Ponselku seketika berdering, ketika aku hendak mengangkatnya, Sari turut masuk ke dalam kamar. Aku bingung harus gimana, sementara Mbak Aira terus-terusan meneleponku.Sambil mengawasi Sari, aku mengirim pesan pada Mbak Aira.[Ada Sari Mbak, nanti saja aku jelaskan di rumah.]Langsung centang biru, tetapi tanpa balasan darinya. Aku mematikan ponselku, lalu menaruh di atas nakas tempat tidur."Kamu mau cari apa Sar?"Sari tampak kebingungan menjawab pertanyaanku, tangannya sibuk menggaruk kepalanya. Salah satu tanda jika orang itu melakukan kesalahan. Yang kupelajari dari salah satu buku psikologi.Tampak Sari memunguti remahan-remahan dan juga membersihkan makanan yang berhamburan di sela-sela lipatan baju. Aku keluar kamar, menuju musholla kecil yang berada di pojok. Memakai mukena yang sudah ada di sajadah, kemudian bergegas sholat Dhuhur. Begitu selesai sholat, kulihat Sari telah usai pula membereskan pekerjaannya tadi. Segera kuambil mukena yang tadi dirubungi semut dan bercak ma
"Tumpukan apa Dek, yang ada di selipan baju? Potongan ikan ayam? Siapa yang menaruhnya?" tanya Mas Alif sekali lagi, membuat aku dan Uswatun tidak tahu harus menjawab apa."Eh itu, siang tadi pas Uswatun bersih-bersih lemari, nemuin remahan makanan di selipan susunan baju. Gak pa pa kok Mas. Barangkali lupa taruh," kilahku."Mana ada seperti itu? Terus, siapa yang sudah naruh makanan di situ?" tanya Mas alif sedikit emosi, membuat kami berdua khawatir. Aku mengedikkan bahu tanda tak mengerti. Lalu kusodorkan gawaiku yang berisi foto yang diambil Uswatun tadi siang. Uswatun tampak gemetar di sampingku."Itu di selipan baju siapa?" tanya Mas Alif sambil memperhatikan dengan seksama gambar di ponselku."Di selipan mukena dan baju sholat, Mas. Biasanya memang aku sediakan untuk tamu yang kebetulan menginap atau numpang sholat di rumah kita."Kuambil kembali gawaiku dari tangan Mas Alif. Menyodorkan segelas air mineral kepadanya, guna mengurangi emosi. Tetapi, Mas Alif hanya meletakkan di
"Izinkan, saja Dek! Gak balik ke rumah kita juga gak pa pa! Malah enak." Sontak aku pun kaget mendengar ucapannya."Kok gitu sih?""Emm ... dari pada ntar datang lagi, bikin masalah baru."Aku mengerutkan keningku, tidak paham dengan maksud suamiku."Anak seperti Sari itu, biasa hidup di jalanan. Mudah mempengaruhinya, apalagi hal yang buruk. Pasti cepat dia menanggapinya. Selama ini, kalau keluarga mendiang Ibunya itu orang baik, gak mungkin mereka berencana licik di belakang kita. Kamu saja yang belum aku kasih tahu akan hal ini.""Emang ada yang tidak aku ketahui? Apa itu?""Lebaran nanti gak usah belikan Sari banyak-banyak belanjaan. Cukup belikan saja seperlunya. Perhiasan yang kamu belikan, suruh lepas semua. Kecuali anting, biar saja dipakai."Aku diam, mencoba mencerna semua perkataan suamiku. Takutnya dia cuma berprasangka yang tidak-tidak pada keluarga mendiang Ibunya Sari.~~~~~Waktu terus bergulir, puasa sudah dapat dua puluh hari. Firda dan Sari juga sudah pernah batal
"Diam kamu! Kamu cuma pembantu di sini! Aku ini ponakan Om alif!""Plaaakk ...!"Tangan Uswatun menampar pipi kanan Sari dengan keras. Seketika membuatku terhenyak, yang membuat lebih terkejut lagi. Mas Alif sudah berdiri di pembatas tangga dengan pandangan menusuk. Tak ada pembelaan sedikit pun buat kedua keponakannya.Sari tampak menangis sambil memegangi pipinya yang masih merah. Matanya menatap penuh kebencian pada Uswatun. Seakan-akan tidak menerima atas tamparan Uswatun."Apa ... mau melawan?" bentak Uswatun kesal.Sementara Sari masih tetap menatap Uswatun dengan pandangan dendam."Kemasi barangmu! Kalau perlu bawa semua. Jangan sampai ada yang kelupaan!" ucap Mas Alif tegas pada ponakannya."Us ... bantu Sari sampai selesai! Pastikan yang bukan miliknya, jangan sampai terbawa!""Ke bawah dulu, Dek!" ajaknya lalu langkah kakinya menapak turun anak tangga. Aku turut membuntuti di belakangnya."Apa aku bilang? Benar 'kan dugaanku, Dek?""Iya ...." jawabku lirih tak lagi membanta
"Perhiasanmu sudah dibawa?" tanya Sella sepupuku dari almarhummah Bunda, sebelum kami berlalu dari rumah Tante Aira."Perhiasannya masih dicucikan, kata Tante." Aku pun lalu naik di boncengan motor Sella dengan membawa dua tas besar. Tas untuk oleh-oleh Nenek dan yang satu lagi berisikan khusus baju-bajuku. Motor melaju perlahan meninggalkan istana kedamaian. Kenapa aku menyebutnya demikian? Karena di sana mau makan tinggal makan, jajan, baju semua sudah tersedia tanpa kuminta. Termasuk perhiasan pun, dipakaikannya untukku.Namaku Sari Kusumaningrum, Bundaku meninggal ketika aku masih berusia lima tahun. Aku masih ingat betul cantiknya wajah beliau yang menurun ke Yanti. Sedang aku, mewarisi garis wajah Ayah.Setelah Bunda meninggal, berdua kami diasuh oleh Nenek. Tak lama kemudian, Ayah menjemputku untuk diajak tinggal bersama istri barunya.Jika semua 'Ibu Tiri' seperti Bunda Ashanti, alangkah bahagianya hati ini. Diperhatikan dan juga dilimpahi kasih sayang. Tetapi semua itu hany
Perlahan aku pun menyobek pinggiran amplop amplop warna hijau tua itu."Sri...."Bayangan indah berkelebat memenuhi netra ini, fantasi pun melayang tinggi bagai layang-layang yang menari di langit biru. Meliuk-liuk mengikuti angin yang berhembus. Sedetik kemudian, menukik tajam ke bumi, terlepas dari tali pengaitnya. Itulah kini yang kurasakan, begitu terbuka amplop amplop. Aku pun mengeluarkan isi di dalamnya. Lembaran yang kukira berwarna pink semua, ternyata... arrgghh.Mata Sella pun ikut melotot melihat uang yang kupegang di tanganku. Sedetik kemudian, tawanya memecah keheningan di antara kami. Aku mendengkus kecewa, sementara Sella masih tertawa sampai kedua netranya mengeluarkan air mata."Banyaknya duitmu, Sar. Bolehlah traktir aku semangkok bakso jagalan." Sella meledekku habis-habisan, ingin kulempar dengan uang bendelan itu. Tetapi, hati kecil ini melarang. Karena aku masih punya rencana dengannya. Bagaimana dia bisa memintaku mentraktirnya beli bakso jagalan yang sepors
"Kamu balik sana ke rumah Alif!" usir Bi Murni marah.'Ya Allah, aku harus bagaimana ini?'Setelah berbicara demikian Bi Murni tampak berlalu ke kamar. Aku hanya bisa diam terpaku.Bi Tika tampak menatapku penuh dengan kebencian. Aku kian menenggelamkan kepala ini, tak sanggup menatap netranya yang penuh murka.Sella mengajakku keluar rumah, duduk di teras menggelar tikar pandan. Dengungan nyamuk yang berseliweran, bagai music orang punya hajatan."Ah, kenapa aku bisa begini?" gumamku penuh sesal."Sudah Sar, jangan diambil hati. Besok kita pulang ke rumah Nenek dulu," bujuk Sella.Aku hanya mengangguk, lalu ikut rebah di sampingnya. Suara dengungan itu kian marak, sementara tangan ini sibuk menepuk ke sana-kesini, mengusir nyamuk yang hinggap.~~~~~Setelah kematian suamiku, aku pun bertolak ke Malaysia guna menyambung hidup. Siapa yang menyangka, takdir membawa diri ini ke negeri Jiran, untuk mencari sesuap nasi.Panggil aku Tika, janda cerai mati dengan dua orang anak. Aku terlahir
Lebaran sudah semakin dekat sekali, segala pernak pernik sudah siap semua. Malam nanti Uswatun juga sudah mau mudik ke rumah mertuanya, meskipun hanya beda kecamatan. Oleh-oleh dan amplop pun sudah aku berikan bedanya. Tinggal menunggu jemputan suaminya saja.Beberapa hari yang lalu Bang Harun juga berpesan, agar aku masak yang banyak. Karena dia akan datang bersama rombongan besannya. Tak masalah bagiku, walaupun posisi suamiku lebih mudah, tetapi mereka biasa berkunjung di rumah. Adek-adek iparku pun sudah mulai berdatangan. Membuat suasana rumah kembali ramai dengan celoteh."Mbak ... semalam kok aku lihat Yanti berjualan es dekat gapura pojok itu ya?" tanya Uswatun sambil menemaniku membuat bingkisan untuk dibagi di malam dua puluh sembilan."Gapura pojok yang mana Us? Salah lihat kali.""Ah ... Mbak Aira gak percaya sih, coba ntar kalau jalan ma Mas alif perhatikan tuh. Padahal di sini, dia enak tinggal makan tidur. Di rumah orang, jadi babu.""Sudah ah, gak usah bahas soal anak
"Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok
"Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh
Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.
Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar
"Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl
Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be
"Tapi, Bi, kedatangan saya ini, untuk mem-batalkan rencana pernikahan ka-mi," tutur Anwar dengan terbata."Apa!? Kenapa bisa begitu? Kamu jangan mempermalukan kami!" seru Murni sambil mencak-mencak tak karuan.Ikhsan sampai bingung menenangkan istrinya itu. Ikhsan sendiri yang sedari tadi diam pun, ikut terkejut mendengar penuturan Anwar.Sementara Tika, saking terkejutnya, sampai tak bisa bicara apa-apa. Tiba-tiba saja, Yanti keluar dari balik kelambu kamarnya. Sebuah bantal dia lempar tepat ke muka Anwar."Dasar b*jing*n kamu! Aku gak bakal terima kamu giniin! Kamu tetap harus menikahiku. Apa perlu aku bilang yang sesungguhnya?" teriak Yanti dengan menantang Anwar.Anwar sampai tergeragap karena lemparan itu tepat mengenai mukanya. Yang membuatnya makin bingung, adalah ucapan Yanti yang meminta pertanggung jawaban padanya.Benar-benar pusing Anwar dibuatnya. Karena selama pacaran pun, Anwar tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama bersama Yanti. Paling cuma panggilan aja y
Aira tampak keluar dari kediamnanya. Menghampiri gerobak belanja milik Bang Ujo. Nampak di sana beberapa ibu yang lain sedang berbelanja pula."Eh Mbak Aira, mau belanja apa Mbak?" sapa Bang Ujo ramah.Sementara Aira hanya membalasnya dengan senyuman. Wanita cantik itu segera memilah-milah dagangan milik Bang Ujo. Tempe, tahu, diambilnya beberapa buah. Tangannya juga sibuk mengambil telur puyuh yang sudah dikemas dalam plastik kecil-kecil."Dagingnya ada Bang?" tanya Aira pada Bang Ujo."Mau masak apa Mbak Aira?" Bu Agus yang sedari tadi memperhatikan Aira yang sibuk memilih-milih sayuran pun, ikut bertanya."Ini Buk, si Vian minta dimasakin semur daging," balas Aira ramah."Mbak Aira tuh, memang jago kalau masak. Aku terkadang mau tanya resep masakannya, tapi malu," timpal tetangganya yang masih mudah."Kenapa malu, gak pa pa. Saya malah senang bisa berbagi ilmu," ujar Aira ramah."Dagingnya mau berapa kilo, Mbak Aira?" tanya Bang Ujo."Setengah kilo saja, Bang. Tambahin tulang mudan
Sampai di rumah, mata ini tak dapat terpejam hingga larut malam. Bayangan Yanti terus saja menghantui. Rasanya masih tidak percaya saja, jika dia bisa berbuat sekeji itu.Jika mendengar dari Mama atau Bu Kumala, pasti aku juga tidak bakalan percaya. Tetapi, ini aku dengar sendiri dari rekaman yang diperdengarkan Om Alif. Pantas saja, sikap Mbak Us begitu ketus ketika kami tadi datang berkunjung ke rumah tersebut.Kubuka aplikasi hijau, kucari nama Yanti di sana. Terlihat on, padahal sudah pukul dua belas malam. Apalagi yang akan direncanakan oleh gadis edan itu?Segera kuganti namanya di kontakku dengan Nini Lampir. Sesudah mengetik itu, kulempar ponselku asal. Ada sedikit rasa lega, karena aku sudah tahu perihal yang sebenarnya.Bangkit dari rebahan, kuambil sarung dan peci. Lalu segera membersihkan diri untuk bersuci. Kugelar sajadahku, lalu memohon pada Sang Pencipta. Agar mendapatakan petunjuk dariNya.~~~~~Pagi masih begitu dingin, kulihat Mama sudah sibuk di dapur. Bau harum ma