Setelah puas mengobrol, selanjutnya kami menyantap makanan yang telah terhidang di meja. Siapa lagi yang sudah membuatnya kalau bukan Mama. Masakan beliau tak kalah dengan buatan koki atau chef di restoran bintang lima.Kehadiran Bu Dewi membuatku sejenak melupakan masalah yang telah terjadi tadi siang bersama Ayah. Meski tak mungkin sepenuhnya kulupakan, dan takkan mungkin bisa hilang dari ingatan. Namun, aku berusaha menyembunyikan itu semua dari Mama.Sampai, ketika Bu Dewi sudah pulang. Mama mengajakku bicara. Kami duduk di sebuah gazebo yang terletak di belakang rumah. Tempat favorit kami sekeluarga untuk bersantai melepas penat ketika Ayah masih bersama Mama dulu. Gazebo ini berada di tengah-tengah kolam renang dan taman. Suasananya sepi, membuat kedamaian tercipta ketika ada di tempat ini. Apalagi, terdengar gemercik air dari sebuah kolam ikan kecil yang berada di tengah-tengah taman, menambah kesyahduan suasana.“Sayang. Mama mau tanya sesuatu sama kamu. Kenapa kamu pulang en
Pernyataan itu hanya dapat terucap di dalam batinku saja. Tak bisa ceritakan kepada Mama, selain menanggung rasa sakit ini sendiri.“Ma ....”“Ya, Sayang.”“Laras enggak mau nikah. Laras enggak mau sakit hati kaya Mama. Laras enggak mau nanti akan ada Laras kecil yang merasakan kesedihan seperti Laras. Laras enggak mau nanti anak Laras menderita. Rasanya sungguh menyakitkan, Ma. Sungguh sakit ....” Mataku mulai berembun, setetes demi setetes air mata mulai tumpah dan mengalir deras di pipi. Mama memelukku dengan tangisan yang sama. “Ya Allah, Nak ... jangan bicara seperti itu. Tak semua laki-laki seperti yang kamu pikir. Masih banyak pria yang setia di luar sana. Ini sudah takdir Mama. Ujian dari Allah, Nak. Ayah dan Mama memang belum berjodoh saja. Kami hanya ditakdirkan bersama untuk sementara. “Kamu putri kesayangan Mama. Hidup Mama. Cahaya dalam kegelapan. Kamu itu sumber kekuatan untuk Mama, Nak. Bagaimana Mama bisa menjalani hidup dengan bahagia, kalau kamu saja seperti ini
POV LarasVideo viral tersebut tersebar sangat cepat. Puluhan dan bahkan ratusan juta orang telah melihat dan ikutan berkomentar.Sejak saat itu, kisah cinta Ayah dan Tante Sinta dan hancurnya keluargaku karena wanita lain telah diketahui oleh semua orang. Awalnya, hanya teman satu kelasku saja yang tahu, tetapi setelah video itu tersebar luas, satu sekolah menggosipkanku.Mulai saat itu, sering terdengar teman-teman bergosip tentang kami. Sebagian ada yang prihatin, dan tak sedikit berita tak sedap berseliweran. Entah siapa yang memulai menyebarkannya. Padahal, itu semua salah. Semua nada sumbang tentangku dan Mama itu semua tak benar.Apalagi, beberapa hari yang lalu, Tante Sinta datang menemuiku di gerbang sekolah, saat jam pelajaran telah usai. Tinggal ada beberapa teman yang masih ada di sekolah, terutama murid yang sedang mengikuti ekstrakurikuler.Tak kusangka, ternyata Tante Sinta membuat drama dan memfitnahku.“Ada apa Tante Sinta ke sini? Apa Tante merasa kurang terkenal den
“Jangan pernah menyalahkan Mama, Yah. Ini semua fitnah. Tante Sinta yang sudah bohong dan membuat drama ini,” hardikku lalu menoleh ke arah wanita yang tengah kesakitan dan mulai dipangku Ayah.“Tan. Katakan yang sebenarnya! Jangan memfitnahku seperti ini!”“Bayiku, Mas! Bayiku ...!” racaunya kembali membuat semua orang melihat dengan iba.Tak lama setelah itu Tante Sinta tak sadarkan diri dalam gendongan. Membuat Ayah panik dan cepat membawanya ke dalam mobil. Kemudian, bergegas meninggalkan tempat di mana kami berada. Tanpa memedulikan penjelasanku sama sekali. “Tante Sinta berbohong, dia memfitnahku!” kembali aku berteriak!“Mama harus percaya sama aku. Dia bohong, Ma. Itu gak seperti yang Mama lihat.”Plak!“Mama kecewa sama kamu. Mama sudah bilang sebelumnya, Ras. Ikhlaskan semuanya. Hentikan semua kekonyolan ini. Mama enggak pernah mengajarkan kamu berbuat kasar sama orang termasuk orang yang tak disuka sekali pun. “Lihat Mama, Ras. Apa yang kamu dapatkan dengan berbuat semua
“Lo siapa? Jangan ikut campur sama urusan Gue!” bentaknya dengan gaya angkuh. “Enggak penting siapa aku. Pastinya yang ingin kulakukan sekarang adalah menghentikan kamu untuk bolos sekolah,” sahutku langsung mendapat lirikan sinis dari orang di hadapanku.“Terserah gue mau bolos atau enggak. Memangnya apa urusan Lo. Jangan pernah atur hidup gue.”“Tapi yang kamu lakukan ini salah. Kasihan orang tua kamu kalau tahu kamu begini.”Namun, ia hanya tertawa dengan hambar.“Tahu apa Lo tentang orang tua gue? Mereka mana peduli sama kehidupan yang gue lalui. Kalau pun mati, mereka tak akan pernah berduka.” Aku terkejut mendengar apa yang sudah dia katakan. Kenapa diri ini merasa dia senasib denganku? Apa dia juga sama korban perceraian orang tuanya? Untungnya, aku masih mempunyai Mama yang menyayangi dan peduli.“Oh iya. Gue inget. Lo bukannya anak yang ada di video viral beberapa bulan yang lalu kan? Lo juga korban keegoisan orang tua Lo? Sebaiknya, urus hidup Lo sendiri dan nasib Lo setel
POV Laras.“Dagangannya rusak begini. Gimana aku bisa ganti semuanya ke Bude Lilik dan beli makan buat adik?”Serasa ada sesuatu yang menampar jiwaku. Benarkah anak sekecil ini harus berjuang demi mendapatkan sesuap nasi dan menghidupi adiknya? Lalu, ke mana orang tuanya?Aku dan Lea saling bertatapan satu sama lain. Tanpa kata, kami berjongkok dan membantu anak kecil tadi memungut satu persatu kue basah di tangannya.“Kami bantu, ya, Dek,” tegurku. Bocah itu langsung mendongak. Menatapku dengan mata yang masih berlinang.“Iya, Kak. Makasih banyak,” jawabnya masih dengan isakan. Mendengar tangis pilu adik kecil ini membuatku semakin terenyuh. Tiba-tiba saja, rasa sesak mulai merayapi hati. Tak tega rasanya melihat hal menyakitkan seperti ini.“Sama-sama, Dek.” Aku mengelus pucuk kepala anak itu dengan mata berair. Lalu, melirik ke arah sekitar. Terdapat beberapa orang lewat dan melihat dari kejauhan apa yang telah terjadi. Hati ini kembali miris. Rendah sekali kesadaran untuk memban
Ya, tadinya kupikir hanya aku saja dan Lea yang menderita di dunia ini. Akan tetapi, setelah mendengar cerita adik ini, aku merasa kesedihan kami tak sebanding dengannya. Seorang bocah tujuh tahun yang harus menghidupi adiknya yang masih kecil karena Bapak sama Emaknya meninggal dunia. Terlebih lagi, kedua bocah yatim piatu itu harus tinggal sendirian, tanpa saudara dari pihak kedua orang tuanya. Mereka berdua hanya sebatang kara.“Kamu kuat banget sih, Dek. Boleh Kakak berdua ketemu sama adikmu? Sekalian nganterin dagangan yang udah rusak ini,” pinta Lea. Wajah adik tersebut langsung menatap sedih pada sekeranjang makanan yang rusak di depannya. Setetes cairan bening jatuh di pipi anak itu.“Kenapa kamu jadi sedih lagi?”“Aku enggak bisa pulang dulu ke rumah. Mau nyari uang dulu buat ganti kue yang rusak sama nyari makan buat adik. Pasti, dia udah nunggu di rumah. Kami belum makan dari kemarin,” papar anak tersebut, membuatku dan Lea saling berpandangan. Seolah sedang berkomunikasi
Kuyakin, kalau tidur di atasnya tubuh akan terasa sakit. Rumah ini pun tak memiliki lantai keramik. Hanya tembok dari semen untuk alas kasur tipis tadi. Tanpa tikar, atau pun alas lain.Seketika diriku ngilu membayangkannya. Bagaimana mereka bisa kuat tinggal di tempat yang seperti ini? Bahkan, dapat kubayangkan setiap malam tidur dengan kedinginan, apalagi diri ini yakin angin malam akan masuk dari celah-celah bilik yang bolong. Semakin membuat udara semakin menusuk.Bagaimana, jika turun hujan dengan genting yang bocor? Dapatkah mereka bisa tidur dengan nyenyak? Bahkan, selimut pun tak ada yang hangat. Hanya tersedia kain jarik tipis yang telah pudar warnanya.Aku meringis dalam hati. Tak kuat netra ini kembali berkaca-kaca. Ya Allah, maafkan Laras yang selama ini tak pernah bersyukur dengan apa Engkau berikan. Pun, diriku langsung teringat dengan Mama. Maafkan aku, Ma. Laras mungkin sering banyak mengeluh dan terlena dengan kesedihan karena pengkhianatan Ayah. Merasa diriku seora
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar
Aku dan Mas Egi yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak mendengar panggilan dari Dokter yang baru saja keluar ruangan operasi. Mas Egi langsung berdiri dan menghampiri serta mencecar Dokter tersebut, menanyakan keadaan Tante Ambar sekarang. “Tenang Pak Egi. Tenangkan diri dulu,” ujar dokter tersebut dengan raut wajah lelah dan sendu. Pria yang usianya seperti tak jauh denganku itu menghela napas panjang. Tiba-tiba saja firasatku tak enak. “Ibu Ambar mengalami luka robek yang cukup parah dan telah mengeluarkan darah dengan banyak, beliau telah berusaha berjuang untuk sembuh. Kami pun pihak medis rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan beliau, tetapi Tuhan berkehendak lain. Bu Ambar tak bisa bertahan lagi dan mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah operasi berjalan dengan lancar,” papar Dokter tersebut .Dunia seketika mendung. Mas Egi langsung berlari dan Masuk ke dalam ruangan operasi. Aku kembali terduduk dengan lemas di kursi. I
“Rasti, Tante sudah menganggapmu putri kandung sendiri,” ucapnya dan langsung terjeda karena Tante Ambar terlihat meringis kesakitan.Aku dan Mas Egi bahkan meminta dokter kembali menanganinya, tetapi segera dihentikan oleh Tante Ambar. Beliau tetap kekeh memintaku untuk mendengarkan ucapannya.“Tante takut ini ucapan Tante yang terakhir buat kamu,” bisiknya dengan suara yang semakin lemah.“Bisakah Tante meminta satu hal terakhir kepadamu, Ras?”Aku tak kuasa menahan pilu melihat keadaan wanita yang sudah kuanggap pengganti orang tuaku ini, dengan air mata yang semakin merebak, aku mengangguk dan siap mendengarkan apa yang hendak Tante Ambar ucapkan. “Tante ingin kamu menjaga Fiandra. Satu lagi, Ras. Bisakah kamu menerima cinta Egi dan menikah dengannya? Dengan begitu, kamu bisa dengan leluasa menjaga Fiandra, begitu pun Laras tak perlu lagi menerima orang baru sebagai Papa sambungnya. Dia juga sudah setuju kalau kamu menikah lagi, apalagi dengan Egi. Laras sangat senang dan setuju
Aku terduduk dengan lemas sambil memangku Fiandra. Begitu pun Mas Egi. Kami berdua tak bisa berkata-kata melihat keadaan Tante Ambar.“Mas. Apa Tante Ambar akan baik-baik saja?” tanyaku kepada Mas Egi yang saat ini tengah menutup wajah dengan telapak tangannya. Terlihat sekali kekalutan di wajah pria itu.“Semoga saja, Ras,” gumamnya lirih.Hening, kami berdua hanya diam setelahnya sambil menimbang-nimbang pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Mas Egi.“Mas ....”Sepupuku itu bergumam dan mengangkat wajahnya memandangku. “Apa yang Tante Ambar katakan benar?”Mas Egi mengangguk, dia tersenyum masam. “Iya. Tapi ... lupakan saja, Ras. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerimaku, bukan? Mama memang yang mengatakan perasaanku sebenarnya kepadamu. Tapi ... aku paham jika kamu memang belum siap menerima pria lain untuk menjadi suami. Tenang saja, aku akan berusaha untuk mengubur perasaan ini.” Ucapan Mas Egi terdengar menyakitkan. Benarkah dia sungguh memiliki perasaan padaku? Bukankah