Bab 113. Kekacauan Di rumah AlinaSinar matahari menyeruak masuk dari ventilasi jendela kamar. Cahayanya yang cerlang cemerlang, membias menerpa seraut wajah tampan yang masih tertidur pulas di atas sebuah ranjang mewah. Bias itu membuatnya merasa silau. Pelan kelopak mata terkuak, begitu berat. Kembali dia terpejam. Pulas dalam tidur yang disambung.“Papa! Tasya mau pergi sekolah! Antarin!” rengekan itu tak juga membuatnya terjaga. Dengkuran halus terdengar jelas. Deva kembali terlelap.“Papa! Tasya mau sekolah! Pa! Papa …!”“Ups, aaaauugkh …! Tasya, ngagetin papa saja! Kenapa?” Pria itu akhirnya terbangun juga setelah Tasya berteriak di dekat telinganya.“Mau sekolah! Kek Dadang enggak datang! Siapa yang ngantarin Tasya?”“Hem, minta tolong Om raja, Nak! Papa ngantuk banget! Kepala papa juga sakit banget!”“Oom di rumah sakit!”“Rumah sakit? Kenapa? Siapa yang sakit?” Deva menggeliat. Merentangkan kedua tangan, menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan.“Kakek.”“Kakek?” pekik De
Bab 114. Deva Diajar Di Kantor Alisya“Mas Deva? Kebetulan Mas Deva ada. Mas mau ke kantor, kan?” tanya Raja saat berpapasan dengan Deva. Deva baru saja keluar dari rumah, kini terburu menuju mobilnya,“Tidak, kenapa?” sahut Deva melangkah buru-buru. Menekan intercom di tangannya. “Ke mana semua mereka ini! Dasar bodyguard payah!” teriaknya seraya membuka pintu mobil. “sudah jam segini tapi tak ada yang muncul! Mita dipecat semua rupanya!” sungutnya lagi.“Mas, Mas tolong singgah di rumah sakit dulu! Jenguk papa. Papa belum siuman juga. Sempat siuman tadi malam, dia nyarii Mas Deva! Tapi ponsel Mas Deva gak bisa dihubungi! Mas ke mana saja, sih?”“Ya, nanti aku singgah di rumah skait. Aku mau mastiin dulu keadaan Adante! Kamu tahu, kan, kalau anakku dicuik?”“Bukan diculik, Mas! Bu Ainy yang membawanya.”“Membawa tanpa izin, sempat cakar-cakaran dan jambak-jambakan sama mama, bahkan Papa pingsan lalu masuk rumah sakit, itu apa namanya?” ketus Deva lalu melangkah masuk ke dalam
Bab 115. Deva Tak Punya Bodyguard Lagi“Maaf, Pak Deva, ini kantor Bu Alisya, bukan kantor Bapak. Bapak bukan Bos di sini,” ucap Wahid, membantu mendudukkan Deva di sofa panjang, di depan meja Alisya.“Pak Wahid? Anda di sini?” tanya Deva terkejut. Pria itu meraba bibirnya yang sedikit bengkak.“Ya, Pak, saya sudah bekerja di sini. Sejak Bu Alina memecat saya waktu itu, saya kehilangan pekerjaan. Untung Bu Alisya mau menerima saya di sini. Putri sulung saya sedang menyelesaikan tugas akhirnya, Pak! Butuh dana besar. Kalau saya tidak bekerja, maka bagaimana studynya akan selesai.”Deva terdiam.“Permisi, Pak, saya kembali ke ruangan saya! Permisi Bu Alisya!” Wahid mengangguk kepada Alisya, lalu berlalu. Kini hanya tinggal Deva dan Alisya di ruangan itu.“Hebat, ya! Semua orang-orang terbaikku sudah kau ambil! Kemarin Deby sekretaris andalanku, sekarang Pak Wahid, manager produksi yang sangat professional itu. Pantas truk angkutan bolak-balik masuk ke pabrikmu. Rupanya begitu maju
Bab 116. Igauan Haga Wibawa BMW putih yang dikemudikan oleh Deva berhenti di areal parkir rumah sakit. Sambil berjalan dia menelpon Raja. “Di mana ruangan papa?” tanyanya dengan nada tinggi.“Mas Deva mau jenguk papa? Syukurlah! Apakah Mas Deva sudah bertemu Dante?” Raja balik bertanya.“Aku tidak menemukan Dante. Alisya tidak memberi tahu di mana dia tinggal sekarang. Ke mana aku harus mencarinya, coba! Anak buahku entah ke mana semua. Tak ada yang memberi laporan padaku! Sial!”“Maksud Mas Deva? Mereka pada enggak masuk kerja?”“Aku tidak tahu pastinya. Saat aku nelpon Joni, malah Intan yang menjawab. Informasi yang diberikan Intan sangat tak masuk akal!”“Intan?”“Ya.”“Kok, bisa, Intan megang hape Joni?”“Aku juga tidak tahu! Sepertinya Intan punya hubungan dengan Joni. Tapi itu tak penting bagiku! Masalahya sekarang adalah info yang diberitahu Intan sangat tak masuk akal. Katanya Mama sudah memecat semua anggotaku! Itu tidak benar, bukan?”“Ha, kenapa Intan mengatakan sepe
Bab 117. Deva Ingin Pulang Ke Rumah Lama“Begitu, ya? Baiklah, Ma. Aku juga sudah semakin yakin, sekarang. Aku akan mendaftarkan gugatan ke pengadilan. Tak ada lagi yang bisa dipertahankan dari Alisya,” ucap Deva membuat Haga Wibawa kembali meracau.“Alisya … Alisya … Deva ….”“Iya, Pa. Deva akan ceraikan Alisya, itu yang Papa mau, kan? Papa tenang saja, ya! Cepat sembuh. Mengenai Adante, Deva pasti akan menemukannya. Deva janji, begitu menemukannya, akan segera Deva bawa ke sini, menjenguk Papa! Pokoknya Papa harus cepat sembuh, ya!” kata Deva mengusap lengan sang Papa berulang-ulang.Kalimat Deva bukan menghibur, namun semakin menambah sesak hati Haga Wibawa. Apa yang dia inginkan tak seperti yang Alina sangkakan. Semua jadi salah paham. Betapa dia ingin bersuara sekarang. Dia ingin mengatakan tentang kehamilan Alisya.Tetapi lidahnya terasa begitu kelu. Tak ada kalimat yang dapat dia ucap selain nama Alisya, Deva dan Dante. Kedua pipinya kini basah air mata. Deva menyekanya
Bab 118. Perusahaan Alina Di Ambang Kehancuran“Kalau bukan Alisya, perempuan siapa maksudmu? Yang jelas kalau memberi laporan!” teriak Deva tak sadar. Dia lupa kalau Joni bukan anak buahnya lagi.“Makanya saya ingin bertemu dengan Bapak. Temui saya café ‘Rumah Kayu’! Posisi saya di sekitar Ring Road sekarang. Kita bertemu di sana!” sahut Joni dari ujung sana.“Wah, mulai berani mengatur aku, kau! Yang hebat kau sekarang, ya!”“Maaf, Pak Deva. Tolong jangan lupa kalau saat ini saya bukan anak buah Anda. Anda tidak lagi menggji saya. Saya sebenarnya tak peduli dengan Anda! Saya melakukan ini murni untuk Bu Alisya. Dia wanita yang sangat baik, tak pantas jika Anda bersikap tidak adil padanya! Itu saja!”“Kalau begitu kau temui Alisya saja! Untuk apa kau ingin bicara denganku!” sergah Deva emosi.“Baik, jadi Anda benr-benar tak mau tahu hal yang sebenarnya? Ok, by! Maaf mengganggu waktu Anda! Selamat pagi!”“Tunggu!” teriak Deva akhirnya keder juga. “Baik, aku temui kau di café itu. Li
Bab 119. Affair Sang BabysitterSonya segera mengemasi peratan kerjanya. Mematikan komputer, menyusun file, lalu meraih ponsel di atas meja. Segera dia menyalakan benda itu lalu menekan sebuah nomor.“Mas Fajar di mana sekarang?” sapanya begitu panggilannya tersambung.“Biasa, Mbak. Di rumah Mbaklah. Kan, melaksanakan tugas. Sebagai supir pribadi yang baik, saya harus siap siaga selama jam kerja, kan? Siapa tahu mama Mbak, butuh tenaga saya untuk keluar?” Fajar menjawab dari seberang sana.“Tapi saat ini mama sepertinya lagi enggak butuh sama Mas Fajar, kan? Mama enggak mungkin keluar-keluar karena dia harus jagain, papa, kan, Mas?”“I-iya, sih. Papa Mbak enggak bisa lagi membuat Bu Mawar keluar.”“Maksudnya? Keluar apa, ini maksudnya, hayo? Jangan-jangan, sejak papa saya sakit, Mas Fajar, nih yang menggantikan tugas Papa membantu mama saya supaya bisa keluar?”“Lho, kan, Mbak Sonya yang menunjuk saya bekerja sebagai supir pribadi Bu mawar. Tugas saya ya, membuat Bu Mawar s
Bab 120. Jerat Cinta Sandiwara Fajar “Bawa saja Adante sekalian, biar enggak ada yang curiga! Di tempat biasa, ya, Sayang!”“Baik, Mas.”“Ok, aku tunggu, love you!”“Makasih, Mas. Love you, too!”Fajar menutup telponnya. Menoleh ke samping, mendapati Sonya yang tengah melotot tajam ke arahnya. “Kenapa? Cemburu, hem?” godanya seraya mengelus pipi wanita itu.“Mas Fajar kok, bisa, ya di depan aku, lho? Berani gitu, ya?” Apa lagi di belakang aku, kan? Parah!” ketus Sonya masih melotot tajam.“Sayang! Kamu mau mendapatkan Adante, kan?” Fajar meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Sonya. Kini dia memanggil sang majikan tanpa embel-embel ‘Mbak’ lagi. “Kamu bilang tadi mau cepat-cepat menemui Deva, kan? Mau taklukin Deva? Caranya harus menemukan Adante, begitu, kan?”“Iya, tapi tidak mesti mesra-mesraan di hadapan aku, kan?” sergah Sonya dengan suara bergetar. Cemburu begitu membakar.“Namanya Ayu, dia babysitter Alisya. Sengaja aku mendekati dia. Awalnya untuk memasang mata-mata saja
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI