Bab 82. Menalak Lalu SekaratAlisya langsung mengecilkan volume suara ponsel, saat terdengar teriakan Deva di dalam rekaman yang dikirim oleh Ayu. Kedua kelopak mata wanita itu menyipit, hanya untuk memastikan. Deva benar-benar menyeret Sonya keluar dari kamar, bahkan dengan begitu kasar mencampakkan mantan istri pertamanya ke teras.Adegan yang cukup menegangkan. Namun, hati Alisya tak bergetar. Sedikitpun dia tak terkejut, apalagi terenyuh. Tak ada rasa kagum dan bangga pada sang suami. Baginya sikap Deva adalah hal yang sangat biasa. Dia bisa pastikan apa sebenarnya penyebab Sonya diusir seperti itu. Pasti si wanita murahan sempat berusaha merayu. Deva menolak dan mengusirnya. Haruskah Alisya bangga akan kesetiaan suaminya? Haruskah hatinya mencair lalu kembali ke rumah itu, memohon maaf dan ampun agar dirinya kembali diterima?Tidak! Hati Alisya sudah terlanjur sangat sakit. Dia percaya bahwa Deva sangat mencintainya. Alisya tak ragu akan hal itu. Namun, buat apa rasa cinta j
Bab 83. Peluang Kerja Buat AlisyaSonya memaksa kedua netranya untuk terpejam, tetapi kantuk enggan untuk datang. Lelah di seluruh tubuh butuh istirahat, lelah pikiran dan benak butuh ketenangan. Namun, tak juga bisa dia dapatkan.Pikiran berkecamuk, sakit hati, kecewa, malu, dan berbagai perasaan tak enak lainnya mengaduk. Gundah gulana membuat jiwanya semakin lelah, ciptakan dendam yang semakin membuncah.“Bantu aku melupakan semua masalah ini sesaat! Aku mau tidur sebentar saja! Aku lelah! Aku capek!” lirihnya menelungkupkan badan. Menyembunyikan wajah di atas guling. Seketika benda itu basah akan air mata. Sonya menangis sesegukan di sana.Tangis itu terhenti saat ponselnya berdering panjang. Sonya tersentak. Siapa yang menelpon malam-malam begini? Mas Devakah? Apakah dia menyesal akan perbuatannya lalu ingin meminta maaf? Tidak akan langsung kumaafkan, Mas! Aku akan pura-pura jual mahal dulu. Agar kau tambah menyesal! Batinnya berbicara.Sonya menyeka pipi yang basah, hati
Bab 84. Rencana Para Suami Sahabat Alisya“Serius Bu Alisya sedang pisah ranjang dengan Pak Deva?” tanya Dr. Robert tak percaya. Berita itu disampaikan oleh sahabat sekaligus rekan kerjanya. Dr. Ilham.“Ya, makanya dia sedang sibuk mencari pekerjaan. Gimana perusahaan Dokter, masih butuh tenaga enggak?” Dr. Ilham balik bertanya.“Jangan sebut itu perusahaan. Itu hanya usaha kecil. Omzetnya juga baru sedikit. Lagian aku sepertinya tidak sanggup meneruskannya. Bukan bidangku ternyata, hahaha ….” Dr. Robert tergelak, seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Lah, iya. Seorang dokter mau jadi bisnisman, ya, beda! Lari jalurnya!” Dr. Ilham ikut terkekeh.“Sebenarnya itu dulu idenya Tiara. Pengen menerapkan ilmu yang telah dia peroleh di bangku kuliah dulu. Begitu katanya. Awalnya semangat. Eh, setelah hamil mulai kendur. Dan sekarang, sejak punya bayi, dia malah lupa kalau punya pabrik. Alhasil aku yang pegang. Amsyong, kan? Yang biasa megang jarum suntik di suruh mengang begituan
Bab 85. Talak Satu Dari Deva“Kenapa Mas Fajar masih tetap mengharapkan Kak Alisya, padahal Mas masih saja menggila dengan perempuan-perempuan murahan itu semua!” ketus Intan kecewa. “Jangan ikut campur, Intaaaan!” sergah Fajar menahan geram. Bukan urusan kamu, siniin hapeku!” sergah Fajar melotot. Intan terpaksa diam. Merogoh tas sandangnya, mengeluarkan sebuah ponsel, lalu menyerahkannya kepada Fajar.“Kenapa kamu mengizinkan Alisya membawa Rena? Punya adik kok enggak bisa diandalin!” sungut Deva lagi.“Kak Alisya sudah diusir oleh Mas Deva, Mas! Rena juga mau ikut sama Kak Alisya, karena mereka enggak tinggal di rumah Mas Deva lagi,” sergah Intan menahan kesal.“Sok tahu kamu!”Fajar menyalakan ponselnya, memanggil nomor Rena. Telepon aktif, tetapi tak diangkat.“Alisya enggak mau menerima panggilanku! Ponsel Rena pasti sama dia sekarang, kan?” gerutunya penuh kecewa “Sekarang kau telpon Alisya, minta alamat mereka!” perintahnya menoleh kepada Intan.“Buat apa, Mas?”“Aku cum
Bab 86. Deva Gundah Gulana“Tunggu surat ceraimu, akan segera kuurus!” Suara Deva menggelegar, jari tengahnya menunjuk lurus ke arah Alisya. “Tak akan ada sidang! Tak usah kau tunggu panggilan! Pengacaraku akan selesaikan semua dengan cepat! Jangan pernah kau bicara apalagi posting-posting di media sosial! Kau tau, kan aku siapa? Keluarga Wibawa adalah orang terpandang. Jangan sampai kau sebar gossip murahan! Paham!”“Maaf, Mas Deva, tolong jangan terlalu kasar! Alisya juga bukan perempuan rendah!” sergah Rika tak sabar mendengar hinaan Deva kepada sahabatnya.“Diam! Jangan ikut campur!” Deva langsung melotot tajam ke arahnya. Rika mengeditkan bahu lalu mendesah kasar. Dr. Ilham masih bergeming.Alisya gemetar. Berbagai perasaan mengaduk di dalam benak. Kaget karena talak dari Deva begitu tiba-tiba. Lega karena akhirnya Deva melepasnya, dan sakit di hati bagai diris-iris karena kalimat kasarnya. Itu membuat dadanya sesak. Namun, dia segera menguatkan hati dan jiwa. Tak akan pernah l
Bab 87. Deva Mabuk BeratSaat malam turun, Adante mulai menangis lagi. Ayu berusaha membujuk dengan segala cara. Namun, tangis Adante malah makin kencang. Sementara Deva masih mengurung diri di kamar. Pria itu bertambah stress mendengar suara tangisan Adante.“Iya, kita telepon mama ya, jangan nangis, dong! Dante mau ngomong sama mama? Kalau Dante nangis terus, enggak jadi, nih, telpon mama.” Ayu membujuk lagi. Kali ini tangis Adante berhenti.“Nah, gitu, dong! Entar, ya, mbak cari nomornya.” Ayu menscroll daftar kontak. Bu Alisya 2, begitu dia save nomor kontak Rena. Tanpa ragu, Ayu menekan nomor itu, mengaktifkan pengeras suara agar Adante mendengar suara sang mama.“Hallo, Bu Alisya! Maaf, saya nelpon malam-malam. Ini, Bu, Adante –““Ayu …!”Kalimat Ayu terjeda, terkejut mendengar bentakan penuh kemarahan itu. Deva sudah berdiri di ambang pintu. Ponsel di tangan sang babysitter terlepas, jatuh ke atas kasur. Padahal ponsel masih dalam keadaan menyala. Alisya menunggu di ujung s
Bab. 88. Perusahaan Baru Milik Alisya“Mas Deva! Sonya! Bang sat kalian!”“Raja!” Sonya kaget. Deva sontak melepas tubuhnya. Pria itu ambruk tepat di samping Sonya. Detik berikutnya terdengar dengkuran halus. Deva yang masih dibawah pengaruh minuman keras itu terlelap dalam ketidak sadarannya. Buru-buru Sonya meraih selimut untuk menutup tubuh atasnya yang telah bugil. Kemudian beringsut turun dari ranjang untuk mencari blues yang tadi sempat tercampak. Dengan mimik wajah tanpa dosa dia mengenakannya kembali di depan Fajar.Tak ada rasa malu sama sekali. Yang ada justru rasa benci kepada Fajar. Emosinya memuncak karena harus menahan hasrat. Mantan adik iparnya itu datang di saat yang sangat tidak tepat. Padahal sesaat lagi saja, dia pasti sudah bisa mendapatkan Deva.“Tolong jelaskan pada saya, apa yang telah kalian lakukan?” sinis Raja lalu melangkah masuk. Pria itu merasakan ada yang janggal meski sempat sangat kaget. Awalnya dia begitu yakin kalau sepasang mantan suami istr
Bab 89. Perusahaan Alina Terancam Hancur“Maaf, Pak, Deva! Saya benar-benar tak menyangka ternyata Anda PENIPU! Mulai detik ini, kerjasama kita batal!” teriak sang penelopn dari ujung sana.“Hallo, ini Pak Waldi, kan? Pemasok tetap bahan baku untuk perusahaan milik Bu Alina? Maaf, maksudnya apa ini?” tanya Raja kaget. Dia hapal betul nomor itu. Sebelum Alina memindahkannya ke Pekan Baru, dia menjabat sebagai Wakil direktur di kantor induk. Semua perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan mereka dia kenal betul.“Bapak masih nanya maksud saya apa? Saya yang harusnya bertanya MAKSUD ANDA APA?” Si penelepon berteriak.“Sabar, Pak! Sebenanya saya Raja, adik direktur utama, Deva Wibawa. Pak Waldi masih ingat saya, kan? Kebetulan Pak Devanya sedang ada urusan. Jadi, saya agak kaget mendengar ini. Sepertinya ada kesalah pahaman di sini, boleh Bapak jelaskan pada saya, apa masalahnya, Pak?”“Oh, jadi Anda putra kedua pemilik perusahaan itu? Kebetulan sekali kalau begitu. Dengar Pak R
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI