KETIKA MAS GAGAH TIBA 5
Burik. Sudah menjadi panggilannya sejak dulu. Sejak menjejaki bangku sekolah dasar. Layaknya pertemanan anak-anak pada umumnya, Nata sering meledekku dengan mengatai nama ayah dan ibu. Hampir setiap ada kesempatan, dia terus ngajak ribut.
Awalnya, dikatai dengan panggilan ayah dan ibu itu hanya semacam bulian biasa. Aku akan membalas dengan hal yang sama. Tetapi setelah ibu pergi, itu jadi terasa sangat menyakitkan. Bagaimana tidak, aku sedang berkabung kehilangan seorang ibu, Nata masih membuliku dengan memanggil-manggil nama ibu. Hari itu, aku nangis parah. Sampai dipanggil guru. Aku dan Nata didamaikan, lalu Bu Guru kelas empat menceramahi teman-teman sekelasku seperti apa kondisiku saat itu dan tidak layak terus membuliku dengan mengatai nama ibu.
Sejak saat itu, panggilan Nata padaku berubah jadi Burik. Kami berpisah ketika naik ke SMP dan SMA. Meski begitu masih sering bertemu karena memang tinggal sekampung.
Setiap kali bertemu, di mana pun. Nata sering menatapku lama, dan ujung-ujungnya panggil burik. Dia suka olahraga, sejak SMA ikut tim desa ke mana-mana. Dari voli, main bola, badminton, lari, dan semua jenis cabang olahraga dia sepertinya suka.
Pernah satu ketika aku menonton dia main bola di lapangan. Sebelum dimulai, biasanya para pemain melakukan pemanasan dulu dengan berolahraga ringan. Waktu itu, aku sudah stand by di sisi lapangan. Nata melihatku. Selama pemanasan dia terus saja melihatku. Bahkan di sela-sela permainan, sesekali matanya tertuju padaku. Aku coba pindah tempat, dan dia masih melakukan hal yang sama. Aku sudah curiga kalau dia sepertinya menyimpan perasaan, tapi tidak pernah bicara. Hanya membuli doang dengan memanggil burik. Sekarang, panggilan itu malah jadi terasa lucu dan spesial.
Aku dan Nata terus berjalan beriringan. Hanya beberapa meter dari jalan besar depan toko, kami belok ke jalan kecil khas perkampungan. Kiri-kanan jalan, rumah-rumah penduduk cukup rapat.
Nata menyapa setiap orang yang ditemui. Dari ibu-ibu yang sedang menyapu. Bapak-bapak yang lagi nongkrong depan rumah. Sampai anak-anak yang berlarian di jalan sore. Aku jadi ikut menunduk pada mereka semua yang dia sapa.
“Woi, Mas Bro. Sehat?” tanyanya pada motor yang baru saja lewat. Padahal aku yakin dia juga belum tentu kenal sama orang itu. Orang yang disapa pun hanya berteriak “Woi, Bro.” Tanpa memelankan motornya sama sekali.
“Burik, sudah makan?”
“Belum.”
“Mampir di tukang bakso yuk. Kita makan dulu!”
“Bakso ojolali yang di depan?”
“Iya.”
Aku terus jalan. Lalu masuk ke tenda tukang bakso yang ada di pinggir jalan.
Masih dengan keramahannya pada semua orang. Dia langsung menghampiri tukang bakso dan menyapa.
“Wah, makin mantap nih baksonya. Apa kabar, Mas Bro?”
“Walah, walah, ada atlet toh. Kapan pulang, Mas Bro?”
Nata dan tukang bakso salaman dan berpelukan.
“Udah lima hari.”
“Saya lihat jenengan di berita, keren tenan. Dapat emas, ya, Bro. Mengharumkan nama bangsa dan kampung kita, Sampean.”
“Alhamdulillah, Mas.”
“Mau bakso?”
“Jelas.”
“Mau berapa porsi, atlet biasanya makan banyak?” Mas Joko menunjuk mangkok di gerobak.
“Satu saja, tapi bikin dua. Buat ituh.” Nata menunjukku.
Aku tertunduk malu.
“Mbak Andini? Pacar?”
“Calon istri.”
“Wes, wes. Mantap. Apik tenan hidup sampean. Sudah sukses langsung nikah.”
“Aamiin….”
“Yo, wes. Tunggu. Kasihan Mbak Andin sendiri.”
Nata mendekat padaku. Duduk di seberang meja. Mas Joko mulai meracik bakso.
“Jadi sekarang ceritanya sudah berhasil?” tanyaku. Nata tidak pernah muncul di televisi, tidak terkenal seperti artis. Tapi, kalau dicari di internet, prestasi-prestasinya bisa di lihat di pemberitaan. Dari PON sampai SEA Game, Nata memenangi kejuaraan di bidang olah raga dayung.
“Berhasil atau tidak tergantung dari sudut mana kita melihatnya.”
“Maksudnya?”
Aku memotong bahkan mungkin kalimatnya belum selesai.
“Tergantung tujuan. Ada yang tujuannya punya rumah, mobil, pekerjaan bagus, penghasilan sekian. Mereka akan merasa berhasil kalau sudah dapat itu. Aku sendiri, tujuan saat sekolah dulu memang inginnya membawa nama bangsa di kancah internasional. Dan bersyukur sudah dapat. Sekarang juga ada lagi target pencapaian lebih besar. Tapi ya nikah dulu.”
“Pantes dulu janjinya gitu sama aku.”
“Iya. Dan itu jadi semacam motivasi. ‘Kapan nih dapat emas, biar cepat merit.’ Bersyukur kamu belum digondol demit.”
“Ish.”
Nata tidak mau diam geraknya. Dia menepuk-nepuk meja dengan ujung telunjuk, melihat-lihat tenda lapak, kaki menepuk-nepuk tanah.
“Jadi sekarang fokusnya di dayung?”
“Sejauh ini, yang membawa keberhasilan memang di bidang itu. Mungkin sudah di sana keahliannya.”
“Pusing enggak kalau lagi di aer gitu?”
“Jelas. Awal-awal pusing, tapi kalau udah ke sini-sini biasa. Nanti aku bawa kamu dayung.”
“Enggak, ah. Takut.”
“Enggak percaya banget. Kan ada Mas.” Nata menepuk dadanya. “Pasti jagain.”
Mas Joko datang, menyimpan dua bakso di hadapan kami. “Iki, Mas Bro. Monggo.”
“Mantap ini. Makasih, Mas.”
“Siap.”
“Udah seminggu ini gak makan.” Nata mengambil sendok dan garpu siap menyantap.
“Sampean bisa saja.”
“Seminggu tak makan bakso maksudnya.”
“Walah, hahaha.” Mas Joko tertawa dan kembali ke belakang gerobaknya.
Aku lumayan kepikiran perkataan Wulandari kemarin. Dia bener juga sih. Aku dan Nata terlalu jauh. Apa tidak memalukan nanti jika bertemu teman-temannya yang tentunya jauh level.
Sambil makan, aku mulai bercerita bagaimana semalam ngobrol dengan Wulandari dan sekarang aku merasa khawatir.
“Saya bodoh, Mas. Nanti malah tidak bisa berbaur sama lingkungan Mas. Kebayang nanti kalau ketemu sama teman-teman Mas mau ngomong apa?”
“Kemampuan orang dalam berkomunikasi itu beda-beda, Din. Tidak bisa disamakan. Ada yang bawaannya memang supel, mudah berbaur, ada juga yang penyendiri, tidak suka banyak bicara. Itu bukan masalah karena setiap personal dibentuk oleh lingkungannya.” Jelas Nata di sela-sela makan.
“Memang kemampuan itu bisa diasah. Dengan sekolah, kuliah, lalu bekerja yang mengharuskan berkomunikasi dengan banyak orang. Tapi tidak semua orang bisa masuk ke semua bidang, namun semua orang pasti punya bidang yang mereka kuasai. Orang pintar itu, orang yang bisa tahu bagaimana kapasitas lawan bicaranya, dan dia tidak membahas apa yang ada di luar kapasitas lawan bicaranya. Dan bodoh itu menurutku, orang yang katanya berpendidikan tapi sengaja mencari topik bicara yang diluar kapasitas lawan bicara. Ujung-ujungnya lawan bicara malah merasa minder dan bodoh. Seperti saudara tirimu itu.”
Nata menyuap lagi. Kakinya terus menepuk-nepuk tanah.
“Maksudnya?”
“Simpelnya gini. Kalau kamu bergabung sama teman-teman aku, pembahasannya tentu saja bukan dayung. Kalau mereka tanya masalah dayung, berarti mereka yang bodoh. Dan kamu juga tidak perlu ikut-ikutan untuk menguasai itu. Jadi orang itu yang penting ramah. Dan tidak harus berpendidikan tinggi untuk menjadi ramah.
“Untuk urusan pernikahan kan yang penting personalnya. Orang luar sih gak penting. Kita sudah kenal lama. Kita satu kampung. Satu keseharian. Satu selera makan. Satu adat, budaya, tradisi. Kamu pasti bisa masuk ke kehidupan aku.”
Nata cepat sekali makannya. Hanya beberapa menit saja—ngobrol sambil makan—mangkuk baksonya sudah kosong lagi.
“Mangkokmu bocor, Mas Bro.”
“Walah. Mau tak tambah lagi?”
“Jelas.”
Mas Joko tertawa dan membuat semangkuk bakso lagi.
Bersambung ….
KETIKA MAS GAGAH TIBA 6Ngobrol sambil makan, tidak terasa waktu sudah pukul lima sore. Saat keluar lapak bakso Mas Joko, sebuah mobil mungil warna silver lewat dengan kecepatan tinggi.“Wow, santai, Bos. Ini jalanan kampung bukan tol.” Nata memandangnya geram.“Tahu gak itu siapa?” tanyaku seraya memperbaiki letak tas.“Siapa?”“Wulandari.”“Pantes. Gak di rumah gak di jalan, songong orangnya.”“Gitu lah. Kemaren dia marah gara-gara salah paham masalah pertunangan itu.”“Aku juga gak enak sebenarnya, mis komunikasi dari awal.”“Masnya juga langsung to the point bicaranya. Bikin dia malu.”“Gimana lagi, dari pada salah pahamnya kebablasan.”Kami lanjut jalan. Kali ini dia yang duluan.“Pernah ikut mobilnya?”“Alhamdulillah, enggak.”“Nanti aku antar jemput pake pesawat.”Aku tersenyum. “Ketinggian mimpinya.”“Gak masalah, mimpi emang harus tinggi. Nanti kalau kita udah sukses, Wulandari pake mobil, kita nunduk aja.”“Ko malah nunduk?”“Kan kita pake pesawat. Kamu nanti bisa dadah-dada
KETIKA MAS GAGAH TIBA 7“Andini…!” Bu Sumarni teriak.“Tuh. Dia sudah manggil. Sana masuk?”“Jadi Mas tidak mampir dulu.”“Kapan-kapan saja.”“Ya sudah, assalamualaikum.”“Waalaikumsallam.”Aku memperbaiki letak tas seraya berjalan ke teras. Menghampiri ibu tiri yang sudah pasang wajah garang. Saat ini mungkin giginya sudah bertaring untuk siap memaki lagi. Ini yang buat aku selalu enggan pulang ke rumah. Hari-hari serupa neraka.‘Kamu punya garis teritorial yang tidak bisa sembarangan orang lain usik. Kamu berani. Kamu berhak bahagia. Allah sudah kasih kamu kekuatan. Melindungi diri bukan mengajak ribut.’Sepanjang berjalan aku mengulang-ulang itu. Menanamkannya dalam hati.Kelopak mata besar itu semakin merebak sempurna begitu aku menaiki teras.“Assalamualaikum.” Aku melewatinya.“Ini anak. Sudah dikasih peringatan masih melawan.” Dia berkata pelan, takut terdengar Nata yang masih berdiri di depan pagar mungkin.Wulan muncul di pintu. Wajah cantik nan menyebalkan itu menatapku mala
KETIKA MAS GAGAH TIBA 8“Sudah kubilang, Bu. Ibu boleh bahagia di rumah ini. Melakukan apa pun yang membahagiakan ibu. Tapi jangan mengusik kebahagiaanku. Kalau mau makan, suruh saja anak ibu. Jangan aku!”“Apa? Jadi sekarang kamu sudah tidak mau melayaniku lagi.”“Melayani sebagai apa?”“Kamu!” Tangan Bu Sumarni sudah terangkat. Mungkin mau menunjuk kening tapi aku segera menarik wajah sehingga tangan itu hanya terangkat di udara.“Bener-bener ya sekarang. Gara-gara dilamar Nata. Hiiiiii! Kau bikin gemas saja.”Aku mengangkat alis dan pundak. Menunggu reaksinya mau apa.“Baik kalau kamu tidak mau menyiapkan makan malamku. Jangan harap kau bisa makan malam ini.” Bu Sumarni balik badan. Aku kembali menutup pintu. Terserah, aku sudah makan bakso.***Menjelang tidur. Nata kembali mengirim pesan. Sepertinya dia tipe laki-laki yang jarang memainkan ponsel. Jeda dari chat pertamanya cukup lama. Saat di perjalanan tadi, dia bahkan tidak mengeluarkan ponselnya sama sekali kecuali saat minta
ETIKA MAS GAGAH TIBA 9“Kalau menikah dengan Nata hanya membuatmu tinggi hati, sombong, dan semakin kualat pada orang tua. Lebih baik tidak usah menikah dengannya. Atau bila perlu bapak saja yang putuskan!”Aku mendekati meja makan. Memandang raut bapak dengan saksama. Hitam kulit dan keriput wajahnya bukti kerasnya bekerja di jalanan.“Pak… nangis loh ibu di sana dengar bapak bicara seperti itu. Baru sekali Andini mempertahankan ego sendiri bapak sudah bilang aku tinggi hati, sombong, dan kualat sama orang tua. Anak-anak saja marah direbut mainannya, Pak. Apa lagi aku sudah dewasa. Masa diam saja harus direbut cinta. Bapak harusnya tahu, selama ini aku tidak pernah punya pacar sementara Wulandari gonta-ganti laki-laki. Kalau masalah bantu-bantu orang tua, apa bapak juga lupa kalau selama ini aku yang selalu bangun paling pagi. Hanya aku yang selalu menemani bapak buat siap-siap kerja. Bapak jangan menghapus semua kerja kerasku hanya karena aku tidak menyiapkan Bu Sum makan satu malam
KETIKA MAS GAGAH TIBA 10Nata bukan tipe laki-laki yang banyak gombal. Tidak juga berlebihan dalam menunjukkan perasaan. Dia menghargaiku dengan caranya.Kami sedang dalam penjajakan menjelang pernikahan, tapi dia tidak pernah berkirim pesan sebatas omong kosong. Nata hanya chat atau telepon seperlunya. Jam makan siang, adiknya Nata datang ke toko. Dia memberikan sekantung makan siang, susu, dan beberapa camilan.“Loh, kenapa kirim ini, Guntur?” tanyaku pada remaja 17 tahun itu.“Disuruh Mas, buat makan siang Mbak.”Aku terpana melihat keresek putih berlabel mart itu. Baru kali ini merasa dipedulikan oleh seseorang dengan sungguh-sungguh. Caranya membuatku merasa sangat tersanjung. Sejumput demi sejumput dia mengambil hatiku.Ya Allah, apa dia buah dari kesabaranku selama ini. Semoga saja iya.[Makasih, Mas, makan siangnya.][Sama-sama.]Sudah chat-nya begitu saja, tidak ada sambungannya lagi sampai sore. Jam lima, Nata stand by di depan toko untuk mengantar pulang.Kami tak lantas me
KETIKA MAS GAGAH TIBA 11Aku menunggu bapak pulang sampai larut. Jam sepuluh malam baru terdengar ketukan pintu. Aku buru-buru membukanya. Pada jam ini, Bu Sum dan Wulandari masih menonton TV.Aku mencium tangan bapak. Dan dia masih mendiamiku, tidak bicara sepatah kata pun. Malah berlalu menemui istrinya.Aku penasaran sekali apa yang akan terjadi. Akankah Bu Sum langsung membahas kehamilan?Mataku mengikuti pergerakan bapak. Terus mengamatinya dari meja makan yang ada tepat di depan pintu kamar. Sudah kusiapkan mental untuk mendengar hal terburuk sekalipun.Bapak menyimpan topi di meja ruang TV. Menghempaskan diri pada sofa dengan raut lelah. Bu Sumarni lantas menyambutnya, bertanya hari ini banyak penumpang atau tidak dan dapat uang berapa. Lalu mulai mengeluhkan mobil Wulan yang mogok. Tanpa melihat kondisi bapak yang kelelahan, dia menyuruh bapak untuk segera memperbaiki.Wulan serupa anak bungsu yang manja, dia mengeluhkan hal serupa. Merengek meminta mobilnya dibetulkan malam i
Nata mengajakku berkunjung ke rumahnya agar lebih dekat dengan Bu Hamidah. Saat dia pergi tanding nanti, aku harus sering datang ke rumahnya untuk merempungkan acara pernikahan. Nata maunya begitu selesai tanding, kami langsung nikah.Sabtu dan minggu sebenarnya toko cukup sibuk. Namun untuk hari ini, aku sengaja ambil cuti di hari minggu karena hanya pada hari itu keluarga Nata berkumpul semua.Minggu pagi, Bu Sumarni sibuk masak di dapur. Dia masak banyak dan tampaknya enak-enak. Setelah selesai makanan itu dikemas menggunakan bok. Dimasukkan pada kantung rapi.“Ini berikan untuk calon mertuamu,” katanya pada Wulan sambil menyerahkan kantong.“Siap. Makasih Mama sayang.” Wulan mencium pipi ibunya, dan tak lama kemudian Wulan pergi memakai mobil. Calon mertua, siapa yang dimaksud calon mertua?Selang beberapa menit setelah kepergian Wulan, Nata datang untuk menjemputku. Nata mengucapkan salam dan mau masuk rumah kali ini.“Nak, Nata. Di sini?” Bu Sum menatapnya antusias.“Ya, Bu. Say
KETIKA MAS GAGAH TIBA 12POV WulandariPikiranku kacau belakangan ini. Tidak bisa fokus, kerja pun jadi bermasalah. Ini gara-gara lelaki teledor itu. Namanya Burhan. Pemuda kampung sini. Kami melakukan hubungan tanpa pengaman sebulan yang lalu. Dia memang ceroboh, atau mungkin malah sengaja.Sekitar dua bulan yang lalu. Aku dan teman-teman staf bank mengikuti konser musik di alun-alun kota kabupaten. Lagi asyik teriak, nyanyi, sambil loncat-loncat terjadi kericuhan di depan panggung. Semua pengunjung mundur. Kacau. Banyak yang berlari dan melindas orang lain. Seseorang memegangi pundakku, membawa mundur dari pusat keributan. Saat aku menengok ke belakang ternyata itu Burhan. Alfian Burhanudin namanya, dipanggil Burhan karena dia merasa itu paling keren.“Mas.”“Jangan terlalu dekat, nanti sampean terlindas,” pesannya. Bau alkohol tercium dari mulutnya. Sudah biasa dalam acara seperti ini pemuda minum-minum. Aku pun sama, meski tak banyak.“Sama siapa?”“Teman-teman.”“Di mana mereka?”
Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip
KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda
KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata
"Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak
KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d
Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me
Ketika Mas Gagah Tiba 44Tangan Bu Sum meraba gagang pintu, baru kulihat raut takut di matanya. Dia berusaha tetap mengendalikan diri dengan mengangkat dagunya tinggi lalu menantang nyalang."Ibu datang ke sini sengaja buat urus bapak. Tapi kalau kamu lancang begini, maka lebih baik ibu pergi saja. Sana urus bapakmu sendiri!""Alasan! Kau memang hanya mau bapakku saat sehat saja. Saat sakit begini tidak mau mengurus. Ke mana saja kamu sampai-sampai baru datang ke sini?""Aku sibuk ngurus bayi Wulan.""Prioritasmu memang hanya Wulan dan dirimu sendiri. Bahkan ketika bapak sedang sekarat begini. Aku dan bapak hanya kau peras demi kebahagiaan kalian berdua.""Cukup, Andini! Semakin lancang saja kamu ... Pak, kamu diam saja lihat dia begini?""Pergi saja, Bu!" sahut bapak tak kalah kecewa."Kami tidak butuh kehadiranmu di sini. Dari dulu juga aku yang mengurus bapak. Yang mencuci pakaiannya, yang bangun malam untuk menyiapkan sarapannya tiap pagi, yang masak dan mengurus segala keperluann
Ketika Mas Gagah Tiba 43"Kenapa bapak?!" Aku setengah berteriak. Nada Bu Sumarni di seberang sana terdengar begitu panik, dan jelas membuatku sangat panik juga."Bapak kecelakaan di tol. Ibu tak tahu bagaimana kabarnya."Astagfirullah, lututku rasanya mendadak lemas. Tangan jadi gemetaran. Teringat bagaimana sikap dinginku belakangan ini pada bapak."Gimana keadaan bapak sekarang?""Ibu tidak tahu. Ibu baru dengar kabar."Allahuakbar. Aku mengusap wajah. Hal yang paling aku takutkan terjadi. Bapak mengalami kecelakaan. Tenang, Andini, tenang. Mungkin bapak tidak kenapa-napa.Aku mengendalikan diri dari kepanikan tak jelas ini. Lalu menelepon Nata."Mas, aku dengar bapak kecelakaan," kataku begitu sambungan diterima."Mas juga dengar. Ayo sebaiknya pulang, kita langsung ke sana saja.""Mas tahu lokasinya?""Tahu. Ayo pulang saja. Hati-hati di jalan.""Iya."Aku segera meninggalkan kampus. Pulang ke rumah menjemput suami. Sesampainya di sana, Nata mengambil alih kemudi. Kemudian kami m
Ketika Mas Gagah Tiba 42Jam 11 malam, deru motor suamiku baru terdengar. Dari balik gorden, bisa kulihat dia membuka pintu gerbang dengan menggunakan jas hujan. Air dari langit memang tidak berhenti seutuhnya. Kadang menderas, sebentar gerimis, lalu besar lagi.Aku menyambutnya di pintu dengan muka masam.Kesal. Aku menunggunya berjam-jam. Sementara chat dan teleponku diabaikan. Dia pikir aku tidak khawatir apa. Namanya berkendara, semua bisa saja terjadi. Tadinya mau kulaporkan polisi kalau sampai jam 12 malam tak juga pulang."Ke mana aja? Chat-ku gak dibalas. Telpon gak diangkat. Gak mikir apa kalau istri khawatir." Aku langsung menyemprotnya."Ada kerjaan, Sayang." Nata membuka helm dan jas hujannya di teras basah."Sampai gak ada waktu buat ngangkat telpon?""Tanggung. Mas silent hp nya.""Astagfirullah. Aku khawatir tahu. Kalau jam dua belas belum juga pulang, aku mau lapor polisi loh.""Mas gak kenapa-napa. Hanya ada kerjaan saja."Suamiku ini gak semanis tokoh di drama Korea.