“Si Sitay bisa-bisanya!”Di sepanjang perjalanan ke kantor, Vero tak henti-hentinya membahas tingkah laku unpredictable asisten rumah tangga mereka. Bersama Mischa, kedua laki-laki tersebut bertukar pikiran– Sharing kalau istilah gaul dunia yang sedang Siti geluti sekarang.Vero dan Mischa mencari dari mana asal muasal Siti– Manusia yang keluarnya saja jarang, bisa salah pergaulan macam tadi. Vero tak habis thinking! Rumahnya sudah macam gua bertapa bagi Siti, mau hangout kemana pembantunya?! Belum lagi dengan siapa?! Tukang kebun mereka?!Kurang logis kan?! "Media sosial bisa sih, Ver." “Damn Mis,” Vero mengerang, “biasanya dia nonton serial dangdut sama India ya, kalau keluar di linimasa sama searchnya dia pasti seputaran itu.” Ia terbiasa berselancar menggunakan aneka sosial media yang ada, dan kebiasaan pencarian kita akan muncul secara terus-menerus dengan tema serupa. Jadi tidak mungkin kan Siti bergelut pada perkembangan zaman, sedangkan kemarin-kemarin tidak. Seharusnya sud
Mellia mendengarkan dengan seksama tema obrolan yang putranya bawa. Dari yang dapat ia tarik, wanita itu menyimpulkan jika putranya berpikir diri pria itulah yang membawa pengaruh buruk pada asisten rumah tangga mereka. Tentu saja kulit-kulit di kening Mellia mengerut. Ia tidak tahu mengapa putranya dapat berpikir demikian. Manum sebagai seorang ibu yang melahirkan Vero, “Kayaknya iya deh.” Mellia satu pemikiran dengan anaknya. Vero langsung menjerit histeris. Dalam waktu yang tak panjang, ia merutuki dirinya yang begitu mudah dalam membuat tren sehingga memiliki pengikut. Rasa-rasanya Vero ingin jadi Presiden saja. Pasti kelak ketika waktunya pemilihan, banyak yang mencoblos gambar wajahnya yang tampan. Ia juga turut menyampaikan impulsivitas otaknya ini kepada sang mommy. Mendengar kepercayaan diri itu, Mellia bahkan sempat mual. Tidak ada yang bisa mengalahkan kenarsisan anaknya. Hal tersebut valid! Tak bisa di debat dan diganggu gugat. “Terus Vero harus gimana, Mommy?! Sitay h
Vero menyipitkan matanya melihat sepasang suami istri yang berjalan memasuki ruang keluarga. Matanya ternodai dengan aktivitas sok romantis mereka. Sepertinya disini ia yang salah. Ia merasa mereka sedang menampakkan kemesraan itu secara sengaja dengan cara menghampirinya. Padahal bisa saja bukan ruangan yang sofanya ia duduki tempat yang mereka tuju, melainkan kamar keduanya yang memang harus melewati titik dimana ia berada. Sial sekali! Mengapa arsitek yang menciptakan rumahnya harus meletakkan ujung tangga tepat di ruang keluarga?! Bukan hanya rumahnya, tapi seluruh bangunan yang ditinggali setiap keluarga yang ia kenal berdesain serupa. Belum lagi tidak adanya sekat antara ruang berkumpulnya keluarga dengan meja makan. Vero heran, siapa yang mengawali style itu mulanya. Kenapa dipraktekkan ke semua klien?! Jadilah sekarang ia memiliki persepsi-persepsi negatif pada Mischa dan adiknya. Nggak habis thinking deh Vero jadinya. "Kalian bisa nggak jangan dempet-dempetan gitu?!" teg
Sejauh ini belum ada tindakan mencurigakan yang Stefany lakukan. Wanita itu masih dalam pantauan yang normal– Mengurus anak-anaknya seperti biasa, sehingga tak menimbulkan kecurigaan mendalam dalam diri sang suami. Semua masih aman terkendali sampai Vero menangkap hilangnya sang istri dari ruang keluarga ketika makan malam akan berlangsung. Hal yang menjadi sangat janggal adalah, wanita itu meminta bantuan Mommy mereka untuk memanggil Vallery dan Mischa di atas. Mengapa bukan Siti?! Jelas-jelas asisten mereka menganggur. Dan, kenapa bukan dirinya?! Ada Daddy yang siap menjaga cucu-cucunya karena memang laki-laki itu berada di ruang keluarga. Menonton variety show kesukaannya. Janggal sekali bukan?! Vero tak dapat lagi menahan kecurigaannya. Ia mengikuti langkah sang istri menuju dapur. Mengendap layaknya penguntit sejati wanita itu. Bukan hal yang sulit, selama beberapa tahun, Vero telah melakukannya dengan sangat apik meski secara terang-terangan. Ia hanya perlu memelankan ketuka
Teriakan Vero dan aduhan pria itu memenuhi seluruh ruangan kamarnya. Akibat dari suaranya yang menggelegar Stefany terjaga. “Ver, kamu dimana?!” tanya Stefany karena tak menemukan Vero di atas ranjang mereka.“Papi..” Kepala Vero menyembul dan tangannya meraih ujung ranjang yang tinggi, “Mamiii! Kamu lupa kunci kamar kita kan semalem?!” serang Vero membuat Stefany melebarkan matanya. Jangan katakan jika,Stefany ikut berteriak setelah melihat keadaan Vero di lantai. Kaki-Kaki pria itu diikat menggunakan tali dan pelakunya pasti, “Jessen, Miaaaan!” teriak mereka berdua menyebut pelaku-pelaku yang setiap harinya selalu meresahkan pagi mereka.Lebih dari lima tahun waktu telah berlalu, dan malaikat-malaikat keduanya benar-benar tumbuh menjelma menjadi setan cilik. Keduanya selalu berhasil memasang jebakan batman yang membuat Vero teraniaya setiap kali mereka lupa mengunci pintu pada malam harinya. Entah bagaimana cara keduanya menyusup ke kamar mereka. Sama sekali tak ada perg
"Mbak Siti, box lunch kita yang warna biru kan?!" "Bukannya blue Mas Jessen?!" tanya Siti sembari mengeluarkan kotak makan yang ada di dalam tas perbekalannya. "yang ini bener kan Mas Jessen Mas Mian?!" Pengasuh kedua anak itu tersenyum, menanti jawaban para pemuda yang duduk disamping kanannya.Siti naik kasta?! Benar sekali pemirsah. Wanita yang mengawali karirnya sebagai asisten rumah tangga itu kini melepaskan pakaiannya dan berubah menjadi suster dua bocil-bocil saiton. Bukan tanpa alasan Siti dinaikkan pangkatnya.Sudah sebanyak enam kali pergantian suster dan para wanita-wanita itu tak sanggup menghadapi tingkah luar biasa Jessen dan Mian. Sejauh ini hanyalah Siti yang tahan banting. Belum ada manusia yang bisa menandingi kekuatan Siti dalam menghadapi kedua bocah itu. Tidak sekalipun itu Omanya– Merlliana Husodo. "Blue is biru Mbak Siti." Siti ber-loh, "not kuning Mas Jess?!" ia bertanya kembali, mengoreksi perkataan Jessen. Kontan saja hal ini membuat Jessen, Mian dan Ver
Vero menyelonong masuk tanpa sebuah ketukan. Sudah biasa. Jadi orang-orang Dirgantara juga tak akan heran dengan muncul dan hilangnya pemimpin perusahaan saingan milik bosnya tersebut. "Selamat pagi Pak, Bu." sapa sekretaris Justine yang diabaikan oleh Vero."Pagi.. Terima kasih sudah menyapa, suami saya lagi tegangan tinggi. Bos kamu sudah sampai kan?!" Seharusnya Stefany tidak perlu bertanya. Vero yakin Justine pasti sudah sampai terlebih dulu ketimbang dirinya yang harus memutar arah tadi. "Bapak menunggu kopi, Bu. Silahkan masuk." Ujarnya mempersilahkan."TIN-TIINTIIN!!!" Seruan penuh energi yang dikeluarkan membuat tubuh Justine tersentak. Pria itu sampai memegangi dadanya sebab jantung yang terus berdetak akibat ulah sang sahabat. "Ngetok pintu dulu nggak bisa?! Jangan bilang sekertaris gue di depan juga sampe loncat gara-gara kemunculan, lo, Ver?!" Persetan! Vero tidak mau menjawab pertanyaan remeh itu. Iya datang bertujuan untuk memberitahukan Justine mengenai pesona Pr
Siapa yang bilang melihat wajah anak-anak sepulang kerja adalah obat mujarab untuk menghilangkan penat setelah seharian bergelut dengan tumpukan berkas?! Si Sinting itu, kasih dia pada Vero– dan Vero akan mengulitinya secara hidup-hidup karena telah menyebarkan rumor palsu. Hal itu jelas-jelas hoaks belaka. Nyatanya ia justru merasakan kelelahan yang semakin tinggi levelnya. Andai diberikan kuesioner angket penghitung stres, mungkin persentase yang Vero dapatkan mencapai angka sempurna. Seratus persen! “Papi boleh mandi dulu nggak sih, Boys?” Piyik-piyik milik Vero menengadahkan wajah, mereka menatap sang papi sebelum menggelengkan kepala, “no Papi! PR Jess sama Mian masih banyak!” ucap si vocal menjawab kemelasan papi mereka. Vero menggeleparkan tubuhnya ke karpet. Kaki dan tangannya menghentak-hentak. Ingin mengumpat tapi yang diumpat anak sendiri. Rasanya begitu melelahkan memiliki anak, apalagi langsung dua. Mendadak Vero iri pada Mischa yang langsung dapat indehoyan bersama