Bab 23. Ketegasan Alisya Membuat Alina Ternganga“Tidak Fajar! Tolong jangan pergi! Aku mohon!” lirih suara wanita itu memohon. Sepasang tangannya melingkar di leher, tubuh padat yang hanya berbalut lingrey menempel erat di punggung Fajar.“Maaf, Bu. Ini tidak benar! Anda majikan saya.” Fajar tetap berusaha menguasai diri.“Tidak penting kamu siapa, Fajar! Asala kamu tahu, pening yang saya derita itu karena suami saya. Dia selalu menyiksa saya. Hampir setiap malam dia meminta saya melayaninya di atas raanjang, namun dia tak pernah peduli dengan saya,” tangis Mawar pecah seketika. Wanita itu menempelkan wajahnya di bahu Fajar. Air mata mengalir deras membasahi baju kaos yang menepel di tubuh sang supir.“Jangan menangis, Bu!” Fajar melepas rangkulan tanagn wanita itu di lehernya, lalu berbalik menghadap tepat ke wanita itu.“Aku sangat menderita Fajar. Mas Rahman tak pernah pedulikan aku,” isak wanita itu kian menjadi.“Maksud Ibu bagaimana? Saya lihat Bapak sangat menyayangi Ibu. Dia
Bab 24. Bom Waktu Di hati Anak- anak.“Sepertinya kali ini dia ingin melakukan yang lebih! Dia ingin telanjang langsung di depan mata suami saya!”“Tutup mulutmu, Alisya!” Alina meradang. Sementara Sonya hanya mencebik, menatap Alisya dengan sorot amarah penuh dendam.“Deva, lihat istrimu! Lihat perempuan yang selalu kau banga-banggakan ini! Dia ngelawan mamamu di depan hidungmu, tapi kau diam saja?!” Perempuan enam puluh tahunan itu menunjuk lurus wajah putra kesayangan.“Keputusan Mama juga aneh, kenapa tiba-tiba Mama menempatkan Sonya sebagai sekretaris di kantor ini? Harusnya Mama membicarakan hal ini terlebih dahulu denganku, bukan tiba-tiba memutuskan seperti itu!” tukas Deva datar.“Kau? Kau juga nyalahin mama?”“Bukan nyalahin, Ma! Tapi, apakah Mama tidak sadar, kalau Mama itu ….”“Cukup, Deva! Terserah kau setuju atau tidak! Sonya akan tetap bekerja di sini! Dia punya hak di perusahaan ini!”“Terserah Mama!”“Dan kau Alisya! Kau boleh memilih! Jika kau merasa tidak nyaman
Bab 25. Usaha Sonya dan Alisya Zonk!“Anak-anak itu seperti menyimpan bom waktu saja kurasakan, Mas. Aku begitu was-was, sepertinya waktu ledaknya sudah semakin dekat. Aku sangat takut,” lirih Alisya semakin sedih.“Kamu terlalu berlebihan, Sayang! Itu perasaan kamu saja. Sudah, sini, kamu tenang, ya! Tidak akan terjadi apa-apa!” Deva meraih tubuh istrinya, membawanya ke dalam dekapan, mencoba memberinya ketenangan.“Aku merasa anak-anak semakin menjauhi aku, Mas. Aku berpikir, apakah ini karena aku terlalu sibuk di kantor, sehingga mereka merasa diabaikan, lalu mereka memilih menjauh? Aku jadi terpikir untuk mengikuti saran, Mama. Aku akan resign saja.”“Begitu? Aku tidak akan menghalangi apapun keputusan kamu, Sayang. Jika memang dengan resign, kamu akan kembali dekat dengan anak-anak, aku akan mendukung. Bagaimana baiknya menurut kamu saja.”“Tapi, aku ragu bila aku resign, Mas. Apalagi setelah ada Sonya di sana.”“Sonya, hahahahaha ….” Deva terkekeh pelan.“Kenapa Mas tertawa?”
Bab 26. Kesepakatan Para Mantan“Mas Fajar! Tunggu!” panggil Sonya saat Fajar mulai menyalakan mesin mobil.“Mbak Sonya? Maaf, ada apa?” Fajar kembali mematikan mesin mobil.“Mama saya enggak keluar lagi, bukan? Mas Fajar sudah selesai tugas?”“Sudah, ini mau pulang. Kata Bu Mawar, saya boleh bawa pulang mobilnya, karena besok pagi-pagi sekali saya harus kembali ke sini, Bu Mawar minta diantar entah ke mana saya belum tahu, tapi kata beliau saya harus cepat datang. Ada apa, ya, Mbak?”“Saya mau bicara sama Mas Fajar, kalau Mas enggak capek, kita ngobrol sebentar sambil ngopi di cafe, gitu?”“Sepertinya serius?”“Ya, ini penting banget buat saya.”“Baik kalau begitu, silahkan masuk, nanti saya antar pulang lagi, buat apa bawa mobil dua, benar bukan?”“Ya.”Sonya membukan pintu mobil, lalu duduk di samping Fajar. Perlahan mobil berjalan, membelah malam yang kian merambat. Sebuah café langganan Sonya menjadi tujuan. Sonya memesan meja khusus saat masih dalam perjalanan. Meja yang selalu
Bab 27. Sonya Dimangsa“Selamat datang cantik!”Sonya disambut dengan sapaan itu, saat tubuhnya di dorong kasar masuk ke dalam sebuah ruangan. Dia terjatuh dan terduduk di hadapan seorang pria. Pintu ruangan kembali ditutup rapat oleh dua orang sangar yang tadi menyeretnya paksa masuk ke dalam Avanza putih.“Kamu?”Wanita itu terperanjat kaget. Pria yang tadi bertemu dengannya secara tak sengaja di café langganannya, tengah duduk bersender di sebuah kursi besar. Asap mengepul dari mulut dan hidung pria bertato itu. Ruangan ini dipenuhi oleh asap rokok.“Ya, aku. Maaf, aku harus mencurimu dengan cara seperti ini.” Alex menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu bangkit perlahan. Pria itu berjalan menghampiri Sonya lalu berjongkok. Asap rokok yang telah dia permainkan di dalam rongga mulut, perlahan diembuskan tepat di wajah Sonya.“Apa maksudmu menculikku ke sini, Lex!” tanya Sonya resah. Ketakutan saat diculik tadi, kini berganti menjadi khawatiran yang amat sangat.“Aku sengaja menculi
Bab 28. Hasil Liburan di VillaDengan tangan kanan Alex menahan agar Sonya tak bisa melawan. Sementara tangan kiri pria itu mulai sibuk melepas pakaian mangsanya satu persatu.“Lepaskan aku, Lex! Aku mohon, jangan begini!” pinta Sonya saat wanita itu sudah bisa bersuara karena Alex sudah melepas mulutnya.Alex tak menghiraukan. Pria itu meremas dan mengulum bagian tertentu tubuh Sonya dengan penuh napsu. Wanita yang telah lama dia rindukan. Wanita yang telah lima tahun ini tak pernah lagi dia sentuh dan tundukkan.“Aku sangat merindukanmu, Sonya! Jangan meronta, Sayang! Kita lakukan saja seperti dulu kita selalu melakukannya di belakang suamimu. Bahkan setelah aku memuaskanmu, kau suguhkan lagi kepada Deva si bodoh itu. Itu sangat luar biasa, Sayang. Sensasinya masih terasa hingga kini,” gumam Alex kini fokus di bagian bawah tubuh Sonya.“Auuu! Sakit, Lex …!” teriak wanita itu saat Alex menghujamkan paksa miliknya di tubuh Sonya.*Ketukan terdengar halus di pintu kamar. “Ya!” sa
Bab 29. Tangisan Pilu Sang Adik Tiri“Ini semua milikku! Kau hanya anak tukang kebun yang sudah dipecat oleh papaku! Awas kalau kau berani ngadu sama Alisya, mamamu yang munafik dan pencuri itu, awas kau!” ancamnya lalu berlalu.Rena menatap nanar bontot makananya yang tergeletak di atas tanah. Isinya sebagian telah berhamburan keluar. Debu menempel di wadah bontot yang tercampak itu.“Kak!” panggilnya kemudian. Tapi Tasya tak menghiraukan. “Kak Tasya! Tunggu!” panggil Rena makin kencang.“Stop memanggilku kakak! Aku bukan kakakmu! Mamaku tak pernah melahirkan kau!” sergah Tasya berbalik, lalu meneleng kepala Rena.“Tasya, ada apa? Kenapa bontot adikmu?” beberapa teman sekelas Tasya menghampiri mereka.“Gak apa-apa, tapi dia bukan adikku! Dia hanya numpang di rumahku. Udah, ah, yuk ke kelas!” sanggah Tasya hendak pergi. Namun, Rena kembali memanggilnya.“Pinjam hape Kakak! Aku mau nelpon Mama biar ngantarin bontot makan siang aku. Nanti kalau lapar, gimana?” Rena memohon. Wajah sedi
Bab 30. Semburan Ludah Alisya di Wajah FajarAlisya tengah menyuapi putra bungsunya dengan semangkuk bubur. Dante tengah berlarian di halaman samping rumah megah mereka. Bocah tiga setengah tahun itu memang tak pernah bisa diam. Saat makan seperti inipun dia tetap beraktivitas dengan mainannya.Sejak Alisya resign, dia yang menyuapi Dante makan. Sebisa mungkin dia mengasuh anak-anaknya. Babysitter dia tugasi mengurus Dante saat dia sangat sibuk saja.Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar dari ponselnya. Alisya merogoh saku dan mengeluarkan benda itu dengan tangan kiri. Sebuah pesan masuk dari nomor baru, nomor tak dikenal. Sebenarnya Alisya ragu untuk menerimanya. Namun, khawatir kalau itu dari sekolah putri-putrinya, terpaksa dia buka juga.Sebuah kiriman video. Terlihat wajah kedua putrinya di layar, meski Alisya belum mengunduhnya.“Mbak Ayu, tolong gantikan saya suapin Dante!” titahnya kepada sang Babysitter. Lalu mengunduh video yang masuk.Kaget luar biasa, Alisya sungguh
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI