“End..” Vero membekap bibir Jessen. Pria yang sigap membungkuk demi menyabotase mulut laknatnya itu menggigit bibirnya sendiri sebelum mengangkat tubuh sang putra. “Papi.. Papi why.. Ada en..” “Diem Jessen. Kamu nggak liat ada Abangnya Achel disana. Nanti kamu ditembak!” Vero membawa Jessen kembali ke dalam mobil meninggalkan istri, Siti dan anaknya yang lain. Ditempatnya berdiri, Stefany juga tak dapat menahan ketakutannya. Ia berdoa dalam hati semoga saja pria yang mengantarkan Machellia ke sekolah hari ini itu tidak mendengar teriakan Jessen. Hilang ditelan bumi bisa-bisa mereka. Hanya mengetahui ceritanya dari mulut Vero dan Justine saja, ia bisa mengerti se-berdarah dingin apa manusia bernama Marchellino Darmawan tersebut. ‘Dari ceritanya aja nyeremin. Padahal wajahnya glowing ganteng banget,’ batin Stefany menyayangkan sikap arogan pria yang hanya ia nilai dari sebuah cerita belaka. “Achell.. Abang harus ke rumah sakit cepet. Nanti nggak bisa jemput. Papi yang akan gantiin Ab
Refreshing..Vero membutuhkannya. Beberapa waktu ini mentalnya seakan terus diuji layaknya granat milik Kesatuan Militer. Bom-bom berisikan petaka terus saja dilemparkan tanpa jeda membuat jiwa dan raganya lelah. “Hamba capek Loorrddd! Mau jadi tumbuh-tumbuhan aja!” teriak Vero di depan pintu rumah Justine. Tujuannya membolos kerja dan meninggalkan kursi pimpinan ke tangan sekretaris semlohay-nya adalah untuk berguru pada satu-satunya manusia yang tidak takut dengan Marchellino Darmawan.The one and only– Clara Dirgantara yang terhormat. Ia telah berunding dengan Stefany tentang bagaimana caranya menyelamatkan masa depan suram putra kedua mereka. Jerat jaring yang ditebarkan oleh penyihir ala-ala itu terlalu kuat. Jaring-jaringnya dilindungi mantra terkuat bernama Marchellino. Jadi diperlukan orang yang sama kuatnya dengan pria muda nan cemerlang itu. Menarik napasnya dalam, Vero menyiapkan amunisi pada pita suaranya. “Claraaa!!!” jeritnya memanggil istri Justine yang sekarang sudah
"Kenapa?!" tanya Clara kembali menyulut emosi Vero yang tertunda. "Nggak usah sok perhatian deh lo, Cla!" jawab Vero sengit. "Tadi aja lo santai kayak dipantai waktu gue curhat!" Clara memutar bola matanya. Ciri khas Vero sejak lama memang– dikasih jantung, malah ujungnya minta diberikan ginjal sebagai pengganti. Clara yang tak lagi heran hanya bisa berdiam diri. Semakin ditanggapi, sahabat rasa ani-ani suaminya akan semakin menjadi. Kalau kata ibu mertuanya yang waras mengalah saja agar terlihat perbedaannya. "Bini gue masa katanya pingsan, Cla." Tanpa Clara ulik lebih dalam, Vero menceritakan apa isi pembicaraan yang baru saja dirinya lakukan bersama Fendi."Tumben lo nggak panik?!" "God! Lo bener juga!" pekiknya heboh. Vero segera berlari. Pria itu berteriak sembari melangkahkan kaki keluar dari rumah milik Clara. "Mamiii! Papi on the way!" Entah kepada siapa pria itu berbicara. Orang-orang Clara hanya memandangnya tanpa minat. Sudah biasa hal tersebut terjadi jika sahabat Tuann
"Vero memainkan kerikil yang ada di bawah kakinya. Ia tak menyangka jika sang istri benar-benar tengah berbadan dua. Nakal sekali angry birdnya sampai membuat istrinya kembali mengandung buah cinta mereka. Bukan apa-apa.. Masalahnya si kembar masih aktif-aktifnya dalam memecahkan kepala. Persoalan dengan Marchellino saja belum mereka bereskan, ini malah ditambah calon buah hati baru yang pastinya juga akan meresahkan. Nikmat mana lagi yang ingin Vero dustakan. Mau undo takdir, sudah jadi hasil begadang satu malamnya. Masa iya mau berdoa buruk untuk calon buah hatinya. Ia bukanlah ayah yang durhaka walau terkadang Mian dan Jessen berniat tukar tambah orang tua. “Papiii!!” Lambaian tangan Jessen membuat Vero yang menunduk menengadahkan wajahnya. Vero menegakkan tubuhnya, mengeluarkan telapak tangannya dari saku celana jeans yang dirinya kenakan. “Nggak usah lari!” teriak Vero. Jessen dan Mian langsung menghentikan langkah mereka. Beruntung keduanya bisa menjaga keseimbangan sehingg
"Abang, Abang!" Vallery melambaikan tangannya, mengganggil sang kakak yang sedang menuruni tangga rumah mereka. Perdebatan mengenai kakak iparnya yang hamil kembali sudah usai. Hasilnya tentu saja dimenangkan oleh mantan kekasih suaminya. Mana mungkin saudaranya tidak kalah– orang dia yang menghamili istrinya. Belum lagi bukti beberapa testpack yang diperlihatkan oleh kakak iparnya. "Abang mau kemana?!" tanya Vallery kepo. Melihat kunci mobil dan dompet ditangan Vero, wanita itu yakin jika kakaknya akan pergi keluar rumah. "Cari martabak!" Jawab Vero ketus. Istrinya yang hamil itu menginginkan makanan manis yang setengahnya memiliki rasa asin. Vero sedang berinisiatif untuk membuat tukang jajan langganan mereka ketika musim ngidam tersebut, ikut pusing bersamanya. Beruntung ia bukan calon ayah anyaran. Setidaknya, mentalnya sudah sedikit ditempa pada kehamilan si kembar dulu. “Emang udah buka jam segini?” Tunggu sebentar,Pertanyaan Vallery membuat Vero melihat jam yang melingkar
“Aku yang di depan Mian!” “Aku Abangnya Jessen. Jadi me yang temenin Papi nyetir.”Vero memijat kepalanya. Mereka baru saja akan berangkat mencari ngidam Stefany yang super telat, tapi kedua anaknya sudah membuat kehebohan sendiri. “Gimana kalau duduk berdua di depan?” tawar Vero mencarikan solusi. Percayalah, pertengkaran ini tak mungkin menemui ujungnya. Keduanya sama-sama berkepala batu. “Kalian temenin Papi semua?! Ya?!” “No!” Kedua anak Vero yang tak memiliki perbedaan paras tersebut sama-sama mengatakan tidak. Mereka mengacakkan lengan dipinggang sembari menatap sengit Vero. “Sempit ya!” tolak Jessen. “Harus ada yang duduk dibelakang.” ‘Itu lo tau, Ntong! Kenapa ngecepres doang!’ Gemas Vero tak menyampaikannya secara langsung. Bisa-bisa kosa kata anaknya bertambah dan dirinyalah yang mendapat pukulan maut Mami dan Opa, Omanya. “That you Jess! Kamu kan adek, harus nurut sama I!”“You!” balas Jessen sambil menunjuk Mian. “Bentar lagi aku juga jadi Abang!” Jessen tak mau kalah
“Mas turun, Mas! Anaknya hampir bikin mati orang!” Beberapa massa sudah mengerubungi mobil Vero. Ia jelas-jelas sudah tak lagi dapat melarikan diri kalau begini caranya. Jangan sampai namanya viral di salah satu akun lambe-lambean dan portal berita online lainnya. Bisa-bisa karir yang ia bangun setengah hidup hancur dalam beberapa detik saja. “Iya, Om.. Ini sebentar lagi saya turun. Kalian pada awas dulu. Ngalangin pintu saya ini!” Justine menatap Vero dengan pandangan tak percaya-nya. Setelah anak-anaknya membuat keributan besar, bisa-bisanya laki-laki itu berlagak santai seperti di pantai. Justine terkekeh sembari menengadahkan wajah. Tangannya berkacak dipinggang, “gue lupa kalau dia manusia hina-dina!” ucapnya bermonolog. Apa yang harus dirinya harapkan dari seorang Alvero Husodo?! Mereka berteman sudah cukup lama. Salahnya memang kalau menaruh ekspektasi setinggi langit. “Gimana sih Mas! Anak kok kecil kok dibiarin nyebrang jalan sendirian?!” tanya seorang bapak-bapak ketika
“Papi why kita around-around?! Jess udah ngantuk!” Vero melihat Jessen melalui kaca spion tengah mobilnya. Ia menggigit bibir bawahnya, tak tahu bagaimana cara untuk menjawab pertanyaan simpel sang putra. Di kursi belakang, kedua putranya tampak bosan. Wajar saja.. Sekarang sudah hampir tengah malam. Waktunya mereka berdua terlelap di atas ranjang ditemani oleh Siti. Bukannya tidur, anak-anaknya justru menemani dirinya berputar mengelilingi Kota Jakarta yang luas. “Kita pulang ke rumah Opa Unyut mau?!” tawar Vero. Setidaknya mungkin dirinya akan aman beberapa saat jika tinggal di rumah ayah dari ibunya. Disana ada Axel yang dapat menenangkan dirinya. Sepupunya pasti bisa mencarikan jalan keluar. Jujur Vero takut pulang ke rumah. Selain insiden hampir tertabraknya si kembar, ia juga takut akan murka sang istri karena tak berhasil membelikan apa yang wanita itu idamkan. Pengalamannya sebagai calon ayah pertama sangatlah buruk. Ia merasa sedikit gagal menjadi seorang suami sekarang.