Bab 120. Jerat Cinta Sandiwara Fajar “Bawa saja Adante sekalian, biar enggak ada yang curiga! Di tempat biasa, ya, Sayang!”“Baik, Mas.”“Ok, aku tunggu, love you!”“Makasih, Mas. Love you, too!”Fajar menutup telponnya. Menoleh ke samping, mendapati Sonya yang tengah melotot tajam ke arahnya. “Kenapa? Cemburu, hem?” godanya seraya mengelus pipi wanita itu.“Mas Fajar kok, bisa, ya di depan aku, lho? Berani gitu, ya?” Apa lagi di belakang aku, kan? Parah!” ketus Sonya masih melotot tajam.“Sayang! Kamu mau mendapatkan Adante, kan?” Fajar meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Sonya. Kini dia memanggil sang majikan tanpa embel-embel ‘Mbak’ lagi. “Kamu bilang tadi mau cepat-cepat menemui Deva, kan? Mau taklukin Deva? Caranya harus menemukan Adante, begitu, kan?”“Iya, tapi tidak mesti mesra-mesraan di hadapan aku, kan?” sergah Sonya dengan suara bergetar. Cemburu begitu membakar.“Namanya Ayu, dia babysitter Alisya. Sengaja aku mendekati dia. Awalnya untuk memasang mata-mata saja
Bab 121. Deva Balas Menculik AdanteDeva menepikan mobilnya di depan café ‘Rumah Kayu’ tempat yang dijanjikan oleh Joni untuk bertemu. Baru saja kaki kanan melangkah turun, ponselnya tiba-tiba berdering. Dengan kesal dia raih benda itu dari atas dashboard mobil.“Iya, aku sudah di depan café!” teriaknya setelah mengusap layar tanpa meneliti si penelepon.“Mas Deva di depan café? Café mana?” Terdengar jawaban dari ujung sana.“Sonya, kamu?” Deva tercekat, buru-buru hendak mengakhiri panggilan.“Tunggu, Mas! Mas! Ini penting banget, Mas! Ini tentang Adante!”Telunjuk Deva yang hendak menggeser panel merah di layar sontak terhenti. “Kamu bilang apa? Tentang Adante? Kenapa dengan Adante? Tau apa kamu tentang anakku?”“Mas Deva lagi nyari Adante, kan?”“Mama yang bilang? Dasar perempuan! Bukannya nyari solusi malan ngegosip! Aku sedang stress banget, jadi kumohon jangan telpon aku dulu, ok! Kamu urus saja kantor dengan baik!!”“Tunggu, Mas! Justru aku begitu peduli dengan kekalutan
Bab 122. Ancaman Deva Pada AlisyaAyu berlarian ke sana ke mari di taman kota itu sambil memanggil nama Adante. Wajah pucatnya berkeringat. Ketakutan melanda. Adante benar-benar telah hilang. Pengunjung lain mulai membantu ikut mencari.“Makanya kalau jadi babysitter itu kerja yang benar! Tugas kamu menjaga anak orang, kan? Kenapa malah sibuk telponan!” sungut salah satu pengunjung terlihat sangat kesal.“Iya, Mbaknya saya lihat dari tadi sibuk telponan, acuh sama momongan! Kalau itu anak saya yang Mbaknya jaga, sudah saya bejek-bejek Mbaknya! Bagaimana kalau ndak ketemu lagi anaknya, Ya Allah, parahnya babysitter jaman sekarang!” rutuk yang lain.Aku hanya bisa diam, pasrah dengan semua sumpah serapah mereka.Setengah jam berlalu, Adante tak ditemukan juga. Ayu terduduk lemas di atas paving blok taman, pipinya basah air mata. Entah bagaimana cara dia melaporkan hal ini kepada Alisya. Wanita yang selama ini telah begitu baik kepadanya. Majikan yang bisa menerimanya meskipun Deva t
Bab 123. Permintaan Sonya Di dalam GudangAlisya tercekat. Deva sama sekali tak peduli pada kesulitannya. Pria itu bahkan sudah menutup telponnya. Kepada siapa lagi dia akan mengadu sekarang? Tak ada.“Kita sudah sampai, Bu!” Pak Wahid menepikan mobil.“I-iya, Pak! Tolong bantu kelilingi tempat ini. Cari anak saya sampai bertemu!” pinta Alisya membuka pintu mobil lalu melangkah turun. Ayu langsung menyambutnya dengan tangisan. Kembali wanita itu memohon-mohon ampun. Alisya memintanya menceritakan sekali lagi semuanya. Ayu pun mengulang lagi. Namun, tetap tidak jujur tentang Fajar. Setelah membuat laporan di kantor polisi terdekat, Alisya kembali pulang dengan hati yang remuk redam.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain pasrah, menanti keajaiban datang. Alisya ambruk, namun dia tak mau dilarikan ke rumah sakit. Tubuhnya digotong ke dalam kamar. Dokterpun dipanggilkan. Jarum dan selang infus di pasang. Suasana tegang dan mencekam.***“Terima kasih, Sonya. Aku berhutang
Bab 124. Kekasih Baru Deva“Terima kasih,” ucap Deva lirih saat Sonya melepas pelukannya.“Atas apa?” Sonya menatapnya lekat.“Bantuan kamu, Adante aku temukan, pasokan bahan baku masuk tepat waktu, dan pabrik bisa beroperasi lagi mulai besok, itu semua berkat kerja keras kamu!” tutur Deva balas menatapnya.“Hem, aku juga ngucapin terima kasih.” Sonya menunduk, membasahi bibir dengan lidahnya. Seolah Bibir Deva masih lekat di sana. Keindahan yang sempat dia rengkuh tak jua bisa sirna. “Atas apa?” Deva balik bertanya.“Karena Mas Deva tak menolakku,” sahut Sonya makin menunduk.“Hem. Kita pulang, sekarang, ya!” Deva berjalan keluar gudang, sengaja mengalihkan pembicaraan.“Mas ….” panggil Sonya seraya memeluk punggung pria itu. Deva terpaksa menghentikan langkah. Sonya mengeretakan pelukan. Dadanya menempel erat di punggung kekar Deva.Deva menghela nafas, berusaha menahan gejolak di dalam dada. Dada Sonya yang menempel erat, membuat pikirannya traveling ke mana-mana. Benda ke
Bab 125. Alisya KeguguranIni untuk kesekian kalinya Alisya harus terpisah dengan Adante. Untuk kesekian kalinya dia merasa begitu ketakutan. Takut kalau kali ini dia akan benar-benar kehilangan. Panik, khawatir, takut, dan merasa tak ada tempat mengadu, membuat wanita itu merasa kian menderita. Dia merasa sangat tertekan. Seolah-olah ribuan ton beban sedang menghimpit dadanya.Sesak, sedak, sakit, takut …. Alisya semakin lemas.Jika kemarin yang memisahkan dia dengan putranya adalah Deva, hatinya masih sedikit tenang. Sebab Adante tak akan ke mana-mana. Adante berada di tempat yang aman, di tangang yang peduli dan juga sangat menyayanginya.Tetapi kali ini situasinya berbeda. Adante tak tau di mana, entah berada di tangan siapa. Bagaimana kalau dia disiksa oleh penculiknya? Bagaimana kalau putranya yang tampan itu mengalami pelecehan sexual. Bagaimana kalau Adante di sod*mi?“Tidak! Aku harus menemukan Adante sekarang juga! Aku tidak mau anakku kenapa-napa! Adante …!” teriak Alisy
Bab 126. Alisya Memanggil Nama Deva“Istri kamu sedang di rawat di sini juga? Dan dia keguguran, begitu?” Bu Ainy menyela. Tampak wajahnya begitu tegang. “Kok, bisa kebetulan, ya? Ya, Allah, sabar, ya, Nak! Duh, Ica … semoga bayimu baik-baik saja, Nduk!” ucapnya menengadahkan kedua tangan, lalu mengusapkannya ke wajah.“Maaf, Bu! Nama saya Damar. Saya belum menikah. Saya turut prihatin atas apa yang menimpa Mbak yang tadi, ya, Bu! Ibu siapanya Mbak itu?” tanya pria itu mengernyitkan kening.“Lho, maksudnya? Tapi, Susternya bilang istri kamu keguguran, Nak. Apa kamu kurang jelas mendengar, tadi?” Bu Ainy mulai kebingungan.“Oh, maksudnya, mbak yang saya bopong masuk tadi yang keguguran, mungkin suster ini mengira dia istri saya. Ibu siapanya Mbak tadi, ibunya, ya? Atau ibu mertuanya? Saya turut prihatin, ya, Bu!” ucap Damar merasa iba.“A-apa? Ica …! Ica keguguran?” pekik Bu Ainy dengan mata membola.“Oh, namanya Ica? Sabar, ya, Bu!” Damar menagkap tubuh Bu Ainy yang tiba-tiba l
Bab 127. Deva Datang Dengan Kekasihnya“Bisa segera telepon dan suruh ke sini! Pasien belum sadar, tapi sempat ngeracau memanggil nama itu. Kalau bisa segera suruh datang, ya, Pak, Buk!” ucap sang perawat lalu kembali masuk ke dalam ruangan.Pak Wahyu dan Bu Ainy terduduk lemas kembali ke kursi panjang. Wajah tegang mereka semakin kusut. Keduanya membisu, suasana hening dan mencekam.Damar merasa terenyuh. Dia memang belum paham apa masalah yang sebenarnya menimpa keluarga ini. Tetapi dia bisa merasakan kepelikan yang tengah melanda. Rasa iba kembali mencuat di relung hatinya. Iba kepada wanita yang tadi sempat dipeluknya saat membopong untuk menolong. Alisya yang telah kehilangan calon bayi, ditambah sikap tak peduli sang suami.Pria itu kembali menghampiri Pak Wahyu dan Bu Ainy. Menghenyakkan tubuh di samping mereka.“Coba telepon lagi suami Mbak Ica, Pak! Sepertinya dia sangat membutuhkannnya di saat saat seperti ini,” usulnya memberi saran.“Percuma, Nak! Deva sudah tak
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI