Vero menatap layar ponselnya yang menampilkan telepon masuk dari sang mommy. Ia tak tergerak mengangkat panggilan, walau barang sejenak. Suara wanita itu pasti hanya akan menggoyahkan kepercayaan dirinya. Vero setia menunggu sampai dering tak lagi bergema.Surat peninggalannya pasti sudah dibaca.“Buset gue kayak ninggalin wasiat aja.”Setelah benar-benar memastikan Mommy-nya menyerah, Vero mengaktifkan tautan kunci. Mengetikan beberapa kombinasi angka yang ia pasang demi meminimalisir tindak kejahatan orang tak bertanggung jawab andai ponselnya hilang. Tanggal apes tidak ada di kalender jadi berjaga-jaga saja.Hal pertama yang Vero tangkap adalah aplikasi finansial yang selama ini ia gunakan untuk mempermudah transaksinya meski tanpa kartu fisik.Cling-Cling!Sebuah pikiran buruk bersarang dibenaknya. Tubuh pria itu melongok, mengintai apakah sang istri mendadak keluar menghampiri dirinya atau tidak. ‘Aman!’ Jarinya-jarinya mencoba membuka aplikasi tersebut. Pikirnya lumayan jika ia
Vero dan Mischa menganggukkan kepala mereka bersamaan. Setelah memastikan semua uang Vero tersimpan rapi di dalam tas ranselnya, pasangan sahabat yang merajut benangnya secara sepihak itu keluar dari mobil. Angin menerpa rambut keduanya.Mischa menenteng plastik nasi goreng. Hasil mengembara bersama calon bosnya- kalau jadi. Ia cukup sanksi Vero akan kaya raya tanpa bantuan orang tuanya.“Cepet!!” Mereka berjalan terbirit-birit. Stefany bak nyonya besar telah menanti kedatangan mereka. Ditangannya ada sebuah tongkat pemukul yang diketuk-ketu
Semesta terkadang tak hanya menyajikan derita. Badai yang menyapa bersama tuntutan hidup yang semestinya, nyatanya mendatangkan apa itu arti sebuah perjuangan. Menderita- tak masalah, asal melalui semua luka dengan Stefany, Vero rela menukar segalanya.Cih! Kenapa pilu yang ia alami malah terkesan seperti cinta tanpa restu orang tua?! Mereka layaknya pasangan kawin lari.Vero tertawa hambar. Jelas-jelas kemalangan yang menimpa mereka berkat ia yang tak becus menjadi penerus tahta keluarga. Andai ia terlahir dari benih pria biasa, hidupnya pasti akan baik-baik saja. Contohnya seperti sekarang ini. Ia menikmati hari-harinya. Walau tak terbangun di ranjang empuk kualitas super, tapi ia terus mengucapkan syukur karena menemukan wajah ayu Stefany disampingnya.Perih hatinya seketika meluap ke dasar jurang sedang ia di atas sembari melambaikan tangan- ‘Dadaaaaa Mommy cerewet!!’Sepe
Sebuah mobil melaju pelan membelah jalanan Tangerang menuju Jakarta Selatan. Dibelakang BM* 8i tersebut tiga mobil boks berbaris rapi, mengikuti kecepatannya. Vero di dalam, menghembuskan nafas kala memperhatikan pengiriman barang yang Justine belikan. Tak sekedar alat elektronik pengisi kamar kosnya yang sempit, pria itu turut memborong printilan-printilan rumah tangga lainnya seperti bahan makanan, buah-buahan, snack dan seperangkat keperluan lainnya.Puluhan juta Justine gelontorkan..Sumpah, ini terakhir kali Vero mau diajak keluar. Urat malunya yang terputus kembali tersambung. Sebagai kepala rumah tangga ia tak mungkin bisa memenuhi kebutuhan istrinya untuk beberapa bulan kedepan. Semua telah ditanggung Justine dan Clara. Vero tak lagi mempunya wajah.“Tin!” pekik Vero. Tangannya secepat kilat menekan tombol pengaturan jok, mendorong ke belakang agar ia bisa bersembunyi di kolong.“Kenapa lo, Ver?!” “Depan lo mobil nyokap gue.” Cicit Vero memberitahu. Belum genap semi
“Mellia pulang ke rumah Ayah..”“Ngapain Abang?!” tanya Mellia polos. Wanita itu tak merasa memiliki agenda mengunjungi rumah orang tuanya.“Jelasin semuanya ke Ayah.” Ujar Ditto, “kamu belum kasih tau tentang cucunya yang kamu usir dan rencana perceraian kamu sama Ray. Ayo kita pulang Mellia. Ayah sudah siap. Biar Ray susul nanti.”Vero tahu benar arti kata, ‘ayah,’ yang omnya ucapkan. Papa Axel itu akan mengembalikan Mommynya pada orang tua mereka- Kakek Haryo yang mempunyai kepala botak sepanjang masa. No! Vero tak bisa membiarkan Mommynya dibawa. Ia pulang untuk menghalangi niat sang mommy, bukan melepas kepergian wanita itu yang berakhir menghancurkan keluarga mereka. Pernikahan mereka bukan lagi ajang stand up komedi yang alurnya disetting sebegitu rupa untuk menghibur lalu berakhir eliminasi jika tak memuaskan penonton. Belasan tahun keduanya bertahan penuh perjuangan. Vero tak rela.“Hehehe..” Mellia menampakkan gigi-gigi putihnya dan hal tersebut membuat Vero memicingkan mata
Berubah,Untuk memperbaiki kehidupan, satu langkah yang wajib Vero tempuh adalah mengubah seluruh cara hidupnya. Dibantu Stefany, semalam mereka mencari kiat-kiat terkemuka dalam mengusahakan perubahan menuju kualitas hidup yang optimal. Salah satunya dengan bangun pagi dan menanamkan mindset positif.Jam di dinding masih menunjukan pukul setengah lima pagi. Lampu di kamarnya tampak indah meski redup, tak seperti kos-kosan yang hampir seminggu ini ia huni. Mata laki-laki itu telah terbuka sejak adzan subuh di komplek perumahannya menggema.Panggilan jiwa, begitu Vero menamai hal yang dahulu kecil pernah ia pelajari setengah hati. Ia tak yakin bisa menuntaskan kewajibannya pada Sang Pencipta, tapi itu sebuah keharusan demi bisa meluruskan jalan hidupnya yang berkelok.Vero membersihkan diri di dalam kamar mandi. Tidak untuk mandi wajib karena semalam ia tidak meminta jatahnya pada Stefany. Ia membawa ponsel canggihnya, beguru dadakan tentang bagaimana caranya bersuci. Tidak sulit, nam
Vero meletakkan kunci tanpa gantungan ke atas meja. Pria itu mendorongnya pelan, tepat ke hadapan Mischa yang duduk diseberangnya. “Apaan ini?!”“Ntar malem lo kemas-kemas,” ujar Vero. “Lo tempatin kamar gue sama Stef. Perabotannya lebih lengkap karena baru diisiin kemarin,” sambungnya memberi alasan mengapa Mischa harus pindah ke lantai bawah- lebih tepatnya pada bekas kamarnya.“Nggak perlu, Ver. Punya gue baik-baik aja.”“Ck! Udah deh! Lo nurut aja!” Vero melambaikan tangannya pada Stefany yang mengantri. Meski jabatan sosialnya naik menjadi istri pemilik cafe, wanita itu bersikeras untuk memesan di jalur yang semestinya.“Udah capek Mama?!” tanya Vero setengah berteriak. Vero bodo amat pada orang-orang sekitar. Yang punya ini, bebas mau ngapain aja. Nggak suka bisa cepetan cabut!“Abis balik ntar lo ikut gue.”“Ngapain lagi?!”“Ke rumah,” mata Vero terus mengawasi Stefany. Istrinya tadi tak membalasnya. Perempuan itu melengos, membalikan tubuh menghadap kasir. "Ngambil mobil Ste
“Don’t you dare Mommy nggak tau dari mana kamu, Vallery!”Vero menjulurkan lidahnya, mengejek sang adik yang kini mulai bermain-main pada kenakalan remaja. Saling ledek memang kebiasaan mereka sejak kecil. Ada perasaan puas tersendiri kala melihat salah seorang dari mereka dimarahi.“Pelatih kamu bilang, kamu alpha..”“Mommy..” rengek Vallery. Ia malu. “Anak buah Mommy pasti udah lapor kan.. Just Soju Mommy.” Seharusnya orang tuanya tak membesar-besarkan masalah sepele. Terlebih dihadapan pria asing. “Ada temen Abang disini..”“Dia bukan orang lain!” Mellia berpendapat bahwa untuk kedepannya, Mischa akan lebih banyak menyaksikan betapa rusuhnya keluarga mereka. Sebagai orang yang kelak bersinggungan dengan Husodo, Mischa dituntut terbiasa tanpa komentar. Tugasnya adalah siap sedia disaat mereka membutuhkan backingan.“Aku udah gede Mommy.”“Udah bisa cari duit sendiri kamu?!” tak ada maksud buruk, ia sendiri hidup berdasarkan belas kasih Daddy-nya. Vero ingin mengajarkan Vallery apa i