“Kok gue ada di kamar?!” Stefany yang tengah menyiapkan pakaian untuk Vero mendengus. Suaminya memang payah jika berurusan dengan alkohol. Wajar saja– Vero sejak kecil memiliki penyakit bawaan. Stefany tak akan meledek atau pun menyalahkan suaminya. Ia justru bersyukur karena Vero terlahir spesial sehingga ia tak mendapatkan bekasan-bekasan wanita kurang belaian yang dulu sering ia jumpai di kelab malam. Apa jadinya jika Vero seperti anak-anak orang kaya lainnya. Pergaulan suaminya pasti akan rusak. Yah meski Stefany tak dapat menyebut pergaulannya baik. Sebelum dinikahi putra salah konglomerat Indonesia, ia juga merupakan anak muda Jakarta kebanyakan. Ia terhitung rusak karena kerap melampiaskan kesepian dan tumpukan masalahnya pada minuman penghilang kewarasan tersebut. Tapi hanya sebatas disana. Ia tak pernah berminat membungkus atau dibungkus. Pertahanan dirinya dalam menjaga kesucian sangat tinggi sampai seorang pria muda gila berhasil mengacau dalam kehidupannya."Stef!" Vero
Cinta.. Kenapa satu kata itu dapat mengguncang dunia bahkan akal sehat manusia. Seperti sekarang contohnya. Empat orang dewasa tengah mengikuti lima anak di bawah umur berjalan-jalan mengelilingi pusat perbelanjaan. Ceritanya mereka sedang berpacaran di hari libur sekolah. Mengenaskan sekali nasib para ajudan yang ternyata adalah pencipta para pecinta di usia muda. Vero, Stefany, Justine dan Axel hanya bisa pasrah mengikuti kelimanya. “Ponakan gue kasihan banget. Dia gandengannya sama Vano.” Vero mendadak terserang kesensitifan yang seharusnya dirasakan oleh Stefany. Mata pria yang sebentar lagi akan mendapatkan anggota squad baru itu berkaca-kata, memikirkan nasib tak pernah mulus keponakannya. Bagaimana tidak malang. Ansel kecil sudah ditinggalkan ibu kandungnya, tidak diterima kehadirannya oleh sang papa lalu sekarang gebetannya dicuri oleh saudara sepupunya. Sungguh lengkap penderitaan anak muda itu. Dunia sungguh kejam, tapi Vero juga tak ingin anaknya bersedih kalau ia menduku
Ketahuilah, di dunia ini tidak ada yang Vero takuti kecuali Mommy-nya dan Stefany tentu saja. Sejauh dua wanita itu tidak mengamuk, maka satu lubang di Sandiego Hills tidak akan berpenghuni untuk jarak waktu yang dekat. Husodo bisa menghemat uang keluarga untuk pemakaman dirinya karena bisa dipastikan ia tidak akan mati hanya karena pertemuan dua keluarga besar yang diadakan secara mendadak sekarang ini. Julukan tukang mengadu yang tersemat sepanjang hayat pada Vero sepertinya harus lengser dan digantikan oleh sepupunya. Vero tak habis thinking. Bagaimana bisa pria satu anak itu mengadukan kebaikannya yang akhirnya ditanggapi negatif pada kakek botak mereka. Sejak dulu, Axel memang manusia kurang tahu diuntung. Alih-alih membuat keributan tak berfaedah, seharusnya Axel mengucapkan terima kasih atas niat baiknya membantu untuk mencarikan pasangan anak semata wayangnya. Ini juga demi kebaikan Ansel dan masa depan pelanginya yang sudah tercium. “Alvero..” “Opa..” Balas Vero tak ada ta
Fendi membelai dadanya naik turun. Kelakuan Pangeran Husodo yang menggantikan junjungan terdahulunya benar-benar menguras hati nurani. Terkadang Fendi ingin resign jika tak mengingat kontribusi seorang Raynald Husodo dalam hidupnya. Pria yang telah melengserkan dirinya karena faktor usia tersebut sudah banyak membantunya. Ia bisa merasakan segala keindahan dunia menggunakan uang juga karena pria itu, tapi sekarang..“Mas Vero! Kepala saya mau pecah rasanya!” Teriak Fendi murka. Sejak tadi yang Vero lakukan hanya membuang-buang kertas report bulanan dari bagian keuangan. Bukannya membaca, pengganti Bos Besar Ray malah bertindak memendekan sumbu amarah. “Gue nggak mood kerja, Fen, tapi lo ngasih beginian! Siapa yang salah sekarang?!” Hardik Vero, tangannya kembali menerjunkan kertas di mejanya. Kapan bosnya mengatakannya?! Fendi tidak mendengar satu pun keluhan yang menandakan buruknya suasana hati sang atasan. Tolong! Ia bukanlah dukun yang bisa menebak penderitaan pasiennya tanpa di
Fendi merapalkan mantra-mantra penenang jiwa. Jika di dalam ia disuguhi tingkah kurang manusiawi Vero sebagai atasannya, di luar ruangan pria itu keadaan tak kalah menguras seluruh kewarasan juga tersaji. Bedanya hal ini dilakukan oleh wanita yang posisinya berada di bawah Fendi ketika di kantor, namun sebenarnya merupakan atasannya kala jam kerja usai. Siapa lagi jika bukan Nyonya Muda Husodo. ‘Pengen nempeleng dua-duanya!’ Desah Fendi tak berani menyuarakan secara lisan. Suami dan istri tidak ada beda. Keduanya mungkin diciptakan untuk saling melengkapi. Mereka bak kura-kura dengan cangkangnya. Sifatnya berjalan lurus tanpa ada minus kecacatan yang membuat salah satunya unggul. “Fendi kenapa?” ‘Suami Mbak bikin darah tinggi saya naik!’ Alih-alih berani mengeluarkan suara, aksi protes itu Fendi tetap simpan rapi di dalam hatinya. Ia menggelengkan kepalanya lalu berjalan mendekati meja kerja Stefany yang entah sejak kapan disulap menjadi area penjual buah dadakan lengkap beserta se
Bak dihantam seluruh isi dunia, Fendi kembali murka pada Vero. Setelah berpesta melihat kengenesan Vero, ia diperintahkan untuk mengurusi dua iblis jelmaan laki-laki itu. Dua bocah versi Vero lebih kecil itu tingkahnya sama saja– sama-sama membuat Fendi ingin mengibarkan bendera kuning di lobby apartemen mewahnya sebagai penanda jika salah satu pemilik unit disana telah tiada. Fendi menyandarkan punggungnya pada mobil pribadinya. Ia memang kerap meninggalkan tunggangannya di kantor ketika secara tiba-tiba Vero meminta dirinya untuk menjadi supir dadakan. Bukan apa-apa, ia memiliki dua mobil yang salah satunya merupakan pemberian cuma-cuma karena hasil kerja cemerlangnya. Setidaknya dari kekejian seluruh pemuda Husodo, Fendi selalu mendapatkan harga yang pantas. Melalui kaca yang dibuka setengah, pria seusia Daddy Vero tersebut memasukan lengannya untuk merogoh isi dashboard. Ia mengambil kotak rokok lengkap bersama pemantik yang selalu ia sediakan di setiap mobilnya. Masih ada waktu
“Sayang!” Vero mengeluarkan kepalanya tepat setelah Fendi keluar dari rumah mereka. Diantara pintu kamar yang menelan Vero, pria itu melambaikan tangan kanannya, memanggil-manggil sang istri yang tengah menemani dua putra mereka menonton Televisi di ruang keluarga.“Mami! Papi mau ngomong penting!” Ulang Vero agar istrinya mau beranjak dan menghampirinya. “Mami,” Jessen yang terusik oleh suara Papinya menepuk pelan paha Maminya, “itu Papi panggil-panggil.” Ia tidak ingin acara menontonnya terganggu. “Papi berisik, Mami!” Mau tidak mau Stefany meletakan toples cemilan ditangannya ke atas meja. Wanita hamil itu bangkit, “jangan fight ya?! Mami tinggal sebentar.” Peringat Stefany. Ia menitipkan si kembar pada Siti. “Kita memang pernah kelahi ya, Mian? Mami kenapa ngomong gitu?!” Mian menatap Jessen tajam. Satu jarinya berada tepat di depan bibir, berdesis memberi kode supaya saudara kembarnya tidak lagi bersuara. Jessen ber-oh, “Ultramennya lagi lawan musuh ya?! Oke aku diem.” Pasrah
Vero mendaratkan telapak tangannya pada pantat sekal Stefany hingga sang istri mengaduh. Pria itu terlampau gemas pada dua bulatan bakpao istrinya. Ia tengah membayangkan apa yang ada di dalam genggamannya sebagai squishy. “Kenyal banget, Mami.. Papi rasanya nggak pengen jauh-jauh!” Kekeh Vero. Stefany yang diperlakukan layaknya mainan lantas memberikan bogem mentah. “Makan nih pantat!” Ucapnya kesal. Ia bangkit dari atas tubuh Vero, melepaskan penyatuan dadakan mereka. Jika tadi wanita itu mendamba, berbeda halnya dengan sekarang. Seluruh kesadarannya telah terkumpul penuh. “Nyesel aku terbuai rayuan! Dasar sikopet selangkangan!” Gara-gara Fendi ia jadi berakhir dipelukan tak hangat suaminya. Awas saja kalau Fendi benar mengincar Siti. Stefany akan memotong alat tempur pria dewasa itu. Jadi manusia nggak sadar diri sekali. Usianya dengan Siti jelas-jelas terbentang layaknya laut Indonesia dan Amerika. Jauh! “Urusin kembar! Capek aku, mau istirahat!” “Nggih Paduka Ratu!!” Jawab Ver