Bab 106. Raja Pergoki SonyaRaja menekan bel yang tersedia di dekat pintu rumah Dr. Ilham. Menahan napas, pria itu berdebar. persis seperti seorang pesakitan yang terbukti membuat kesalahan. Raja siap menerima hukuman. Masalahnya sekarang, apakah Aisyah akan memaafkan dan mau diajak pulang? Entahlah. Pria itu merasa makin deg-deg an.Dak ketika terdengar langkah kaki mendekat, jantungnya makin bergemuruh dasyat. Anak kunci diputar, terdengar sedikit hentakan, lalu pintupun terkuak.“Mas Raja?”Suara lembut itu membuat hatinya sedikit sejuk. Seraut wajah yang tetap saja terlihat manis menyembul dari balik pintu. Rika, istri sang kakak ipar. Wanita yang dulu pernah membuka pintu hati dengan begitu lebar buat Raja. Rika yang sempat terluka karena cintanya tak berbalas.“Ri-Rika, selamat malam! Aisyah di sini, bukan?” tanya Raja setelah berhasil menguasai perasaanya.“Ada, Mas! Masuklah!” Rika melebarkan daun pintu.“Mas Ilham tidak di rumah?” tanya pria itu melangkah masuk, sembari cel
Bab 107. Tertangkap Basah Berbuat Maksiat“Aku bahagia sekali, astaga …. Kamu luar biasa, Mas!” Terdengar racauan dari mulut Sonya. Perempuan itu kembali dibawa terbang oleh Fajar. Untuk kesekian kalinya, dia akan sampai pada pelempasannya.“Aku juga sangat bahagia, kamu juga luar biasa, Mbak!” Fajar balas memujinya. Ranjang sederhana ukuran tiga kaki itu berderit-derit dengan ganasnya. Sepasang manusia yang tengah menikmati indahnya maksiat itu sama sekali tak tergangu karenanya. Masing-masing mamacu dia, encari titik klimaks yang akan terjadi sesaat lagi.“Aku hampir, Mas! Dikit lagi …. aku sampai, Mas …! Aaaaach …. Mas Fajar …. Auuuugh …!” Sonya meleguh panjang.Tubuh Fajar ambruk di sampingnya. Keduanya terpejam dengan napas yang masih tersengak-sengal. Sonya tidur miring, menggeser tubuhnya gara menghadap Fajar. Kasur ini terlalu sempit, mereka harus tidur sambil berpelukan.“Mas Fajar, kalau toh kamu bisa membahagiakan seorang perempuan senikmat ini, kenapa Alisya me
Bab 108. Intan Berdarah“Intan! Kau keterlaluan! Kenapa kau masukkan laki-laki ini ke sini?” Fajar gegas turun dari kasur lalu menyambar celana boxer miliknya yang berserak di lantai. Tanpa pakaian dalam karena kain segitiga kedua manusia durjana itu berada di bawah kaki Raja. Dan Raja sedang merekamnya.Sonya meraih selimut usang di sebelah kaki kasur, lalu buru-buru menutup rubuh bugilnya. Sang perempuan jalang lalu bangkit, sebelah tangan memegangi sleimut di dada. tangan sebelah lagi mencoba merebut ponsel Raja.“Apa yang kamu lakukan Raja! Siniin hape kamu! Siniiinnnn …!” teriaknya kencang.Raja meninggikan ponselnya untuk menghindari serbuan tangan Sonya. Fajar sudah selesai memakai celana boxernya, kini dia melangkah mendekati Fajar. “Kamu merekam apa, Bung! Hey! Sini hapenya! Serahkan padaku!” perintahnya langsung merebut benda pipih itu.“Pergi Mas Raja! Biar saya yang halangi mereka!” Intan mendorong tubuh Raja ke luar kamar, wanita itu kemudian memalangkan tubuhnya di a
Bab 109. Rumah Baru Alisya“Kita mau ke mana, Tan?” Ningsih bertanya di dalam keremangan malam dengan suara serak. Langkahnya makin lama makin pendek, wajah mendungnya kian gelap, segelap selimut pekat yang memeluk malam. Hanya bias lampu jalan sebagai penerang.“Mama duduk di sini dulu, ya! Mama pasti capek, kan? Sabar, ya! Intan mau nelpon seseorang. Semoga dia bisa memberi tumpangan buat kita sampai esok tiba. Yang penting malam ini ada tempat berteduh. Besok kita pikirkan langkah selanjutnya. Duduk sini!”Intan memapah ibunya menuju sebuah halte. Belum jauh dari kontrakan Fajar. Gadis itu lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana panjang yang dia kenakan. Meng-aktifkan benda itu lalu mencari sebuah nomor yang sempat dia lupakan. Tetapi, kali ini dia benar-benar sedang dia butuhkan.Alhamdulillah, nomornya masih aktif dan sedang online,” gumamnya bersyukur lega.“Hallo, Intan, kamu apa kabar? Ada apa tengah malam begini nelpon? Kamu baik-baik saja?” Terdengar sapaan dari ujung
Bab 110. Ibunda Alisya Mulai Bertindak“Lho, kok, kita ke sini, Mas? Mas Anton enggak salah?” Alisya kaget saat mobil Anton berhenti di depan sebuah rumah mewah.“Tidak, Bu. benar, ini kok rumahnya. Saya turun dulu, ya, biar saya buka gerbangnya.” Anton bergegas turun setelah meraih tumpukan kunci di atas dashboard mobilnya.“Ca, ini … bukannya rumah kamu?” tanya Ainy, ibunda Alisya yang baru datang dari kampung. Sengaja Alisya menelepon kedua orang tuanya kemarin sore. Dia ingin ditemani saat pindahan ke rumah yang baru saja dia beli. Alisya juga ingin sang ibu membawakannya ramuan khusus untuk masuk angin. Akhir-akhir ini dia sering masuk angin, meski dia tahu itu adalah bawaan hamil mudanya.“Bukan rumah saya, Bu. Tapi rumah Mas Deva. Saya juga bingung ini, kenapa Mas Anto membawa kita ke sini? Dia pasti salah alamat. Tapi, kok, dia pegang semua kunci itu, ya?” jawab Alisya sangat bingung.“Coba pastikan dulu, Nduk! Jangan sampai Nak Deva mengusir kita semua. Bapak pasti engg
Bab 111. Deva Mabuk, Pulang Ke Rumah Alisya“Jangan lari-lari, Dante! Itu licin! Awas jatuh!” Haga Wibawa langsung menyambar handuk yang tersampir di di sudut bangku panjang. Buru-buru melilitkannya sebatas pinggang, lalu mengejar Adante.“Nenek!” Dante tak menghiraukan peringatan sang kakek. Bocah tiga tahun itu teramat gembira melihat kedatangan Ainy. Hampir saja kali kecilnya terpleset karena lantai yang licin. Tetapi dengan sigap Ainy meraih tubuhnya.“Astaga, kamu kok, kurus kering begini, Nak? Kenapa?” sesal Ainy memeluk cucunya.“Nenek! Mama sama nenek, ya? Mana mama, Nek?” tanya Adante di dalam pelukan Ainy. Kerinduan pada Alisya, dia tumpahkan di dada sang nenek.“Mama di rumah, Sayang! Kita jumpai dia ya! Ayuk, ikut nenek! Bik, tolong ambilkan pakaiannya!” titah Ainy kepada Bik Siti.“Maaf, Bu, tapi Bang Dante enggak boleh ke mana-mana! Ini perintah Pak Deva,” sahut Bik Siti menunduk.“Kau ambil sekarang atau aku sendiri yang mengambilnya? Tolong cepat, ya! Aku tidak mau ad
Bab 112. Alisya Mengembalikan Deva Ke Rumah Alina“Buk!?” Alisya menatap Ibunya tak percaya. Sedangkan Deva benar-benar sudah dalam keadaan teler. Dia tidak sadar apapun yang sednag terjadi di sekitarnya. Mulutnya terus saja meracau. Bik Iyah berusaha memeganginya.“Kenapa? Kamu mau protes? Dia masih suamimu secara sah! Siapa bilang kalau menalak istri dalam keadaan hamil itu sah, ha?” Ainy mendelik tajam kepada Alisya.“Tapi?”“Tapi kenapa? Karena rumah ini sudah kau beli? Dia tak kau izinkan masuk lagi begitu?”“Buk?”“Papah dia masuk!”Alisya terpaksa mengalah. Berdua dengan dengan Bik Iyah memapah Deva masuk. Namun, begitu tangannya menyentuh bahu Deva, tiba-tiba perutnya bermasalah. Alisya mual, terpaksa dia lepas pegangan, lalu berlari ke dalam kamar langsung menuju kamar mandi. Alisya muntah-muntah lagi di sana.Terpaksa Ainy yang Membaringkan tubuh pria itu di atas ranjang. Di atas spray yang baru diganti.Setelah merasa lebih lega, Alisya keluar lagi. Ainy sudah pergi“Sa
Bab 113. Kekacauan Di rumah AlinaSinar matahari menyeruak masuk dari ventilasi jendela kamar. Cahayanya yang cerlang cemerlang, membias menerpa seraut wajah tampan yang masih tertidur pulas di atas sebuah ranjang mewah. Bias itu membuatnya merasa silau. Pelan kelopak mata terkuak, begitu berat. Kembali dia terpejam. Pulas dalam tidur yang disambung.“Papa! Tasya mau pergi sekolah! Antarin!” rengekan itu tak juga membuatnya terjaga. Dengkuran halus terdengar jelas. Deva kembali terlelap.“Papa! Tasya mau sekolah! Pa! Papa …!”“Ups, aaaauugkh …! Tasya, ngagetin papa saja! Kenapa?” Pria itu akhirnya terbangun juga setelah Tasya berteriak di dekat telinganya.“Mau sekolah! Kek Dadang enggak datang! Siapa yang ngantarin Tasya?”“Hem, minta tolong Om raja, Nak! Papa ngantuk banget! Kepala papa juga sakit banget!”“Oom di rumah sakit!”“Rumah sakit? Kenapa? Siapa yang sakit?” Deva menggeliat. Merentangkan kedua tangan, menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan.“Kakek.”“Kakek?” pekik De