Share

Mas Gagah 6

Author: Nendia
last update Last Updated: 2023-03-24 03:31:05

KETIKA MAS GAGAH TIBA 6

Ngobrol sambil makan, tidak terasa waktu sudah pukul lima sore. Saat keluar lapak bakso Mas Joko, sebuah mobil mungil warna silver lewat dengan kecepatan tinggi.

“Wow, santai, Bos. Ini jalanan kampung bukan tol.” Nata memandangnya geram.

“Tahu gak itu siapa?” tanyaku seraya memperbaiki letak tas.

“Siapa?”

“Wulandari.”

“Pantes. Gak di rumah gak di jalan, songong orangnya.”

“Gitu lah. Kemaren dia marah gara-gara salah paham masalah pertunangan itu.”

“Aku juga gak enak sebenarnya, mis komunikasi dari awal.”

“Masnya juga langsung to the point bicaranya. Bikin dia malu.”

“Gimana lagi, dari pada salah pahamnya kebablasan.”

Kami lanjut jalan. Kali ini dia yang duluan.

“Pernah ikut mobilnya?”

“Alhamdulillah, enggak.”

“Nanti aku antar jemput pake pesawat.”

Aku tersenyum. “Ketinggian mimpinya.”

“Gak masalah, mimpi emang harus tinggi. Nanti kalau kita udah sukses, Wulandari pake mobil, kita nunduk aja.”

“Ko malah nunduk?”

“Kan kita pake pesawat. Kamu nanti bisa dadah-dadah dari atas.” Nata memperagakan dengan dadah-dadah ke jalan aspal.

“Bisa saja kamu, Mas.”

Lagi, aku tersenyum. Menunduk melihat jalan aspal. Bahagia dengar dia bilang kita. Dadaku jadi semakin berdebar dan berbunga.

Sepanjang perjalanan, Nata bertanya ini dan itu. Itu rumah siapa, yang dulu tinggal di sini ke mana. Nenek A masih hidup tidak. Kakek B bagaimana kabarnya. Semua dia tanyakan. Teman-teman sekolah pun tak lepas dari pertanyaannya.

Tak sedikit warga yang dia sapa akhirnya mengajak ngobrol. Semeter dua meter langkah kami harus terhenti lagi. Setiap kali ada yang bertanya hubungan kami, dia akan menjawab calon istri.

“Semoga lancar rencana kalian.” Kata seorang bapak yang baru saja ngajak ngobrol.

“Aamiin, Pakde. Monggo Pakde kami pulang dulu.”

“Monggo, Mas Nata.”

Aku tidak menyangka, Nata ternyata seserius ini. Tidak mungkin aku memutus pertunangan begitu saja.

Perjalanan dari toko ke rumahku hanya butuh waktu 15 menit saja. Tapi karena makan bakso dulu dan jalan juga teramat santai, tidak terasa waktu sudah mendekati Magrib. Terdengar pada pengeras suara anak-anak sudah solawatan.

“Magrib dulu, yuk.” Nata berhenti di dekat pagar masjid.

Masih ingin mengobrol, aku jadi tak berniat menolak. Maka setuju saja. Padahal kalau dilihat-lihat, masih ada sekitar 10 menit menjelang adzan berkumandang.

Kondisi masjid masih sepi. Hanya diisi oleh anak-anak yang solawatan. Aku dan Nata duduk di teras.

“Setiap hari pulang kerja jam lima?”

“Iya.”

“Besok aku jemput jam lima.”

“Kapan berangkat lagi?”

“Belum pasti, tunggu jadwal dari pelatih.”

“Tanding di mana?”

“Luar pulau.”

“Setiap hari berangkat kerja jam berapa?” lanjutnya.

“Kadang jam delapan, kadang jam sembilan. Tergantung kesibukan.”

“Perlu diantar tidak?”

“Gak usah.”

“Eh, iya. Belum minta nomor.” Nata mengeluarkan ponsel. Aku mengetik nomorku di sana.

“Besok Mas antar deh. Mumpung lagi di sini. Janjian ya?” Nata mengacungkan layar ponselnya.

“Terserah deh. Kalau tidak ada tanding kesibukannya apa?”

Nata masih memainkan ponselnya, terlihat memasukkan namaku pada kontak. “Sudah kerja sekarang.”

“Di mana?”

“Di kantor dinas. Gak jauh-jauh dari urusan pemuda dan olahraga. Lumayan, ada upah buat nafkah anak istri sama pensiunan kalau tua.”

Nata termasuk keluarga paling berada di kampungku. Ayahnya seorang PNS di kantor kementerian. Selain itu juga punya bisnis sebagai makelar tanah, mebel dan toko elektronik. Uang tentu bukan masalah baginya. Dengar-dengar sih, dari prestasinya sebagai atlet, dia juga sudah punya rumah dan kendaraan.

“Mas, ibumu sebenarnya merestui hubungan kita atau enggak sih? Kok kayaknya ibumu lebih srek sama Wulandari.”

“Ibu sih terserah aku. Dia realistis orangnya. Hanya saja mungkin kemaren pikirnya yang aku taksir itu Wulan, karena cantik, pinter, sarjana.”

Aku menunduk malu. Merasa diri tidak ada apa-apanya dibanding Wulan. “Padahal Mas itu lebih cocok sama dia,” kataku dengan nada pelan. Minder.

“Cocok dilihat dari apa?”

“Sama-sama pintar, sama-sama berprestasi.”

“Siapa bilang. Aku bodoh, lupa kalau dari dulu juga gak pernah dapat rengking.”

“Tapi kan sudah jadi atlet.”

Prestasi Nata di sekolah memang buruk. Dia peringkat dua dari yang terakhir. Kelas lima SD, perkalian saja gak hafal. Hanya olahraganya saja yang unggul.

“Tetap saja jatuhnya gak nyambung. Orang bidangnya jauh kok. Lagi pula jodoh itu masalah hati. Kalau sudah terlanjut cinta mau diapakan.”

Aku bersemu. Wajah jadi menghangat.

“Kok, jatuhnya malah seperti gombal ya?” Dia mengacak rambut. “Astagfirulloh. Ngegombal di masjid.” Nata berdiri.

Bapak-bapak para jemaah shalat datang. Nata menyapa. Aku lanjut ke tempat wudhu. Selepas shalat dia lanjut ngobrol dengan para jamaah lelaki.

Memang banyak orang yang ingin berbincang dengannya. Selain asyik, pencapaian hidupnya juga keren. Dia sudah mengharumkan nama daerah kami.

Ini rekor paling lambat perjalanan antara toko dan rumah. Lebih dari dua jam baru sampai. Dan gak kerasa saking asyiknya ngobrol. Langit bahkan sudah gelap.

“Bagaimana sekarang sikap ibu tiri?” Nata menghentikan langkah.

“Gimana apanya?”

“Masih tidak adil sama anak?”

“Kok tahu?”

“Sudah jadi buah bibir. Dulu saja kamu selalu telat datang sekolah karena harus beres-beres dulu kan?”

Aku melihat rumah bercat biru itu. Bangunan yang dulunya surga berubah jadi neraka. Lampu-lampu menyala terang. Gorden tertutup rapat. Kalau ibu lihat aku sama Nata pasti marah lagi.

“Masih gak jauh beda. Tetap begitu. Tidak masuk dulu?” tawarku. Sebetulnya takut juga ketahuan ibu. Males ribut.

“Tidak.”

“Ya sudah. Makasih, ya.”

Nata diam saja. Tampak galau dengan menggigit bibirnya sambil berpikir.

“Kenapa?”

“Membela diri. Jangan diam saja. Ini rumahmu, bukan rumah mereka.”

Nata sepertinya tahu banyak tentang aku, padahal baru kali ini kami berkomunikasi lagi. Apa dia memang mencari tahu? Atau hanya praduga?

Aku menunduk. “Gak berani. Aku males ribut.”

“Gusti Allah itu kasih semua makhluk hidup dengan kemampuan melindungi diri. Jangankan manusia yang diciptakan sempurna. Tumbuhan saja, Allah kasih kemampuan melindungi diri. Ada yang punya duri. Ada yang punya racun. Ada yang bikin gatal. Apa lagi kamu, Din... manusia… sempurna… punya akal. Membela diri bukan ngajak ribut kok. Hanya pertahanan kalau kamu juga punya garis teritorial yang tidak bisa sembarangan orang lain usik.”

Aku mengangkat wajah, menatap Nata.

“Aku tahu, dari dulu kamu pintar. Dari kelas satu sampai kelas empat rengking satu terus. Kenapa sekarang jadi seperti ini?”

“Beda, Mas. Hidup sama ibu kandung dan hidup sama ibu tiri itu beda.”

“Pasti beda. Karena dia juga pasti akan memprioritaskan anaknya. Tapi kamu juga berhak bahagia. Jangan sampai apa yang membahagiakan bagi dia sampai mengusik kebahagiaan kamu.”

“Jadi aku harus bagaimana?”

“Membela diri. Jangan mau terusik. Katakan sama diri sendiri, kalau kamu berhak bahagia. Kamu berani. Dan Allah sudah kasih kamu kemampuan untuk membela diri. Coba diyakini.”

Bersamaan dengan berhentinya kalimat Nata. Bu Sumarni teriak di teras. “Andini…!”

Bersambung ….

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
calon suami cerdas,bisa bimbing calon istri supaya berani melawan penindasan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 7

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 7“Andini…!” Bu Sumarni teriak.“Tuh. Dia sudah manggil. Sana masuk?”“Jadi Mas tidak mampir dulu.”“Kapan-kapan saja.”“Ya sudah, assalamualaikum.”“Waalaikumsallam.”Aku memperbaiki letak tas seraya berjalan ke teras. Menghampiri ibu tiri yang sudah pasang wajah garang. Saat ini mungkin giginya sudah bertaring untuk siap memaki lagi. Ini yang buat aku selalu enggan pulang ke rumah. Hari-hari serupa neraka.‘Kamu punya garis teritorial yang tidak bisa sembarangan orang lain usik. Kamu berani. Kamu berhak bahagia. Allah sudah kasih kamu kekuatan. Melindungi diri bukan mengajak ribut.’Sepanjang berjalan aku mengulang-ulang itu. Menanamkannya dalam hati.Kelopak mata besar itu semakin merebak sempurna begitu aku menaiki teras.“Assalamualaikum.” Aku melewatinya.“Ini anak. Sudah dikasih peringatan masih melawan.” Dia berkata pelan, takut terdengar Nata yang masih berdiri di depan pagar mungkin.Wulan muncul di pintu. Wajah cantik nan menyebalkan itu menatapku mala

    Last Updated : 2023-03-24
  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 8

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 8“Sudah kubilang, Bu. Ibu boleh bahagia di rumah ini. Melakukan apa pun yang membahagiakan ibu. Tapi jangan mengusik kebahagiaanku. Kalau mau makan, suruh saja anak ibu. Jangan aku!”“Apa? Jadi sekarang kamu sudah tidak mau melayaniku lagi.”“Melayani sebagai apa?”“Kamu!” Tangan Bu Sumarni sudah terangkat. Mungkin mau menunjuk kening tapi aku segera menarik wajah sehingga tangan itu hanya terangkat di udara.“Bener-bener ya sekarang. Gara-gara dilamar Nata. Hiiiiii! Kau bikin gemas saja.”Aku mengangkat alis dan pundak. Menunggu reaksinya mau apa.“Baik kalau kamu tidak mau menyiapkan makan malamku. Jangan harap kau bisa makan malam ini.” Bu Sumarni balik badan. Aku kembali menutup pintu. Terserah, aku sudah makan bakso.***Menjelang tidur. Nata kembali mengirim pesan. Sepertinya dia tipe laki-laki yang jarang memainkan ponsel. Jeda dari chat pertamanya cukup lama. Saat di perjalanan tadi, dia bahkan tidak mengeluarkan ponselnya sama sekali kecuali saat minta

    Last Updated : 2023-03-26
  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 9

    ETIKA MAS GAGAH TIBA 9“Kalau menikah dengan Nata hanya membuatmu tinggi hati, sombong, dan semakin kualat pada orang tua. Lebih baik tidak usah menikah dengannya. Atau bila perlu bapak saja yang putuskan!”Aku mendekati meja makan. Memandang raut bapak dengan saksama. Hitam kulit dan keriput wajahnya bukti kerasnya bekerja di jalanan.“Pak… nangis loh ibu di sana dengar bapak bicara seperti itu. Baru sekali Andini mempertahankan ego sendiri bapak sudah bilang aku tinggi hati, sombong, dan kualat sama orang tua. Anak-anak saja marah direbut mainannya, Pak. Apa lagi aku sudah dewasa. Masa diam saja harus direbut cinta. Bapak harusnya tahu, selama ini aku tidak pernah punya pacar sementara Wulandari gonta-ganti laki-laki. Kalau masalah bantu-bantu orang tua, apa bapak juga lupa kalau selama ini aku yang selalu bangun paling pagi. Hanya aku yang selalu menemani bapak buat siap-siap kerja. Bapak jangan menghapus semua kerja kerasku hanya karena aku tidak menyiapkan Bu Sum makan satu malam

    Last Updated : 2023-03-26
  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 10

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 10Nata bukan tipe laki-laki yang banyak gombal. Tidak juga berlebihan dalam menunjukkan perasaan. Dia menghargaiku dengan caranya.Kami sedang dalam penjajakan menjelang pernikahan, tapi dia tidak pernah berkirim pesan sebatas omong kosong. Nata hanya chat atau telepon seperlunya. Jam makan siang, adiknya Nata datang ke toko. Dia memberikan sekantung makan siang, susu, dan beberapa camilan.“Loh, kenapa kirim ini, Guntur?” tanyaku pada remaja 17 tahun itu.“Disuruh Mas, buat makan siang Mbak.”Aku terpana melihat keresek putih berlabel mart itu. Baru kali ini merasa dipedulikan oleh seseorang dengan sungguh-sungguh. Caranya membuatku merasa sangat tersanjung. Sejumput demi sejumput dia mengambil hatiku.Ya Allah, apa dia buah dari kesabaranku selama ini. Semoga saja iya.[Makasih, Mas, makan siangnya.][Sama-sama.]Sudah chat-nya begitu saja, tidak ada sambungannya lagi sampai sore. Jam lima, Nata stand by di depan toko untuk mengantar pulang.Kami tak lantas me

    Last Updated : 2023-03-27
  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 11.a

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 11Aku menunggu bapak pulang sampai larut. Jam sepuluh malam baru terdengar ketukan pintu. Aku buru-buru membukanya. Pada jam ini, Bu Sum dan Wulandari masih menonton TV.Aku mencium tangan bapak. Dan dia masih mendiamiku, tidak bicara sepatah kata pun. Malah berlalu menemui istrinya.Aku penasaran sekali apa yang akan terjadi. Akankah Bu Sum langsung membahas kehamilan?Mataku mengikuti pergerakan bapak. Terus mengamatinya dari meja makan yang ada tepat di depan pintu kamar. Sudah kusiapkan mental untuk mendengar hal terburuk sekalipun.Bapak menyimpan topi di meja ruang TV. Menghempaskan diri pada sofa dengan raut lelah. Bu Sumarni lantas menyambutnya, bertanya hari ini banyak penumpang atau tidak dan dapat uang berapa. Lalu mulai mengeluhkan mobil Wulan yang mogok. Tanpa melihat kondisi bapak yang kelelahan, dia menyuruh bapak untuk segera memperbaiki.Wulan serupa anak bungsu yang manja, dia mengeluhkan hal serupa. Merengek meminta mobilnya dibetulkan malam i

    Last Updated : 2023-03-28
  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 11.b

    Nata mengajakku berkunjung ke rumahnya agar lebih dekat dengan Bu Hamidah. Saat dia pergi tanding nanti, aku harus sering datang ke rumahnya untuk merempungkan acara pernikahan. Nata maunya begitu selesai tanding, kami langsung nikah.Sabtu dan minggu sebenarnya toko cukup sibuk. Namun untuk hari ini, aku sengaja ambil cuti di hari minggu karena hanya pada hari itu keluarga Nata berkumpul semua.Minggu pagi, Bu Sumarni sibuk masak di dapur. Dia masak banyak dan tampaknya enak-enak. Setelah selesai makanan itu dikemas menggunakan bok. Dimasukkan pada kantung rapi.“Ini berikan untuk calon mertuamu,” katanya pada Wulan sambil menyerahkan kantong.“Siap. Makasih Mama sayang.” Wulan mencium pipi ibunya, dan tak lama kemudian Wulan pergi memakai mobil. Calon mertua, siapa yang dimaksud calon mertua?Selang beberapa menit setelah kepergian Wulan, Nata datang untuk menjemputku. Nata mengucapkan salam dan mau masuk rumah kali ini.“Nak, Nata. Di sini?” Bu Sum menatapnya antusias.“Ya, Bu. Say

    Last Updated : 2023-03-28
  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 12.a

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 12POV WulandariPikiranku kacau belakangan ini. Tidak bisa fokus, kerja pun jadi bermasalah. Ini gara-gara lelaki teledor itu. Namanya Burhan. Pemuda kampung sini. Kami melakukan hubungan tanpa pengaman sebulan yang lalu. Dia memang ceroboh, atau mungkin malah sengaja.Sekitar dua bulan yang lalu. Aku dan teman-teman staf bank mengikuti konser musik di alun-alun kota kabupaten. Lagi asyik teriak, nyanyi, sambil loncat-loncat terjadi kericuhan di depan panggung. Semua pengunjung mundur. Kacau. Banyak yang berlari dan melindas orang lain. Seseorang memegangi pundakku, membawa mundur dari pusat keributan. Saat aku menengok ke belakang ternyata itu Burhan. Alfian Burhanudin namanya, dipanggil Burhan karena dia merasa itu paling keren.“Mas.”“Jangan terlalu dekat, nanti sampean terlindas,” pesannya. Bau alkohol tercium dari mulutnya. Sudah biasa dalam acara seperti ini pemuda minum-minum. Aku pun sama, meski tak banyak.“Sama siapa?”“Teman-teman.”“Di mana mereka?”

    Last Updated : 2023-03-28
  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 12.b

    Aku hilir mudik di kamar. Memikirkan solusi lain atas nasib benih di perut ini. Ada dua hal yang terlintas dalam benak. Pertama, aku minta saja Andini menggagalkan pertunangan dengan Nata. Dan setelahnya aku bisa menjadi peri penghibur yang akan membuatnya melupakan si bodoh itu. Tentu saja dengan begitu pernikahan aku dengannya bisa dipercepat.Solusi yang kedua, aku harus menggugurkan benih ini. Hanya saja tidak boleh ketahuan Burhan. Aku agak sangsi dengan ide kedua ini. Selain takut, tidak semua kehamilan bisa digugurkan.“Pokoknya aku mau Nata hanya menikah denganku. Suruh Andini memutuskan pertunangan mereka, Ma.” Aku merengek pada Mama. Bahkan pada bapak juga. Apapun caranya, mereka harus pisah.Aku, Mama, dan bapak merongrong Andini untuk memutus pertunangan itu. Sayangnya gadis bodoh itu malah melawan. Entah apa yang dikasih Nata. Andini malah menantangku untuk merebut cinta Nata. Sungguh kurang ajar. Wanita yang kemarin tunduk di depan kakiku itu kini berdiri tegak dengan me

    Last Updated : 2023-03-28

Latest chapter

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 48.b

    Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 48.a

    KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 47

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 46.b

    "Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 46.a

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 45

    Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 44

    Ketika Mas Gagah Tiba 44Tangan Bu Sum meraba gagang pintu, baru kulihat raut takut di matanya. Dia berusaha tetap mengendalikan diri dengan mengangkat dagunya tinggi lalu menantang nyalang."Ibu datang ke sini sengaja buat urus bapak. Tapi kalau kamu lancang begini, maka lebih baik ibu pergi saja. Sana urus bapakmu sendiri!""Alasan! Kau memang hanya mau bapakku saat sehat saja. Saat sakit begini tidak mau mengurus. Ke mana saja kamu sampai-sampai baru datang ke sini?""Aku sibuk ngurus bayi Wulan.""Prioritasmu memang hanya Wulan dan dirimu sendiri. Bahkan ketika bapak sedang sekarat begini. Aku dan bapak hanya kau peras demi kebahagiaan kalian berdua.""Cukup, Andini! Semakin lancang saja kamu ... Pak, kamu diam saja lihat dia begini?""Pergi saja, Bu!" sahut bapak tak kalah kecewa."Kami tidak butuh kehadiranmu di sini. Dari dulu juga aku yang mengurus bapak. Yang mencuci pakaiannya, yang bangun malam untuk menyiapkan sarapannya tiap pagi, yang masak dan mengurus segala keperluann

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 43

    Ketika Mas Gagah Tiba 43"Kenapa bapak?!" Aku setengah berteriak. Nada Bu Sumarni di seberang sana terdengar begitu panik, dan jelas membuatku sangat panik juga."Bapak kecelakaan di tol. Ibu tak tahu bagaimana kabarnya."Astagfirullah, lututku rasanya mendadak lemas. Tangan jadi gemetaran. Teringat bagaimana sikap dinginku belakangan ini pada bapak."Gimana keadaan bapak sekarang?""Ibu tidak tahu. Ibu baru dengar kabar."Allahuakbar. Aku mengusap wajah. Hal yang paling aku takutkan terjadi. Bapak mengalami kecelakaan. Tenang, Andini, tenang. Mungkin bapak tidak kenapa-napa.Aku mengendalikan diri dari kepanikan tak jelas ini. Lalu menelepon Nata."Mas, aku dengar bapak kecelakaan," kataku begitu sambungan diterima."Mas juga dengar. Ayo sebaiknya pulang, kita langsung ke sana saja.""Mas tahu lokasinya?""Tahu. Ayo pulang saja. Hati-hati di jalan.""Iya."Aku segera meninggalkan kampus. Pulang ke rumah menjemput suami. Sesampainya di sana, Nata mengambil alih kemudi. Kemudian kami m

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 42

    Ketika Mas Gagah Tiba 42Jam 11 malam, deru motor suamiku baru terdengar. Dari balik gorden, bisa kulihat dia membuka pintu gerbang dengan menggunakan jas hujan. Air dari langit memang tidak berhenti seutuhnya. Kadang menderas, sebentar gerimis, lalu besar lagi.Aku menyambutnya di pintu dengan muka masam.Kesal. Aku menunggunya berjam-jam. Sementara chat dan teleponku diabaikan. Dia pikir aku tidak khawatir apa. Namanya berkendara, semua bisa saja terjadi. Tadinya mau kulaporkan polisi kalau sampai jam 12 malam tak juga pulang."Ke mana aja? Chat-ku gak dibalas. Telpon gak diangkat. Gak mikir apa kalau istri khawatir." Aku langsung menyemprotnya."Ada kerjaan, Sayang." Nata membuka helm dan jas hujannya di teras basah."Sampai gak ada waktu buat ngangkat telpon?""Tanggung. Mas silent hp nya.""Astagfirullah. Aku khawatir tahu. Kalau jam dua belas belum juga pulang, aku mau lapor polisi loh.""Mas gak kenapa-napa. Hanya ada kerjaan saja."Suamiku ini gak semanis tokoh di drama Korea.

DMCA.com Protection Status