~LAMARAN MAS GAGAH YANG TIBA-TIBA,MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRIKU (2)~
#KETIKA_MAS_GAGAH_TIBA 2
"Aku ke sini bukan mau melamarmu, Wulan. Aku mau melamar Mbakmu. Andini Larasati."
Kalimat itu berhasil menghentikan gerak tanganku di piring. Aku mengernyit dan memasang pendengaran lebih jelas. Apa aku tidak salah dengar?
“Andin, dengar yang tadi dikatakan Nata. Dia bukan mau melamar adikmu, dia mau melamarmu.” Mbak Yuli yang ikut bantu memasak berbisik.
“Iya, Mbak. Aku dengar.”
“Kamu tahu kalau dia datang ke sini untuk melamarmu?”
“Tidak. Kemarin ibu bilangnya mau melamar Wulandari.”
“Sepertinya ada yang salah paham. Ayo menguping lebih dekat!”
Aku dan Mbak Yuli mendekati pintu. Mengintip dan menguping.
Di ruang tamu, banyak orang berkumpul, mereka terlihat saling lirik keheranan.
"Maksudmu apa, Nata?" tanya ibunya Nata.
"Aku ke sini mau melamar Andini, Bu. Bukan Wulandari."
"Apa?"
"Maaf sepertinya ada kesalahpahaman." Bapaknya Nata mengendalikan kondisi yang jadi serba salah.
Jantungku berdebar lebih cepat. Aku pasang telinga lekat-lekat. Melihat gerak bibir pria gagah yang berpakaian batik itu.
"Ibu bilang Nak Nata ke sini mau melamar Wulandari, kok sekarang jadi Andini. Memang bagaimana ceritanya?" tanya bapakku.
"Kemarin dia tanya-tanya tentang anakmu, Pak Galuh. Aku pikir Wulandari, katanya sudah janji mau menikahi."
"Anaknya Pak Galuh itu Andini, kan. Bukan Wulandari?" Nata yang duduk tegak itu mengernyit.
"Dua-duanya juga anak saya, Nak Nata."
“Iya, tapi maksud saya darah dagingnya Pak Galuh. Kalau saya berniat menikahi Wulandari kan bukan Pak Galuh yang jadi walinya. Lagi pula yang jadi Kakak itu Andini. Ibu nih mikirnya kejauhan.”
Kondisi malah semakin tidak jelas. "Maksudnya bagaimana? Coba ceritakan lebih jelas, Nata!" pinta ayah Nata.
Pria gagah itu memperbaiki duduk. Lalu menceritakan semuanya dengan rinci. Sepulang dari kota, dia bilang ke ibunya kalau ingin melamar anak Pak Galuh, mungkin maksudnya aku. Bu Hamidah langsung menyambut antusias dan menyambungkan rencana itu pada ibu tiriku. Ibu tiriku pun sangat bahagia. Bu Sum dan Bu Hamidah yang merempungkan semuanya. Namun, Bu Hamidah salah paham, dikiranya Wulan padahal aku.
"Aduh, malah jadi salah paham. Lagi pula kok kamu mau sama Andini, wong cantikan Wulandari. Sama-sama kerja di kota. Sama-sama sarjana."
"Wong saya sukanya sama Andini, gimana toh ibu ini."
"Ibu lebih setuju sama Wulandari, Nata."
"Ibu saja yang nikah sama Wulandari."
"Sudah lah, Wulandari saja. Andini hanya kuli pasar."
"Mboten, Bu. Aku dulu pernah janji sama Andini mau menikahinya."
Ibu dan anak itu malah berdebat. Seolah tidak menyadari kehadiran calon besan yang menatap bingung pada perdebatan mereka. Bu Sum dan Wulandari sampai ternganga tanpa berkedip. Aku juga sama.
"Jadi maumu apa, Nata?" tanya bapaknya Nata.
"Ya aku ke sini mau melamar Andini. Andini Larasati."
Mereka semua terdiam. Saling lirik keheranan.
"Andini ada, Pak Galuh?"
"A-ada. Tapi...."
"Tapi dia sudah dilamar orang lain. Kamu salah sangka kalau menganggap dia masih sendiri." Bu Sum yang tadi bicara ramah kini terdengar sangat ketus.
Aku meremas pakaian bagian dada. Dahi mengernyit tegang. Kenapa jawabannya begitu? Dilamar? Dilamar siapa? Padahal tadi dia yang bilang aku tidak laku. Aku menatap bapak. Berharap dia membelaku kali ini.
“Sudah dilamar? Oleh siapa?”
“Ada saja. Memangnya kamu harus tahu.”
“Bu…” Bapak memegang lengan Bu Sumarni.
“Diam saja kamu, Pak. Jangan banyak bicara! Yang sendiri di sini tinggal Wulandari. Kalau memang tujuanmu ke sini bukan untuk melamar Wulan, Monggo pergi saja!" Bu Sum melempar pandang judes. Terlihat kecewa pada keluarga Nata.
“Maaf Bu Sum. Nata sebaiknya kita bicara dulu!” Bu Hamidah mengajak Nata menjauh dari kerumunan. Mereka ke depan terlihat berjalan ke samping rumah. Aku segera ke pintu belakang untuk mencari tahu apa yang dibicarakan Nata dan ibunya.
Belum sempat menguping, lenganku ditarik oleh Bu Sum.
“Kamu mau mempermalukan Wulan!” Cengkeraman tangan Bu Sum terasa menancap kulit. Aku sampai meringis.
“Mempermalukan apa, Bu?”
Takut didengar orang lain, kami bicara pelan.
“Kamu pacaran sama Nata, hah! Tau dia ke sini mau melamarmu?”
“Enggak, Bu. Aku gak tahu.”
“Bohong, kamu!”
“Kamu jahat, Mbak.” Wulandari datang dan mendorong pundakku.
“Apa, Wulan?”
“Kamu mempermalukanku. Kamu merebut calon suamiku.”
“Aku tahu saja enggak, Wulan.”
“Bohong, Kamu!” Wulan berurai air mata. Dia mengusap air matanya dan memeluk ibunya. “Aku malu, Ma. Aku gak ikhlas kalau Mbak Andin nikah sama Mas Nata.” Wulan tersedu di dada ibunya.
“Heh, Andini!” Bu Sum kembali mencengkeram lenganku. “Kamu diam di sini dan jangan keluar. Kalau terpaksa keluar bilang sudah menerima lamaran orang lain!”
“Kenapa aku harus nurut? Bukannya tadi ibu yang bilang kalau aku tidak bisa dibanggakan. Sekolah tidak berprestasi, tidak punya kerjaan bagus. Enggak laku sama cowok cuma laku sama tukang ojek. Sekarang kalau ada laki-laki kaya mau melamarku kenapa harus kutolak. Bukanya ini bisa jadi pembuktianku untuk ibu? Bukannya ini sesuai kemauan ibu?”
Lenganku dicengkeram semakin keras. Kuku-kukunya terasa menancap. “Diam kamu!” Bu Sumarni melotot. “Nata hanya layak untuk Wulan, tidak layak untukmu.”
“Layak enggaknya biarkan Nata yang tentukan.”
“Lihat, Bu. Mbak Andin melawan. Aku gak rela kalau Mas Nata nikah sama Mbak Andin. Aku terlanjur jatuh cinta sama dia, Bu. Aku sudah terlanjur berharap dia jadi suamiku.”
“Lihat! Tega kamu menyakiti adikmu?”
Aku menepis tangan Bu Sum. “Sekarang biarkan aku menentukan hidupku sendiri, Bu.”
“Kurang ajar kamu, ya. Diam di sini!” Bu Sum dan Wulandari pergi. Lalu kembali dengan membawa bapak.
Aku menatap bapak dengan sorot permohonan. Berharap dia mementingkan kebahagiaanku kali ini.
“Lihat dia, Pak. Tak mau mendengarkan perkataanku. Wulan terlanjur jatuh cinta sama Nata. Tapi dia tetap mau menerima lamaran Nata.” Lapor ibu tiri.
“Ngalah ya, Andin!”
“Apa, Pak? Bapak bahkan gak nanya apa yang membahagiakan untukku. Yang anak bapak itu Wulan atau aku?”
“Wulan itu adikmu, Andin. Dia saudaramu. Ngalah ya. Bapak bisa carikan kamu jodoh yang lain.”
“Bukan masalah ngalahnya, Pak. Aku udah ngalah dari dulu. Minimalnya bapak itu tanya dong perasaan aku dan kemauan aku. Bukan main perintah begitu saja. Penting gak sih sebenernya aku buat bapak? Kenapa bapak selalu mementingkan kemauan Wulan. Aku yang darah daging bapak. Aku gak punya siapa-siapa lagi selain bapak.”
“Ih, ini anak. Semakin tidak tahu diri kamu. Seharusnya bersyukur kamu sudah kuakui seperti anak sendiri. Lihat tuh, Pak. Begini anakmu. Dia tidak pernah menganggap Wulan saudara. Padahal Wulan sudah mengakuinya sebagai kakak. Aku juga mengakuimu sebagai anak. Kamu diminta berkorban begitu saja masa tidak mau.”
“Bersyukur, Andin. Ada ibu yang mengakuimu, sekarang kamu dengar perintah bapak kalau masih mau diakui sebagai anak. Mengalah pada Wulan. Tolak lamaran Nata.” Bapak memasang wajah lebih serius. Lantas dia pergi dan diikuti istri dan anak tirinya.
Aku mengusap air mata. Patah hati paling parah yang pernah kurasakan adalah kehilangannya seorang bapak.
Dulu, bapakku sangat perhatian dan penuh kasih sayang. Saat ibu masih ada, dia selalu memanjakanku. Bahkan saat beliau menduda, kami hidup berdua dengan amat rukun. Kami saling mengisi diantara kekosongan tanpa adanya seorang ibu.
Sekarang, cinta ayah sudah direnggut seutuhnya oleh wanita lain. Tidak ada lagi sedikit pun tersisa untukku. Aku duduk di lantai dengan air mata yang terus berurai.
Beberapa menit berlalu, aku dipanggil untuk bergabung ke ruang tamu. Aku membersihkan air mata dan masuk pada perkumpulan dengan menunduk. Selain karena masih mengendalikan perasaan, aku juga malu karena memakai pakaian jelek dan tanpa riasan.
“Andini, ini ada Nak Adhinata datang untuk melamarmu,” jelas Bapak.
“Aku dulu pernah berjanji akan menikahimu kalau sudah berhasil, kan, ingat...? Bu Sumarni bilang kamu sudah ada yang melamar, benar?”
Bersambung….
~LAMARAN MAS GAGAH YANG TIBA-TIBA,MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRIKU (3)~#KETIKA_MAS_GAGAH_TIBA 3“Aku dulu pernah berjanji akan menikahimu kalau sudah berhasil, kan, ingat? Bu Sumarni bilang kamu sudah ada yang melamar, benar?”Sejenak aku berpikir sambil menunduk. Ingin menjawab jujur tapi takut juga pada ancaman bapak. Bagaimana pun dia bapak kandungku, kalau mau menikah tentu dia walinya. Jika bapak sampai tidak mau merestui bagaimana?Tapi ini kesempatanku untuk bahagia. Aku tidak mau selamanya berada dalam sasaran hinaan ibu tiri. Aku ingin bebas dan bahagia. Aku harus bertindak. Sekarang.“Tidak, Mas. Tidak ada yang datang melamarku dan aku tidak menerima lamaran dari siapa pun.”Biarkan saja dengan ancaman bapak. Selama ini saja bapakku sudah seperti tidak mengakui aku anaknya. Masalah beliau nanti mau merestui atau tidak, mau jadi wali atau tidak, biar itu jadi urusan nanti.Ada harap yang kugantungkan pada Nata saat dulu dia bilang akan menikahiku. Meski kalimatnya sekilas dan ser
KETIKA MAS GAGAH TIBA 4Perdebatan itu diakhiri dengan keputusan sebelah pihak. Aku harus menggagalkan pertunangan ini bagaimana pun caranya. Jika tidak, maka bapak tidak akan mau menikahkanku.Aku tidak bisa tidur sebelum kondisi rumah beres. Mbak Yuli turut membantu. Semua sisa makanan kuberikan pada Mbak Yuli dan tetangga dekat rumah, sedikit kusisakan untuk sarapan besok pagi.“Jangan nurut, Andin! Kalau kamu yakin sama Nata, jalani saja sampai hari ha. Urusan nanti bapakmu mau jadi wali atau tidak terserah nanti.”“Aku juga mikirnya gitu, Mbak. Kalau bukan sekarang kapan lagi. Salah-salah nanti bapak malah jodohkan aku sama lelaki tidak jelas.”“Betul begitu. Mbak dukung. Kalau kamu nikah sama Nata, Mbak jamin. Ibu tirimu itu bakal mati kutu. Biar dia jilat kembali ludah yang terus dikeluarkannya buat hina kamu.” Mbak Yuli bicara penuh emosi.“Ya mudah-mudahan saja semua lancar. Semoga Allah meluluhkan hati bapak. Bapak itu baik sebenernya, Mbak. Cuma gitu setelah punya istri Bu
KETIKA MAS GAGAH TIBA 5Burik. Sudah menjadi panggilannya sejak dulu. Sejak menjejaki bangku sekolah dasar. Layaknya pertemanan anak-anak pada umumnya, Nata sering meledekku dengan mengatai nama ayah dan ibu. Hampir setiap ada kesempatan, dia terus ngajak ribut.Awalnya, dikatai dengan panggilan ayah dan ibu itu hanya semacam bulian biasa. Aku akan membalas dengan hal yang sama. Tetapi setelah ibu pergi, itu jadi terasa sangat menyakitkan. Bagaimana tidak, aku sedang berkabung kehilangan seorang ibu, Nata masih membuliku dengan memanggil-manggil nama ibu. Hari itu, aku nangis parah. Sampai dipanggil guru. Aku dan Nata didamaikan, lalu Bu Guru kelas empat menceramahi teman-teman sekelasku seperti apa kondisiku saat itu dan tidak layak terus membuliku dengan mengatai nama ibu.Sejak saat itu, panggilan Nata padaku berubah jadi Burik. Kami berpisah ketika naik ke SMP dan SMA. Meski begitu masih sering bertemu karena memang tinggal sekampung.Setiap kali bertemu, di mana pun. Nata sering
KETIKA MAS GAGAH TIBA 6Ngobrol sambil makan, tidak terasa waktu sudah pukul lima sore. Saat keluar lapak bakso Mas Joko, sebuah mobil mungil warna silver lewat dengan kecepatan tinggi.“Wow, santai, Bos. Ini jalanan kampung bukan tol.” Nata memandangnya geram.“Tahu gak itu siapa?” tanyaku seraya memperbaiki letak tas.“Siapa?”“Wulandari.”“Pantes. Gak di rumah gak di jalan, songong orangnya.”“Gitu lah. Kemaren dia marah gara-gara salah paham masalah pertunangan itu.”“Aku juga gak enak sebenarnya, mis komunikasi dari awal.”“Masnya juga langsung to the point bicaranya. Bikin dia malu.”“Gimana lagi, dari pada salah pahamnya kebablasan.”Kami lanjut jalan. Kali ini dia yang duluan.“Pernah ikut mobilnya?”“Alhamdulillah, enggak.”“Nanti aku antar jemput pake pesawat.”Aku tersenyum. “Ketinggian mimpinya.”“Gak masalah, mimpi emang harus tinggi. Nanti kalau kita udah sukses, Wulandari pake mobil, kita nunduk aja.”“Ko malah nunduk?”“Kan kita pake pesawat. Kamu nanti bisa dadah-dada
KETIKA MAS GAGAH TIBA 7“Andini…!” Bu Sumarni teriak.“Tuh. Dia sudah manggil. Sana masuk?”“Jadi Mas tidak mampir dulu.”“Kapan-kapan saja.”“Ya sudah, assalamualaikum.”“Waalaikumsallam.”Aku memperbaiki letak tas seraya berjalan ke teras. Menghampiri ibu tiri yang sudah pasang wajah garang. Saat ini mungkin giginya sudah bertaring untuk siap memaki lagi. Ini yang buat aku selalu enggan pulang ke rumah. Hari-hari serupa neraka.‘Kamu punya garis teritorial yang tidak bisa sembarangan orang lain usik. Kamu berani. Kamu berhak bahagia. Allah sudah kasih kamu kekuatan. Melindungi diri bukan mengajak ribut.’Sepanjang berjalan aku mengulang-ulang itu. Menanamkannya dalam hati.Kelopak mata besar itu semakin merebak sempurna begitu aku menaiki teras.“Assalamualaikum.” Aku melewatinya.“Ini anak. Sudah dikasih peringatan masih melawan.” Dia berkata pelan, takut terdengar Nata yang masih berdiri di depan pagar mungkin.Wulan muncul di pintu. Wajah cantik nan menyebalkan itu menatapku mala
KETIKA MAS GAGAH TIBA 8“Sudah kubilang, Bu. Ibu boleh bahagia di rumah ini. Melakukan apa pun yang membahagiakan ibu. Tapi jangan mengusik kebahagiaanku. Kalau mau makan, suruh saja anak ibu. Jangan aku!”“Apa? Jadi sekarang kamu sudah tidak mau melayaniku lagi.”“Melayani sebagai apa?”“Kamu!” Tangan Bu Sumarni sudah terangkat. Mungkin mau menunjuk kening tapi aku segera menarik wajah sehingga tangan itu hanya terangkat di udara.“Bener-bener ya sekarang. Gara-gara dilamar Nata. Hiiiiii! Kau bikin gemas saja.”Aku mengangkat alis dan pundak. Menunggu reaksinya mau apa.“Baik kalau kamu tidak mau menyiapkan makan malamku. Jangan harap kau bisa makan malam ini.” Bu Sumarni balik badan. Aku kembali menutup pintu. Terserah, aku sudah makan bakso.***Menjelang tidur. Nata kembali mengirim pesan. Sepertinya dia tipe laki-laki yang jarang memainkan ponsel. Jeda dari chat pertamanya cukup lama. Saat di perjalanan tadi, dia bahkan tidak mengeluarkan ponselnya sama sekali kecuali saat minta
ETIKA MAS GAGAH TIBA 9“Kalau menikah dengan Nata hanya membuatmu tinggi hati, sombong, dan semakin kualat pada orang tua. Lebih baik tidak usah menikah dengannya. Atau bila perlu bapak saja yang putuskan!”Aku mendekati meja makan. Memandang raut bapak dengan saksama. Hitam kulit dan keriput wajahnya bukti kerasnya bekerja di jalanan.“Pak… nangis loh ibu di sana dengar bapak bicara seperti itu. Baru sekali Andini mempertahankan ego sendiri bapak sudah bilang aku tinggi hati, sombong, dan kualat sama orang tua. Anak-anak saja marah direbut mainannya, Pak. Apa lagi aku sudah dewasa. Masa diam saja harus direbut cinta. Bapak harusnya tahu, selama ini aku tidak pernah punya pacar sementara Wulandari gonta-ganti laki-laki. Kalau masalah bantu-bantu orang tua, apa bapak juga lupa kalau selama ini aku yang selalu bangun paling pagi. Hanya aku yang selalu menemani bapak buat siap-siap kerja. Bapak jangan menghapus semua kerja kerasku hanya karena aku tidak menyiapkan Bu Sum makan satu malam
KETIKA MAS GAGAH TIBA 10Nata bukan tipe laki-laki yang banyak gombal. Tidak juga berlebihan dalam menunjukkan perasaan. Dia menghargaiku dengan caranya.Kami sedang dalam penjajakan menjelang pernikahan, tapi dia tidak pernah berkirim pesan sebatas omong kosong. Nata hanya chat atau telepon seperlunya. Jam makan siang, adiknya Nata datang ke toko. Dia memberikan sekantung makan siang, susu, dan beberapa camilan.“Loh, kenapa kirim ini, Guntur?” tanyaku pada remaja 17 tahun itu.“Disuruh Mas, buat makan siang Mbak.”Aku terpana melihat keresek putih berlabel mart itu. Baru kali ini merasa dipedulikan oleh seseorang dengan sungguh-sungguh. Caranya membuatku merasa sangat tersanjung. Sejumput demi sejumput dia mengambil hatiku.Ya Allah, apa dia buah dari kesabaranku selama ini. Semoga saja iya.[Makasih, Mas, makan siangnya.][Sama-sama.]Sudah chat-nya begitu saja, tidak ada sambungannya lagi sampai sore. Jam lima, Nata stand by di depan toko untuk mengantar pulang.Kami tak lantas me
Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip
KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda
KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata
"Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak
KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d
Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me
Ketika Mas Gagah Tiba 44Tangan Bu Sum meraba gagang pintu, baru kulihat raut takut di matanya. Dia berusaha tetap mengendalikan diri dengan mengangkat dagunya tinggi lalu menantang nyalang."Ibu datang ke sini sengaja buat urus bapak. Tapi kalau kamu lancang begini, maka lebih baik ibu pergi saja. Sana urus bapakmu sendiri!""Alasan! Kau memang hanya mau bapakku saat sehat saja. Saat sakit begini tidak mau mengurus. Ke mana saja kamu sampai-sampai baru datang ke sini?""Aku sibuk ngurus bayi Wulan.""Prioritasmu memang hanya Wulan dan dirimu sendiri. Bahkan ketika bapak sedang sekarat begini. Aku dan bapak hanya kau peras demi kebahagiaan kalian berdua.""Cukup, Andini! Semakin lancang saja kamu ... Pak, kamu diam saja lihat dia begini?""Pergi saja, Bu!" sahut bapak tak kalah kecewa."Kami tidak butuh kehadiranmu di sini. Dari dulu juga aku yang mengurus bapak. Yang mencuci pakaiannya, yang bangun malam untuk menyiapkan sarapannya tiap pagi, yang masak dan mengurus segala keperluann
Ketika Mas Gagah Tiba 43"Kenapa bapak?!" Aku setengah berteriak. Nada Bu Sumarni di seberang sana terdengar begitu panik, dan jelas membuatku sangat panik juga."Bapak kecelakaan di tol. Ibu tak tahu bagaimana kabarnya."Astagfirullah, lututku rasanya mendadak lemas. Tangan jadi gemetaran. Teringat bagaimana sikap dinginku belakangan ini pada bapak."Gimana keadaan bapak sekarang?""Ibu tidak tahu. Ibu baru dengar kabar."Allahuakbar. Aku mengusap wajah. Hal yang paling aku takutkan terjadi. Bapak mengalami kecelakaan. Tenang, Andini, tenang. Mungkin bapak tidak kenapa-napa.Aku mengendalikan diri dari kepanikan tak jelas ini. Lalu menelepon Nata."Mas, aku dengar bapak kecelakaan," kataku begitu sambungan diterima."Mas juga dengar. Ayo sebaiknya pulang, kita langsung ke sana saja.""Mas tahu lokasinya?""Tahu. Ayo pulang saja. Hati-hati di jalan.""Iya."Aku segera meninggalkan kampus. Pulang ke rumah menjemput suami. Sesampainya di sana, Nata mengambil alih kemudi. Kemudian kami m
Ketika Mas Gagah Tiba 42Jam 11 malam, deru motor suamiku baru terdengar. Dari balik gorden, bisa kulihat dia membuka pintu gerbang dengan menggunakan jas hujan. Air dari langit memang tidak berhenti seutuhnya. Kadang menderas, sebentar gerimis, lalu besar lagi.Aku menyambutnya di pintu dengan muka masam.Kesal. Aku menunggunya berjam-jam. Sementara chat dan teleponku diabaikan. Dia pikir aku tidak khawatir apa. Namanya berkendara, semua bisa saja terjadi. Tadinya mau kulaporkan polisi kalau sampai jam 12 malam tak juga pulang."Ke mana aja? Chat-ku gak dibalas. Telpon gak diangkat. Gak mikir apa kalau istri khawatir." Aku langsung menyemprotnya."Ada kerjaan, Sayang." Nata membuka helm dan jas hujannya di teras basah."Sampai gak ada waktu buat ngangkat telpon?""Tanggung. Mas silent hp nya.""Astagfirullah. Aku khawatir tahu. Kalau jam dua belas belum juga pulang, aku mau lapor polisi loh.""Mas gak kenapa-napa. Hanya ada kerjaan saja."Suamiku ini gak semanis tokoh di drama Korea.