Bab 56. Tendangan Alisya Menghajar Fajar“Papa ….”Rena spontan memeluk pinggang Fajar. Wajah mungilnya yang tadi begitu riang seketika muram. “Papa, Rena enggak mau ikut Mama pulang! Suruh Mama tinggal bareng kita di sini aja! Ya, Papa! Boleh, kan, Pa, Mama juga tinggal di sini bareng kita?” lirihnya mendongah, menatap wajah Fajar penuh harap.“Boleh, Mama boleh tinggal di sini, Sayang! Masalahnya, Mama yang enggak mau. Coba Rena yang tanya tanya Mama, mau enggak dia tinggal di sini bareng kita!” jawab Fajar lembut.“Tuh, boleh, kok, Ma! Kita di sini aja, ya! Biar enggak dimarahi lagi sama Kak Tasya! Ayo, Mama! Kita bobok di kamar Papa Fajar! Kamarnya sempit, sih, tempat boboknya juga kecil! Papa bobok di lantai, Rena bobok di kasur. Kalau Mama tinggal di sini, Mama aja yang bobok di kasur, Rena enggak apa-apa, kok, bobok di lantai juga bareng Papa,” celoteh Rena panjang lebar. Dia tetap tak berani dekat dengan Alisya, khawatir Alisya nekat memaksanya pulang.“Sayang, Rena it
Bab 57. Maaf Untuk Deva“Maaf, Mas! Aku mau istirahat! Selamat malam!” ucap Alisya menutup pintu kamar.Deva tersentak, mematung di luar kamar. Ternyata Alisya belum mengijinkannya tidur sekamar. Alisya menguncinya dari dalam.“Mas Deva, sedang apa di situ? Mas butuh sesuatu?”Deva kembali tersentak. Kali ini lebih kaget lagi. Sonya sudah berdiri tepat di sampingnya, tanpa dia sadari. “Kamu? Kenapa masih di sini? Ini udah jam sebelas malam, lho? Kenapa tidak pulang?” tanya Deva dengan dahi mengernyit kencang.“Aku sebenarnya mau pulang setelah amkam malam tadi, Mas. Tapi Tasya merengek aja, aku gak dibolehin pulang. Dia minta aku sesekali nginap di sini,” jawab Sonya dengan santainya.“Kamu itu aneh, Sonya! Apa kata orang kalau tahu kamu tidur di rumah mantan suamimu. Tolong kamu pulang sekarang!” tegas Deva.“Aku enggak tega ninggalin Tasya, Mas. Seisi rumah ini menyudutkan dia. Jiwanya sedang tertekan. Ok, dia salah karena telah mengunci Rena di dalam toilet, tapi dia kan khilaf, M
Bab 58. Sentuhan Pertama Setelah Berbaikan“Sya, beri aku kesempatan sekali lagi, aku mohon! Ya?” pinta pria itu semakin memelas.Alisya mencoba menentramkan jiwanya yang mulai gundah. Merayu hati lembutnya agar mau menerima kata maaf dari bibir sang suami.“Baiklah, tapi, tolong lepaskan pelukan ini!” ucapnya kemudian.Deva melonjak kegirangan. Sorot mata sayu berubah begitu berbinar, meski kedua mata elang itu mengembun di sudutnya karena menahan haru. “Terima kasih, Sayang!” ucapnya melepas pelukan, lalu mengecup dalam jemari Alisya.“Tidurlah di sini, jangan di sofa! Aku janji tak akan macam-macam!” ucap Deva segera menyisi, lalu menepuk kasur di sampingnya.“Baik. Besok pagi aku mau melihat sekolah baru Rena. Mas Deva tidak keberatan, kan? Aku enggak apa-apa, meski harus dikawal oleh salah seorang anggota kamu,” jawab Alisya langsung menodong dengan satu permintaaan yang begitu sulit untuk Deva kabulkan.Pria itu tercekat.“Aku hanya akan melihat dari kejauhan, dan kembali men
Bab 59. Akting Sonya Gagal Total“Aaaaauw …. Tolooooong …!”“Sonya, kenapa dia?” tanya Deva menahan kecewa.“Lihat dulu, Mas!” usul Alisya seraya mengancingkan kembali gaunnya yang sudah terbuka di bagian dada.Deva beringsut turun, lalu berjalan menuju pintu kamar dengan perasaan yang tak karuan. Pening di kepala menyerang, aliran darah sangat tidak normal. Beberapa saat lagi, hasratnya akan tersalurkan, Alisya juga sudah siap menerimanya. Namun, terpaksa semua tertunda. Dengan enggan dia membuka pintu kamar.Bik Iyah yang juga terbangun karena suara jeritan tadi datang tergopoh-gopoh.“Kamu? Kenapa kamu?” Deva tersentak kaget saat melihat sesosok tubuh perempuan tergeletak di depan pintu.“Sonya? Dia … kenapa, Mas?” Alisya terpaksa menghampiri juga.“Enggak tahu ini, kenapa dia tidur di sini?” sergah Deva bingung. “Eh, Sonya! Bangun! Kenapa kamu ini! Bangun!” Deva menyepak kaki Sonya.“Jangan kasar gitu, Mas! Biar aku yang lihat.” Alisya berjongkok. “Sonya! Kamu kenapa? Sonya! Ba
Bab 60. Ada Apa Dengan Perusahaan Haga Wibawa?“Aku duluan, ya! Majikanku akan diangkat menjadi manager keuangan jam sepuluh nanti, permisi!” ucap Fajar lalu pergi.Alisya tersentak. Manager Keuangan? Bu Mawar? Di Mana? Alisya segera masuk ke dalam mobil. “Ke kantor, ya, Pak!” perintahnya kepada Pak Dadang. Setengah jam perjalanan, mobil yang dikemudikan oleh sang supir memasuki areal parkir gedung perkantoran di mana kantor milik perusahaan sarung tangan itu berada.Para karyawan yang berpapasan dengan Alisya mengangguk sopan saat wanita itu memasuki gedung. Alisya langsung menuju lif. Beberapa orang pengguna lif langsung menyisi memberi kesempatan untuk sang nyonya direktur untuk memakai lif duluan.“Bareng aja, ayo, masuk!” Alisya berkata dengan ramah. Namun hanya dijawab dengan anggukan penuh kesopanan, Alisya sendirian di dalam.Namun, saat pintu lif hampir tertutup, seseorang meneriaki namanya.“Tunggu Bu Alisya!”Sontak Alisya menekan tombol, menahan pintu agar kembali terb
Bab 61. Senjata Besar Andalan Fajar“Alisya? kenapa bengong di sini?” Alisya tersentak. Fajar dan Mawar baru saja keluar dari dalam lif. Mawar, ibu tiri Sonya terlihat berpakaian sangat rapi. Setelan blezer dan rok span pendek di atas lutut. Wajah lumayan cantik itu dipoles make up tebal. Semprotan parfum di seluruh tubuh menguar ke seluruh ruangan. Senyum merekah di bibir bergincu warna merah darah. Mawar tampil persis seperti sekuntum mawar yang sedang mekar-mekarnya.Alisya menelan ludah. Otaknya sibuk berpikir. Buat apa mereka datang ke kantor ini? Tadi, Fajar sempat mengatakan kalau dia buru-buru karena hari ini majikannya disahkan menjadi seorang manager keuangan.Sempat Alisya curiga karena kebetulan di kantor ini akan ada serah terima jabatan yang sama. Dan sekarang, setelah melihat keberadaan mereka di kantor ini, kecurigaan Alisya semakin besar. Mawar adalah pengganti dirinya.Tetapi, ini sungguh tak masuk akal. Bagaimana bisa ibu mertuanya memilih wanita ini menjadi man
Bab 62. Perusahaan Sedang Tidak Sehat“Tisyu!” Seseorang mengagetkannya sambil menyodorkan selembar tisyu.Repleks Fajar menoleh ke arah samping. “Mbak Sonya? Eh, maaf … sejak kapan Mbak ada di sini?” tanya Fajar gugup.“Baru saja, tepat saat perempuan angkuh itu menampar dan meludahi wajah Mas Fajar. Ini tisyunya, bersihkan dulu wajah kamu!”“Ya, terima kasih. Sepertinya aku akan ke toilet saja.”“Ya, itu lebih baik. By the way, sabar, ya! Meski aku tak tahu kenapa Alisya menampar dan meludahi Mas Fajar, tapi aku tetap ikut ikut prihatin.”“Ya, terima kasih, Sayang!”“Ups! Ini kantor, jangan panggil ‘Sayang’! Nanti yang lain curiga!”“Oh, iya, aku lupa. Baik, Mbak Sonya, permisi!”“Ya, tetap semangat, ya!”“Ok!”Fajar berbalik menuju toilet yang tersedia di lantai tiga itu, sementara Sonya melanjutkan pekerjaannya. Wanita itu tengah mempersiapkan aula, tempat acara serah terima jabatan akan dilangsungkan. Ada waktu sekitar setengah jam lagi. Dia harus menyiapkan segala sesuatunya.
Bab 63. Deva Takut Kehilangan AlisyaAlisya tercekat. Wanita itu kesulitan untuk meneruskan kalimat.“Sepertinya kamu sudah tahu kepada siapa jabatan manager keuangan akan dia serahkan? Betul begitu?” selidik Deva menyipitkan kedua kelopak mata.“Ya, aku bertemu dengan Bu Mawar. Mantan Ibu mertua Mas Deva? Aneh aja, kok bisa mama memilih dia, coba? Apakah dia bisa diandalkan mengelola keuangan perusahaan ini, Mas? Apalagi dengan kondisi saat ini? Harusnya manager yang dia pilih itu adalah orang yang benar-benar kompeten yang bisa menjaga keberlangsunan perusahaan ini, sedikit demi sedikit mengembalikan saham yang sudah terlanjur terjual. Aku khawatir, perusahaan akan tambah kacau dan bisa-bisa pailit nanti, Mas! Bila berada di tangan orang tak benar!”“Oh, ya! Jadi kau meragukan kemampuan bisnisku, hem?”Alisya dan Deva sontak terkejut, mereka menoleh ke arah pintu ruangan. Alina berdiri tegak dengan mata mendelik tajam ke arah Alisya.“Dengar Alisya! Aku pemilik perusahaan ini! Aku
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI