanya berlaku untuk saat ini, tidak untuk di masa yang akan datang, kau akan tahu akibat dari perbuatannya. Akan kubuat mukamu bersemu merah di hadapan setiap orang. Selamat menunggu balasan dari ku Fernando." Beberapa lama kemudian, penantian malam ini berakhir. Disampingnya Fernando nampak terlelap hingga mendengkur keras. Melanie bangkit dari tidurnya, mengambil kembali handphone, lalu menuju ke area yang aman dari Fernando. Setelah merasa cukup aman, dengan sigap Melanie menghubungi seseorang. Seseorang tersebut tidak lain adalah, seorang pengacara kepercayaan keluarganya. Yoga Anggara. Dia adalah seorang pengacara yang cukup cekatan dan mempunyai banyak pengalaman dibidang hukum, serta memiliki banyak teman dari kalangan
"Oh ya, Pak Pengacara Anggara, setelah ini, saya masih banyak mengharapkan bantuan dari Anda. Karena waktu kita tidak banyak. Kali ini pun kita harus melakukannya dengan gerak cepat." Serius sekali Melanie berucap. "Seperti sebelum-sebelumnya saya akan berusaha untuk sekuat tenaga dan semampu saya Mbak Melanie." Jawaban Pengacara Yoga Anggara menenangkan hati Melanie. Melanie mempersilahkan Anggara untuk masuk. Cukup banyak perihal yang mereka bicarakan. Yang dipercakapkan di dalam obrolan mereka adalah menyangkut poin-poin penting. Yang sudah tentu untuk memuluskan misi yang akan Melanie jalani. *** Bel rumah berbunyi tatkala Melanie dan Arka sedang sarapan pagi di dapur. Hari ini adalah hari Minggu. Melanie berencana untuk mengajak Arka jalan-jalan sejenak, untuk melepas rasa jenuh. Penasaran dengan siapa yang datang Melanie mengayunkan kaki melangkah ke depan. Ternyata yang datang adalah sesosok perempuan yang selama ini tidak menyukainya, B
Chapter 9 "Seharusnya ibu harus ingat, bagaimana Fernando bisa menduduki jabatan yang ia duduki saat ini? Ibu ingat? Fernando bisa berada di posisi itu karena rekomendasi dari kakak saya. Camkan itu Bu, jadi tidak usah lah ibu terlalu berbangga-bangga. Seandainya saja Fernando tidak melarangku untuk bekerja. Kedudukan yang lebih dari jabatan anak ibu bisa saya dapatkan. Ibu dengar?" Muka Bu Risa langsung merah padam, ucapan Melanie barusan sangat menamparnya. "Oh rupanya sekarang sudah berani sekali nih anak. Coba kau pikir Melanie meskipun anakku masuk ke perusahaan karena rekomendasi kakakmu, tapi jabatan yang ia dapat itu karena keahlian dan kepiawaiannya dalam bekerja. Jadi tidak usah sok kamu ya." "Tidak berterima kasih kamu, Melanie. Anakku susah payah banting tulang cari uang. Kamu hanya makan, minum, menikmati hasil. Sekarang berani melawan ibu sesuka suka hati. Sungguh akan ku laporkan kau sama Fernando. Agar kau tahu apa yang akan ia lakukan padamu karena
Chapter 10 "Lihat saja, tinggal kau tunggu kehancuran Fernando dalam waktu yang tidak lama lagi." "Aku harus bersiap lebih cepat. Sebaiknya aku segera menghubungi pengacara Yoga Anggara. Akan ku jual rumah ini dalam waktu dekat. Lihat saja, seperti apa tindakan yang akan kulakukan selanjutnya, Bu Risa. Kan ku buat mata kalian terbelalak dengan kenyataan." Melanie mengepalkan tangan. Melanie meraih ponselnya dan menghubungi pengacara Yoga Anggara. "Selamat pagi, pengacara Anggara, bisa kita bertemu pagi ini." Tanpa basa-basi Meylanie langsung bicara. "Sepertinya bisa, Mbak." "Oh ya terima kasih kalau begitu. Ada hal penting yang kembali harus kita selesaikan. Waktunya terlalu mepet jadi gerak cepat sangat dibutuhkan." Ujar Melanie. "Oke, aku akan berusaha Mbak." "Terima kasih."*** "Untuk melancarkan penyelesaian semua ini, aku membutuhkan berkas-berkas yang bersangkutan." Ucap iya Pengacara Anggara "Lalu apa saja yang harus aku siapka
Chapter 11 Di sebuah ruangan beberapa orang sedang bercanda ria. "Nak Fernando, sekarang sudah saatnya kita memikirkan di mana lokasi acara pernikahan kalian akan dilaksanakan. Dan soal undangan, telah ibu suruh seseorang untuk mengurusnya. Undangan kita tidak terlalu banyak, hanya beberapa saudara dan orang penting saja." Ucapan Bu Maya, ia adalah ibunda dari Anggia. "Namun meskipun begitu, acara harus tetap terlihat mewah dan berjalan meriah. oleh karena itu lokasi yang kita perlukan juga harus dipertimbangkan dengan baik. Bagaimanapun kita harus membuat para tamu undangan terkesima dengan kemewahan acara resepsi kalian." Sambung Bu Maya. "Soal tempat di mana kita akan melangsungkan resepsi, terserah ibu sama Anggia aja yang memilih. Saya menurut saja. Soal biaya, ibu tidak usah khawatir biar saya yang mengurus." Timpal Fernando. Jawaban yang dikemukakan oleh Fernando adalah sesuatu yang diharapkan Bu Maya sejak awal. "Bagaimana dengan istri tuamu itu F
Chapter 12 Terdengar suara deru mobil Fernando memasuki area rumah. Sebelumnya Melanie telah menyiapkan mental bajanya untuk menghadapi Fernando. Benar saja, begitu pintu dibuka bukanlah raut ramah tamah yang Fernando tunjukkan melainkan raut wajah yang menggambarkan emosi dan kemarahan. Sebelumnya, Melani sudah menduga bahwa hal itu akan terjadi. Fernando akan pulang dengan membawa emosi. "Melani sini kamu! Aku ingin bicara." Belum sempat Melanie menawarkan makan ataupun minum, Fernando telah mengeluarkan ucapan bernada dingin dan kaku. Seolah ia adalah raja, dan Melanie bagai hambanya. "Apa yang ingin dibicarakan? Apakah Papa tidak mau minum terlebih dahulu?" Tawar Melanie. "Tidak perlu, kedatanganku ke sini berkaitan dengan laporan ibu kemarin. Rasanya aku belum puas berbicara denganmu hanya lewat gagang telepon." Suara berat nan dingin itu meluncur dengan tanpa sedikitpun senyuman. Melanie menghela nafas panjang. "Maksudnya laporan ibu ya
Chapter 13 Fernando bangun ketika hari telah menjelang malam. Sedangkan Melanie b*do amat melihat Fernando yang menggerutu panjang tersebut. "Mengapa kamu tidak membangunkan aku haa? Si*lan kamu." M*kian Fernando menggema. "Buat apa aku membangunkan kamu, Pa? entar yang ada kamu malah marah-marah." Jawab Melanie. "Terus aja ngejawab kamu!" Bentak Fernando kasar. Melanie tidak peduli, tetap pada aktivitasnya menyusun dan memilah milih pakaian. "Tuh, kalau dibilangin diam saja seerti tidak dengar. Apa sudah budek telingamu?" Cacian dan makian kembali keluar dari mulut Fernando. Melanie berusaha sabar untuk tidak terjebak cek cok, karena tidak mau mengganggu tidur Arka yang baru saja terlelap. "Masih pura-pura tidak dengar kamu haa?" Raut muka kesal dan sorot mata tajam nampak jelas pada diri Fernando. Kali ini Melani bangun dari duduknya dan membalas tatapan tajam itu dengan lebih tajam. "Maumu apa sih, Pa? Baru bangun tidur marah-marah
Chapter 26 "Bu, aku berangkat dulu," Pamit Fernando. "Ya, semoga lekas mendapatkan pekerjaan yang layak, Nak!" Bu Risa berucap dengan hati mengharap. "Amin, doain ajah, Bu. Aku sudah bosan mencari pekerjaan via online. Tidak pernah diterima. Mending kucari secara langsung saja" Fernando segera meraih tas hitam berisi beberapa berkas penting sebagai persyaratan untuk melamar kerja. Mobil Fernando melaju meninggalkan rumah. "Tidak kusangka hidupku akan berubah dalam waktu yang lebih cepat. Fernando, tenangkan hatimu. Kamu pasti akan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Dasar itu si Pak Surya, kesombongannya keterlaluan," Sepanjang perjalanan Fernando menggerutu. Setelah beberapa saat, Fernando mengarahkan mobilnya ke dalam suatu area perkantoran perusahaan yang bergerak di bidang industri pangan. "Maaf Pak, ada maksud apa kemari ya?" Tanya satpam yang berjaga. "Kelihatannya Bapak bukan pegawai di sini?" Lanjut satp
Chapter 25 "Bagaimana Fernando? Apakah kau masih diterima di perusahaan itu?" Tanya Bu Risa. "Fernando akan cari pekerjaan di tempat lain aja Bu." Jawab Fernando. "Lhoo...? kok gitu?" Bu Risa mengernyitkan dahi. "Ya gitu aja Bu. Udah ah Fernando capek," Fernando melangkah ke tempat peristirahatan. tanpa mengganti pakaian kerja atau mandi terlebih dahulu, Fernando menghempaskan tubuhnya ke sofa. Terpuruk dalam pandangan yang menatap jauh ke luar jendela, dengan lamunan yang melanglang buana. Ditengah lamunannya. Bayangan Melanie kembali datang menyelip ke sela-sela hatinya. "Mengapa Melanie terlihat begitu cantik? Mengapa dulu tatkala ia masih bersamaku ia terlihat begitu lusuh? Setan apa yang menguasaiku sehingga kembali mengingat sosok Melanie?"*** Dari toilet, Melanie berjalan linglung. Kedua tangannya berpegangan pada dinding. Pemandangan itu membuat suaminya khawatir. "Kenapa, Ma?" Lelaki yang telah berpakaian rapi dengan paka
Chapter 24 Fernando berlalu dari tempat pusat perbelanjaan itu dengan muka bersemu merah. Tapi ia masih merasa patut untuk bersyukur, untung tidak dijerat tuntutan hukum atas tindakan sembrononya tadi. Cuma sebatas diberi peringatan saja. "Rupanya Melanie sudah menikah? Ah lelaki yang tadi itu? Mengapa justru dia lebih tampan? Atau mereka hanya berpura-purasaja? Hanya ingin membuat hatiku panas?" tebak Fernando. Sebenarnya Fernando menuai rasa malu yang begitu besar akibat pertemuan dengan Melanie dan suami barunya yang sama sekali tidak terduga-duga. Ada rasa rendah diri, ada rasa kalah, ada juga rasa minder pada kenyataan itu. Namun, untuk mengakuinya secara langsung, rasa gengsilah yang menyiksa. Masih terbayang dengan amat jelas sosok lelaki yang merupakan suami Melanie tadi. Postur tubuh yang bahkan lebih dari cukup untuk bisa dikatakan tampan dan gagah. Ditambah lagi dengan penampilan yang bisa dipastikan jika laki-laki itu cukup mapan. Semu
Chapter 23 "Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres," "Apa ada seseorang yang menyebar fitnah? Tapi siapa?" Fernando tidak habis pikir. "Ah sepertinya aku harus datang langsung ke kantor untuk mengecek video apa yang dimaksud mereka?" Fernando memasukkan ponsel ke dalam tas yang biasa menemaninya ke mana-mana. "Mau ke mana lagi kamu?" Tanya Bu Risa. "Mau ke kantor." Jawab Fernando pendek. "Apa kamu sudah diterima bekerja kembali di sana?" "Entahlah." "Lhaa, kalau kamu masih belum tahu kenapa pergi ke kantor jam segini?" Fernando mulai geram dengan banyaknya rentetan pertanyaan dari mulut sang ibu. "Datang ke sana untuk bertanya Bu, kalau aku cuma diam dirumah saja mana tahu aku. Ah ibu terlalu cerewet. Bosan aku mendengarnya." Fernando menggerutu. Bu Risa geleng-geleng kepala melihat aksi Fernando. Mobil yang dikendarai oleh Fernando meluncur menuju ke perusahaan dimana selama ini ia bekerja. Di tengah perjalanan, Fer
"Aku ingin melihat dengan jelas jikalau rumah ini memang telah berubah kepemilikan menjadi milik Bapak," ucap Fernando. "Ya oke, tidak masalah. Tunggu di sini sebentar." Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Sepeninggal laki-laki itu terlihat Topan dan istrinya memandang tak suka kepada Fernando. "Kamu bagaimana, Fer? mau menipu atau ingin mempermainkan kami? Kok tiba-tiba masalahnya jadi ribet kayak gini?" Topan kesal. "Iya Mas. Kita udah lama nunggu. Udah capek-capek juga datang ke sini eh tahu-tahunya rumah yang jadi tujuan nggak jelas," timpal Mona. "Maaf, ini pasti cuma salah paham. Tidak mungkin Melanie berani menjual rumah ini tanpa sepengetahuanku." Ujar Fernando menenangkan. Tidak lama kemudian lelaki tadi kembali datang dengan menenteng map di tangannya. "Ini Pak, Bapak boleh lihat sertifikat asli rumah ini." Lelaki tersebut membuka map dan menyodorkan sebuah sertifikat yang jelas-jelas saja membuat Fernando terkejut. "Ya amp
Fernando sejenak mengabaikan pertanyaan Topan. Perhatiannya hanya terpaut pada lelaki asing yang kini ada di rumah itu. "Anda siapa, Pak?" Tanya Fernando. "Maaf sebelumnya, sepatutnya aku yang bertanya Anda yang siapa?" "Aku pemilik rumah ini? Lalu bapak ini?" Fernando menaikkan dagu. "Aku pindah sejak beberapa bulan yang lalu. Dan tentu saja aku pemilik baru di sini," Jawab laki-laki tersebut. "Apa iya? Tidak usah bicara ngawur! Sama siapa Bapak mendapatkan hak milik. Toh pemilik sah rumah ini adalah aku," timpal Fernando, "Hahaa... Sepertinya obrolan kamu agak kurang nyambung. Kok bisa mengaku-ngaku jadi pemilik rumah ini?" Lelaki asing tersebut nampak terkekeh lucu. Fernando mendadak merasa di rendahkan dengan ucapan lelaki yang sama sekali belum ia kenal tersebut. "Ngomong apa Anda ini? Atau bapak yang mengalami gangguan jiwa?" Balas Fernando. Mukanya mulai merah padam. Rupanya sifat mudah marah masih begitu melekat pada sosok Fer
chapter 20 Tidak tidak terasa ada setetes dua tetes buliran bening yang keluar dari sudut mata Fernando tanpa mampu untuk ia hentikan. Fernando membutuhkan waktu barang beberapa menit untuk menenangkan kembali hatinya. Sengaja mobil ia hentikan ke pinggiran jalan. Fernando meregangkan tangan berharap bisa mengembalikan rasa rileks. "Anggia, Anggia. Begitu teganya kau," kembali bayangan Anggia bersama laki-laki tampan dan gagah yang tadi bersamanya mengganggu pikiran Fernando. "Wanita itu...! Aaaaah... Uangku sudah banyak habis karenanya. Tapi sekarang dia meninggalkan aku demi laki-laki lain. Tidak ada otak." Untuk mengusir rasa jenuh nya Fernando memainkan ponsel Android, Melihat beranda beranda di beberapa fitur aplikasi media sosial. Matanya terpaku pada sebuah postingan. Postingan dari temannya sendiri. Sebuah postingan yang sedang mencari rumah sewa. Tiba-tiba Fernando memiliki ide. "Bagaimana kalau kukontrakan saja r
chapter 19 Beberapa lama mendekam di jeruji besi, Fernando akhirnya keluar juga. "Syukurlah akhirnya kau terbebas dari penjara. Untuk sementara waktu tinggallah di rumah ibu. Tenangkan otakmu dulu." Saran Bu Risa. "Bagaimana kabar rumah Fernando,Bu? Adakah Ibu melihat-lihat?" "Rumahmu baik-baik saja. Tenang saja, kan si Melanie busuk itu sudah ku usir secara paksa dari sana. Ibu suruh dia angkat kaki dengan segera tanpa membawa apapun. Hahaa... Dia tidak akan menjadi pemusing kepalamu lagi," Bu Risa berujar bangga. "Habis dia gak sopan banget, gara-gara dia kamu mendekam dalam penjara. dia kira aku membiarkannya begitu saja untuk tetap tinggal di rumah yang kau beli dengan uang sendiri. terlalu kecil pikiran tuh anak." "Dia wanita sombong, berani menggugat cerai kamu." Bu Risa nampak bersungut-sungut. "Tidak usah peduliin dia, Bu! Syukurlah kalau dia sudah angkat kaki." Seru Fernando. "Ngomong-ngomong, kemana mereka pergi?" "Ibu nggak tah
Chapter 18 Obrolan-obrolan tidak menentu, yang tentu saja mengundang bir*hi, mengiringi pergelutan mereka. Sampai tiba-tiba, Gedubrak... Dengan sangat tiba-tiba pintu kamar terbuka. Beberapa orang berseragam di sana. Aktivitas Fernando dan Anggia terhenti seketika. Keduanya kaget bukan kepalang. Beragam pertanyaan diajukan oleh para petugas berseragam tersebut. Namun naas, mereka tidak bisa menunjukan kartu identitas hubungan suami istri mereka. Karena memang mereka tidak memilikinya. "Bawa dia ke kantor polisi!" Perintah seorang di antara mereka yang sepertinya adalah pemimpin penggerebekan itu. Keduanya dibawa ke kantor polisi fengan paksa.*** Bu Risa yang mendengar berita anaknya di gerebek karena tidur bersama wanita yang bukan istrinya di sebuah hotel, mendadak bingung. "Aku akan menebus anakku. Kami bisa malu kalau berita ini sampai tersebar kemana-mana.Tapi uang darimana ya?" Bu Risa berpikir. "Ah bukannya aku m