“Kopinya Mas..” Siti memundurkan tubuhnya, memberi ruang untuk asisten rumah tangga lain yang membawa nampan agar mendekat pada meja makan. Kayu panjang yang biasanya digunakan untuk mengenyangkan cacing-cacing diperut anggota keluarga Vero tersebut kini beralih fungsi menjadi ruang rapat serbaguna. Di sudut kanan, Vero duduk bersama keluarga kecilnya. Di sisi lainnya diisi oleh keluarga Justine dan di kursi kebesaran Vero yang berada di tengah-tengah, di duduki Om Justine selaku pihak paling tua. Rumah Vero sedang dijajah sekarang– Vero sebagai pemilik tidak memiliki kekuatan untuk mengusir para brandal-brandal Darmawan yang menduduki daerah kebesarannya. Vero selalu pemilik rumah bahkan tidak lagi berani bersuara.“Mbak Sit,” Jessen menarik lengan baju Siti, “aku kopi susu dong pake es. Masa iteman begini kayak kakek-kakek. Ganti-ganti.” Protesnya karena Siti tidak membedakan kopi sesuai seleranya. Diantara semua orang yang menunduk, hanya Jessen yang berani bertindak biasa saja.
“Saya terima nikah dan kawinnya Princess Darmawan binti Justine Darmawan dengan mas kawin sepenuh cin..” Mian menelan ludahnya kasar. Seluruh keluarga sekarang mendelikan mata sehingga membuatnya kembali menghentikan ijab kabul keduanya. Sial! Karena permintaan pertama Princess tadi, Mian jadi tidak dapat berkonsentrasi. Mas kawin yang pertama disebutkan kekasihnya melekat begitu sempurna di dalam diri dan jiwa-nya. “Satu kali lagi salah, acaranya nggak bisa dilanjut ya Mas.. Gagal! Mas harus nunggu beberapa waktu lagi.” Ujar sang penghulu. Sepanjang ia menikahkan manusia, hanya ada satu keluarga yang selalu membuat kepalanya ingin pecah berhamburan ke tanah. “Tarik napas dulu.. Saya kasih kesempatan rileksin badan..” Sang penghulu mengeratkan jabatan tangannya, tubuhnya condong ke depan, “Mas.. Tolongin saya dong. Karir saya setiap kali berhubungan sama keluarga Darmawan mau tamat terus. Jangan bikin mata pencaharian saya ilang, Masnya!! Mata-matanya itu loh Mas, pengen saya colok
Jessen dan Mian tidak berani mengangkat kepala mereka. Keduanya berjalan menunduk menyusuri lorong kampus. Bisik-bisik mahasiswa yang membicarakan tingkah mereka malam tadi belum juga mereda meski perkuliahan keduanya telah selesai. Mereka masih menjadi pembahasan paling panas yang diperbincangkan oleh senior dan anak seangkatan. "Gokil banget anjir acara kawinannya.""Gue nontonnya nggak bisa buat berhenti ketawa." "Dagelan banget, Cuk!" "Nyokap gue yang ikutan nonton berasa nonton acara lawak katanya!" "Si Dodit kok tahan banget, Anjir! Gue jadi dia semalem pingsan pasti!""Puncak komedinya di Jessen pas ngompol""Menurut gue bukan disitu tapi di Jessen yang ijabnya kayak bocil!" Hancur sudah nama baik yang dirancang sedemikian rupa. Setiap orang yang berpapasan dengan si kembar selalu tak bisa menahan tawa. Mereka menjadi bahan bulan-bulanan anak satu kampus, menguliti hasil siaran ekslusif yang dilakukan oleh Dodit."Gara-gara lo!" Mian baru berani mengeluarkan suara setelah
Ponsel Jessen berdering nyaring mengganggu aktivitas makannya. Setelah melihat wajah Papinya terpampang, mau tidak mau Jessen melepaskan sendok dan garpu ditangannya. "Yes Papi! Jessen is here." Tiba-tiba saja dalam satu malam, Jessen mendadak menjadi anak kesayangan Vero menggantikan kakak kembarnya. Hanya karena ia menanyakan apa yang seharusnya dilakukan ketika malam pertama, kedudukannya yang nista di keluarga sirna. Kemurnian Jessen sebagai seorang laki-laki diakui sudah. 'Rame banget. Lagi dimana kamu Jess?! Mami tadi telepon Papi, katanya udah masakin kamu sama Mian makanan biar duitnya nggak abis cepet.' Sekeras-kerasnya hati orang tua, tetaplah Vero dan Stefany tidak tega anak-anaknya dihukum. Terlebih kisah muda mereka juga tidak berbeda dengan keduanya. Semua sudah terlanjur terjadi, ingin mengembalikan ke jalur yang semestinya juga percuma. Waktu tidak lagi bisa diputar untuk membenahi kerusakan yang sudah berjalan. Atas kejadian yang menimpa putra-putra mereka, Vero da
Orang lain mungkin akan mengatakan jika Mian, Jessen dan Princess terlalu berlebihan karena tidak hidup layaknya manusia biasa. Namun, hal tersebut memang merupakan suatu fakta yang kemurniannya tidak tercampuri oleh cairan pemanis buatan brand manapun.Sebagai anak-anak orang kaya yang dikendalikan oleh harta orang tua, ketiga anak tersebut tergolong penurut. Dunia ketiganya tidak sebebas para orang tua mereka zaman dulu– termasuk dalam menentukan jenis konsumsi makanan dan jajanan. Hanya produk-produk terbaik yang masuk ke dalam lambung mereka. Jadi ketika menemukan makanan yang menggoyang lidah, dua diantara mereka kalap sampai kekenyangan. “Perut gue mau meledak..” Jessen menepuk-nepuk perutnya yang kini membuncit akibat mie instan dan aneka sate-satean. “Besok kita kesana lagi. Gue udah ngincer ikan yang dikasih saos merah.. Kayaknya enak juga..” “Sarden maksud lo, Bos?!” Hanya terdapat satu menu dengan ciri-ciri yang Jessen sebutkan di Burjo Pelangi.“Nggak tau namanya.. Itu D
Princess kira akan ada keributan maha dahsyat akibat cemburunya seorang laki-laki pada istrinya– tapi ternyata ia salah besar. Alih-alih menemukan adegan baku hantam seperti di drama-drama, wanita Mian itu justru bergidik ngeri melihat adik iparnya mengesot lantai lapangan basket menggunakan pantatnya.Ya Tuhan! Apa yang Princess harapkan dari seorang Jessen?! Angan-angannya terlalu tinggi jika mengharapkan adanya adu jotos betulan antara calon perusak rumah tangga dan suami sah yang terbakar cemburu buta. Jessen tidak segahar itu rupanya. “Mbul nggak suka ya sama Ecen yang main pukul! Nggak sopan tau Mbul. Pak Wisnu kan dosennya, Mbul!” Mata Princess menyipit. Sepertinya ia dua kali salah dalam menyimpulkan situasi. Sudah ada adegan kekerasan tapi ia terlambat menyaksikan. ‘Nggak asik banget!! Gue udah lari-larian juga!’ Ia sudah bergegas bahkan sampai lupa membayar tagihan teh kotak di koperasi depan. Masih saja ketinggalan keseruan.“Pak Wisnu kan kasihan Mbul pukul. Salah Pak Wi
“Bu Marchellia, boleh saya tangani dulu Jessennya?!” tanya Dokter yang berjaga hari ini. Wanita berkulit putih itu hanya bisa menahan napas karena sedari tadi tak diberikan kesempatan untuk menangani pasiennya. “Nanti ditangisin lagi nggak apa-apa. Saya cuman mau periksa saja, Bu.” Sudah sepuluh menit pemuda yang terbaring di brankar tersebut dibawa ke ruang kesehatan, namun memegang ujung kuku pasiennya saja sang dokter tidak bisa.“No! Don't touch my husband!” Marchellia bersiaga. Kedua tangannya merentang menghalang-halangi dokter cantik jelita agar tak menyentuh Jessen– miliknya. “Saya suruh Tante Icha pecat nanti kalau kamu masih berani. Saya aduin ke Papi Mami juga!” Marchellia menggunakan kekuasaannya untuk membuat dokter cantik itu tidak berkutik. Dodit di depan pintu menahan tawanya agar tidak tersembur. Sebisa mungkin Dodit tidak ingin merusak kelucuan yang tengah terjadi. Kapan lagi disuguhi acara menarik seperti ini– hiburan dimana dosennya yang memang kadang tulalit, men
“Jangan ngebut-ngebut!! Pala gue mau copot!!” Jessen berteriak sembari memegangi helmnya agar tidak terbang terbawa angin. Parah sekali Mian. Setelah mendapatkan murka dari Princess– Jessen merasa dirinya dititipkan pada malaikat maut yang kapan saja bisa mencabut nyawanya. Dirinya disabotase untuk diajak pulang dengan dalil Oma mereka tak memperbolehkan adanya Kolusi Nepotisme yang membuat Marchellia melepaskannya. Gagal sudah pulang tanpa debu jalanan dan,Disinilah Jessen sekarang– duduk penuh kekhawatiran dibelakang Mian yang tengah mengejar mobil Princess. “Yan pelan, Yan!! Mobil bini lo arahnya bener. Ngarah ke rumah kita itu,” di akhir kalimat Jessen menambahkan jeritan karena Mian bermanuver untuk menyalip kendaraan di depan mereka. Satu kali pantatnya menggeol, melayang sudah mereka sampai ke neraka jahanam.Sumpah!! Rasanya Jessen mau titip absen saja selama satu bulan ke depan. Ia lebih baik di drop out daripada dibonceng Mian terus-terusan. Pagi tadi ia juga mengalami hal