“Bu Marchellia, boleh saya tangani dulu Jessennya?!” tanya Dokter yang berjaga hari ini. Wanita berkulit putih itu hanya bisa menahan napas karena sedari tadi tak diberikan kesempatan untuk menangani pasiennya. “Nanti ditangisin lagi nggak apa-apa. Saya cuman mau periksa saja, Bu.” Sudah sepuluh menit pemuda yang terbaring di brankar tersebut dibawa ke ruang kesehatan, namun memegang ujung kuku pasiennya saja sang dokter tidak bisa.“No! Don't touch my husband!” Marchellia bersiaga. Kedua tangannya merentang menghalang-halangi dokter cantik jelita agar tak menyentuh Jessen– miliknya. “Saya suruh Tante Icha pecat nanti kalau kamu masih berani. Saya aduin ke Papi Mami juga!” Marchellia menggunakan kekuasaannya untuk membuat dokter cantik itu tidak berkutik. Dodit di depan pintu menahan tawanya agar tidak tersembur. Sebisa mungkin Dodit tidak ingin merusak kelucuan yang tengah terjadi. Kapan lagi disuguhi acara menarik seperti ini– hiburan dimana dosennya yang memang kadang tulalit, men
“Jangan ngebut-ngebut!! Pala gue mau copot!!” Jessen berteriak sembari memegangi helmnya agar tidak terbang terbawa angin. Parah sekali Mian. Setelah mendapatkan murka dari Princess– Jessen merasa dirinya dititipkan pada malaikat maut yang kapan saja bisa mencabut nyawanya. Dirinya disabotase untuk diajak pulang dengan dalil Oma mereka tak memperbolehkan adanya Kolusi Nepotisme yang membuat Marchellia melepaskannya. Gagal sudah pulang tanpa debu jalanan dan,Disinilah Jessen sekarang– duduk penuh kekhawatiran dibelakang Mian yang tengah mengejar mobil Princess. “Yan pelan, Yan!! Mobil bini lo arahnya bener. Ngarah ke rumah kita itu,” di akhir kalimat Jessen menambahkan jeritan karena Mian bermanuver untuk menyalip kendaraan di depan mereka. Satu kali pantatnya menggeol, melayang sudah mereka sampai ke neraka jahanam.Sumpah!! Rasanya Jessen mau titip absen saja selama satu bulan ke depan. Ia lebih baik di drop out daripada dibonceng Mian terus-terusan. Pagi tadi ia juga mengalami hal
Kediaman Mian menjadi sangat sepi. Orang tua dan adiknya pergi ke rumah sakit sedangkan ia dilarang ikut agar kondisi mental Jessen terjaga. Salahnya juga– efek terlalu mengkhawatirkan Princess yang cemburu membuatnya abai pada keselamatan diri sendiri dan orang lain. Hasilnya?!!Jessen opname di rumah sakit. Beruntung saudara kembarnya tidak mati. Jika iya, dirinya pasti dicoret dari Kartu Keluarga mengingat segala urusan terkait pernikahannya masih belum berjalan sempurna. Ia dan Jessen belum sepenuhnya menjadi kepala rumah tangga. Nama mereka masih berada tepat di bawah nama sang mami di surat administrasi negara.“Sabar ya Mas Mian. Ini cobaan..” Mian berdecak. Cobaan yang menimpanya sungguh tidak masuk di akal. Dimarahi istri, Jessen terlempar dari motor dan sekarang hanya Mbak Siti yang menguatkan dirinya ditengah rasa bersalah terhadap saudaranya. Betapa lengkap penderitaannya ditinggal orang-orang terkasih. Malam-malam kini Mian kesepian bertemankan pengasuh kecilnya. ‘Nasib
Vero melepas kemeja tidurnya. Ditengah ia membaca berkas penting yang Fendi kirimkan, putra mahkotanya merengek di dalam tidur. Anak itu menangis dengan igauan memanggil nama saudara kembarnya. Sesaat Vero lupa jika Jessen merupakan bagian terpenting dari Mian. Mereka adalah satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jika hal buruk menimpa salah satunya, maka yang lain akan merasakannya. Benang merah diantara keduanya sekuat itu."Jess.. I'm sorry.." Lirihan itu menyayat hati Vero. Pasalnya Mian tidak hanya meminta maaf pada kembarannya, melainkan pada dirinya dan juga Stefany. Anaknya yang satu ini pasti merasa sangat bersalah. Terbukti dengan bulir air mata yang menetes membasahi sebelah kedua pipi putihnya. Vero menaiki sisi ranjang Mian yang kosong. Tadi ia meminta Princess untuk pulang ke rumah orang tuanya kala demam Mian mereda. Meski Princess sempat menolak, Vero memohon pengertian sang menantu. Disaat-saat seperti ini, Mian lebih membutuhkannya dibanding wanita itu. Bukan in
Seberkas sinar matahari berlagak malu-malu menelusup masuk ke dalam ruangan yang minim cahaya. Baru saja Siti menyibak sedikit kain gorden ditengah-tengah pintu penghubung balkon, sebelum wanita itu kembali duduk bergabung bersama empat orang lainnya di atas lantai. Disana.. Tepatnya di atas ranjang berukuran king size, dua laki-laki masih terlelap dengan tangan yang saling bergenggam erat. Keduanya seakan tidak terusik dengan pergerakan orang-orang yang menjadi penyusup di ruangan luas itu. “Incess mual liatnya..” Gumam Princess tak melepaskan netranya dari sang suami. “Mereka kayak homo..” Kontan ceplosan asal Princess itu mengundang decak Vero– “Jangan bungkam hak Incess buat bersuara Papi Vero! Incess cuman mengeluarkan aspirasi. Ini negara demokrasi ya.. Hak segala bangsa memiliki kebebasan berargumen!” Matanya kembali menangkap sang suami di ranjang, dan ketika tubuh itu berganti posisi lalu memeluk manusia disampingnya, Princess tak lagi bisa menahan mual yang dirinya rasakan
“Cess.. Lo bisa turun nggak?! Gue susah geraknya kalau lo nemplok begini!!” Jessen menggeliat, risih. Seumur-umur ia saja belum pernah menggendong Marchellia. “Jalan sendiri aja, Cess!” Pinta Jessen masih menggunakan nada baik-baik. Princess menggelengkan kepalanya. Wanita itu semakin mengeratkan tubuhnya pada sang adik ipar. Ia tidak berniat melepaskan Jessen walau satu detik pun. Keinginannya untuk digendong kemana saja oleh Jessen sangat kuat. Princess sendiri juga tidak tahu mengapa itu terjadi– mungkin karena Jessen tadi berbaik hati mengurusnya ketika muntah-muntah di kamar mandi. “Please Cess..” Mohon Jessen. Selain ia tidak suka, Jessen juga tidak enak pada Mian. Bagaimana tanggapan saudaranya nanti ketika melihat istrinya bergelendotan pada adiknya sendiri. Mian pasti marah besar. “No ya No! Budeg banget lo! Ayo katanya mau ke bawah! Aunty Achell udah kesini tadi pagi-pagi banget!”Siti bilang apa coba?! Gelap! Tidak ada cahaya, padahal matahari sudah naik tinggi di langit
Vero mengurut keningnya. Sedari tadi Jessen memintanya untuk melakukan sesuatu karena Princess tak kunjung ingin melepaskan diri dari anak itu. Kalau seperti ini, terlihat seperti Jessen yang menghamili anak sahabatnya.Anehnya, istri Jessen seperti senang-senang saja suaminya disabotase. Darmawan yang satu itu memang terlewat unik. Hampir tidak ada gen Om Justine di dalam diri menantu Vero yang itu. Polos dan lugunya mendekati less. “Mas bisa-bisanya Mbak Achell nyuapin Mas Jessen.” Siti berbicara teramat pelan. Kepalanya menggeleng dengan ringisan yang berulang-ulang terlihat di sudut bibirnya. Saat ini Siti, Vero dan Stefany tengah memperhatikan keluarga cemara yang hidupnya tampak sangat bahagia dengan dua orang istri mudanya. Jessen seperti juragan minyak sekarang. Istri-istrinya akur tapi tak lantas membuat wajah anak kedua Vero itu sumringah. Coba saja kejadian ini dialami oleh para lelaki lain di luar sana, mereka pasti akan sangat bahagia. Kapan lagi punya dua istri– mana m
“Bantuin, bantuin!” Vero dan Stefany bergegas membantu menurunkan tubuh Princess dari atas pangkuan Jessen. Setelah menunggu dua jam lamanya– Nona setengah Dirgantara itu akhirnya memejamkan mata juga. Ini merupakan kesempatan yang tidak boleh dilewatkan untuk menyelamatkan diri. Dibantu Siti sang asisten serbaguna, akhirnya Princess bisa dipindahkan dan dibaringkan ke atas sofa. “Gila! Mana si Mokondo?!” tanya Jessen sambil meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. Satu jam lagi istri saudara kembarnya menempel– tulang-tulangnya pasti remuk. Mokondo?!Stefany dan Vero lalu bersitatap. Mereka tidak tahu kepanjangan dari sebutan yang putranya ucapkan. “Achell.. Kamu kenal Mokondo yang suami kamu sebutin?” Marchellia yang ditanya menggelengkan kepalanya pelan. Gadis itu sedang membenarkan rambut-rambut keponakannya yang berantakan. “Sit?!” “Nggak tau.. Siti belum sensus penduduk komplek, Mas Ver. Tanya Mas Jessen aja!” Otaknya sudah gosong disuruh berpikir sejak tadi, masih saja di