Lebaran sudah semakin dekat sekali, segala pernak pernik sudah siap semua. Malam nanti Uswatun juga sudah mau mudik ke rumah mertuanya, meskipun hanya beda kecamatan. Oleh-oleh dan amplop pun sudah aku berikan bedanya. Tinggal menunggu jemputan suaminya saja.Beberapa hari yang lalu Bang Harun juga berpesan, agar aku masak yang banyak. Karena dia akan datang bersama rombongan besannya. Tak masalah bagiku, walaupun posisi suamiku lebih mudah, tetapi mereka biasa berkunjung di rumah. Adek-adek iparku pun sudah mulai berdatangan. Membuat suasana rumah kembali ramai dengan celoteh."Mbak ... semalam kok aku lihat Yanti berjualan es dekat gapura pojok itu ya?" tanya Uswatun sambil menemaniku membuat bingkisan untuk dibagi di malam dua puluh sembilan."Gapura pojok yang mana Us? Salah lihat kali.""Ah ... Mbak Aira gak percaya sih, coba ntar kalau jalan ma Mas alif perhatikan tuh. Padahal di sini, dia enak tinggal makan tidur. Di rumah orang, jadi babu.""Sudah ah, gak usah bahas soal anak
Assalamu'alaikum, sekali lagi Author ingatin buat like, tap love, sub dan juga kasih koment bawelnya. Terim kasih😊"Ayah kan sudah meninggal, Ibu sekarang gak ada yang belikan baju. Apa Tante juga belikan buat Ibu?" tanya gadis polos itu padaku.'Deg.' Pertanyaan itu berhasil mencubit hatiku, meskipun sebelumnya aku memang masih menyimpan marah pada Bariyah, atas kematian Bang Hendro. Aku tersenyum lalu mendudukkan bocah kecil itu di sebelahku. Mengusap surai hitamnya yang legam.Bocah kecil itu hanyalah selembar kertas kosong putih. Jika kita mencoretnya dengan warna biru, dia ikut biru. Dia akan terlihat seperti apa yang kita goreskan."Ibu Vivi juga mau dibelikan baju?" "Iya, kasihan. Vivi pakai baju bagus, Ibu kok gak pakai," ujarnya sambil asyik mengunyah permen."Sof ... tolong ambilkan kresek hitam di lemari coklat yang di dapur itu," seruku pada Sofi adik iparku.Sofi keluar dengan membawa sebuah bungkusan, yang diserahkan padaku. Pantatnya ikut menghempas di sampingku."D
Maksud Ibu ... Bariyah sudah nikah lagi 'kah?" tanyaku meyakinkan pendengaran ini. Takut salah dengar."Lho ... Sudah lama berita itu Dek. Berarti kamu ketingalan. Habis empat puluh hari suaminya. Bariyah sudah nikah lagi ma orang yang biasa minum kopi di warungnya. Teman si Hendro juga."Aku dan Mas Alif saling berpandangan. Sesak terasa memenuhi rongga dada ini. Kulihat suamiku pun ... menghela napas kasar. Pastinya kami tidak tahu kalau Bariyah sudah menikah lagi.Bukan soal dia nikah lagi yang kami persoalkan. Tetapi, setidaknya memberitahu, agar tidak membuat pikiran keluarga besar Bang Hendro. Kami pun tak akan melarang, namun setidaknya berilah kami kabar juga. Agar ikut senang dengan kabar gembira tersebut. Kalau sudah begini, aku pun merasa disepelekan.Apalagi teringat ucapan yang tadi sore Bariyah katakan di rumah. Rasanya ingin kutemui Bariyah sekarang. "Owh iya, soal itu aku lupa yang mau bilang ma kamu Dek," ucap Mbak Lika."Gak papa, Mbak."Masih sambil berdiri, kami
Setelah Lebaran Ketupat, adik-adik iparku mulai kembali pulang ke tempat masing-masing. Mereka semua perantau, meninggalkan keluarga besar agar bisa mencari sesuap nasi.Menjelang sebelum mereka pulang. Kedua adik iparku Sofi dan Sinta duduk bersamaku di meja makan sambil menikmati salad buah yang kubikin sendiri."Terus Kak Lika gimana keadaannya, Mbak?" tanya Sofi."Alhamdulillah sudah sembuh kok. Malah sama Masmu diajak pulang ke sini gak mau."" Memang si Imran gak kerja, kok Kak Lika sampai tersiram air panas di rumah juragannya?" Kali ini Sinta yang sedari tadi menyantap salad membuka suara."Gak! Mana mau Imran kerja jadi kuli Dek. Gengsilah.""Wah sombong amat!" seru Sofi."Itu karena Kak Lika saja yang bodoh. Kalau aku, sudah kutendang laki kurang ajar kaya gitu," sengit Sinta."Kalau sudah cinta? Kotoran sapi pun jadi rasa coklat!" ujar Sofi."Gila! Mau-maunya diperbudak sama laki bego macam Imran. Kenapa gak ditegur aja si Imran itu Mbak?" tanya Sinta lagi kepadaku."Kemar
'Siapa mereka? Datang-datang sudah memancing keributan di rumahku?'"Siapa Us?" tanya Mas Alif mengikuti Uswatun yang masih di teras rumah."Ini ... ada anak kurang ajar mau cari ribut!""Saya gak kurang ajar, Mbak! Kalau ngomong jangan diputar balik dong!""Kamu siapa? Datang kemari cari siapa?" tanya Mas alif dengan suara tegas.Gadis itu terlihat agak kikuk, tetapi dia berusaha tidak takut menghadapi suamiku."Saya mau cari Ibunya Yanti. Mau nagih uang arisan yang sudah lama gak dibayar-bayar!""Maksud kamu nagih arisan ke istri saya?"Nampak mata gadis itu sedikit mendelik mendengar pertanyaan suamiku, kemudian melengos."Iyalah Pak. Kalau gak ada urusan itu, saya juga gak bakalan ada di sini.""Sejak kapan istri saya ikut arisan di kamu? Kamu aja masih bocah! Mana mau istri saya punya teman macam kamu! Macam Ibu-Ibu PKK saja!" cibir Mas Alif.Mata gadis itu membulat sempurna mendengar sindiran dari suamiku."Istri Bapak memang tidak ikut secara langsung. Dia juga bukan teman saya
Setelah beberapa waktu melewati kejadian-kejadian yang membuat otot tegang, kami pun bersiap menyongsong Idul Adha. Sudah menjadi kebiasaan mulai dari jaman masih mengontrak, kami berusaha menyisihkan uang agar bisa ikut berqurban.Alhamdulillah, semakin banyak yang kami sedekahkan untuk orang lain, Allah menggantinya dengan nikmat yang tak terkira. Sungguh suatu kebesaran yang hanya dimiliki olehNya.Sebetulnya, sebelum aku mengambil Yanti dan Sari dari panti asuhan. Aku juga sudah punya anak asuh. Tak banyak, hanya lima orang anak laki-laki semua. Kebetulan semuanya sudah tidak memiliki orang tua sama sekali.Ada yang tinggal di perkampungan dekat denganku tiga orang. Sementara yang dua orang tinggal di panti asuhan putra. Tiap bulan kelimanya datang bergantian. Mereka ada yang masih sekolah dasar ada juga yang sudah SMP. Kelimanya sangat sopan dan beradab.Khusus uang saku sekolah dan buku penunjang, aku membelikannya buat mereka. Tetapi tidak dengan uang masuk sekolah, semua itu d
Hinga pada detik berikutnya dia pun berbalik, kini kami saling berhadapan. Sejenak mataku menatap gadis yang kini di depanku. Bumi seolah berhenti berputar untuk sesaat.Gadis itu ....Sesaat mata kami saling bertabrakan. Dia menghentikan langkahnya. Tetapi kemudian menunduk dan berlalu ke pojok tempat sabun cuci yang berdekatan dengan kasir. Aku masih terpaku berdiri di tempatku, dengan napas terengah karena menahan letupan emosi, aku segera menyelesaikan keperluan untuk mengambil uang. Jari memencet tuts mesin ATM dengan gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi ingin segera menyelesaikan amarah yang bergejolak. Setan membisik di telinga, agar aku memberi pelajaran detik ini juga. Done ... transaksi sudah berakhir. Nurani menyuruh langkah ini, agar tidak memperumit masalah. Anehnya, aku tetap berjalan menuju tempat di mana gadis itu berada. Dari jarak setengah meter, tubuh ringkih itu berjongkok memilih-milih sabun.Terlihat sekali dia memang sengaja bersembunyi dariku. Beberapa de
[Te ini Sari]Aku hanya menyipitkan mata membacanya. Tanpa salam, bocah itu mengirimiku sebuah pesan. Sengaja kubiarkan tanpa kubalas. Jangankan membalas, pesannya pun kubiarkan dalam keadaan centang abu-abu.[Apa benar ini nomer ponsel, Tante Aira? Ini Sari, Te]Kembali bocah itu mengirimiku pesan. Aku hanya meliriknya dari notifikasi yang muncul di layar ponselku. Kucoba menerka-nerka, gerangan apakah yang ingin disampaikannya. 'Apa dia sedang mengalami kesulitan atau butuh bantuan apa?'Pekerjaan yang menumpuk dan kesibukan di toko yang semakin ramai, membuatku terlupa akan Sari. Ada keasyikan tersendiri, ketika bisnis yang kita bangun dengan susah payah menghasilkan berpundi-pundi rupiah.Untungnya Mas Alif tidak pernah protes akan hal itu, bukan berarti lalu aku juga mengabaikannya. Semua kulakukan penuh dengan tanggung jawab. Tanpa terkecuali pokoknya.Hingga suatu sore, datang seseorang yang mengaku Bibi dari Yanti dan Sari, keluarga dari almarhummah Aminah. Tanpa salam wanita
"Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok
"Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh
Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.
Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar
"Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl
Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be
"Tapi, Bi, kedatangan saya ini, untuk mem-batalkan rencana pernikahan ka-mi," tutur Anwar dengan terbata."Apa!? Kenapa bisa begitu? Kamu jangan mempermalukan kami!" seru Murni sambil mencak-mencak tak karuan.Ikhsan sampai bingung menenangkan istrinya itu. Ikhsan sendiri yang sedari tadi diam pun, ikut terkejut mendengar penuturan Anwar.Sementara Tika, saking terkejutnya, sampai tak bisa bicara apa-apa. Tiba-tiba saja, Yanti keluar dari balik kelambu kamarnya. Sebuah bantal dia lempar tepat ke muka Anwar."Dasar b*jing*n kamu! Aku gak bakal terima kamu giniin! Kamu tetap harus menikahiku. Apa perlu aku bilang yang sesungguhnya?" teriak Yanti dengan menantang Anwar.Anwar sampai tergeragap karena lemparan itu tepat mengenai mukanya. Yang membuatnya makin bingung, adalah ucapan Yanti yang meminta pertanggung jawaban padanya.Benar-benar pusing Anwar dibuatnya. Karena selama pacaran pun, Anwar tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama bersama Yanti. Paling cuma panggilan aja y
Aira tampak keluar dari kediamnanya. Menghampiri gerobak belanja milik Bang Ujo. Nampak di sana beberapa ibu yang lain sedang berbelanja pula."Eh Mbak Aira, mau belanja apa Mbak?" sapa Bang Ujo ramah.Sementara Aira hanya membalasnya dengan senyuman. Wanita cantik itu segera memilah-milah dagangan milik Bang Ujo. Tempe, tahu, diambilnya beberapa buah. Tangannya juga sibuk mengambil telur puyuh yang sudah dikemas dalam plastik kecil-kecil."Dagingnya ada Bang?" tanya Aira pada Bang Ujo."Mau masak apa Mbak Aira?" Bu Agus yang sedari tadi memperhatikan Aira yang sibuk memilih-milih sayuran pun, ikut bertanya."Ini Buk, si Vian minta dimasakin semur daging," balas Aira ramah."Mbak Aira tuh, memang jago kalau masak. Aku terkadang mau tanya resep masakannya, tapi malu," timpal tetangganya yang masih mudah."Kenapa malu, gak pa pa. Saya malah senang bisa berbagi ilmu," ujar Aira ramah."Dagingnya mau berapa kilo, Mbak Aira?" tanya Bang Ujo."Setengah kilo saja, Bang. Tambahin tulang mudan
Sampai di rumah, mata ini tak dapat terpejam hingga larut malam. Bayangan Yanti terus saja menghantui. Rasanya masih tidak percaya saja, jika dia bisa berbuat sekeji itu.Jika mendengar dari Mama atau Bu Kumala, pasti aku juga tidak bakalan percaya. Tetapi, ini aku dengar sendiri dari rekaman yang diperdengarkan Om Alif. Pantas saja, sikap Mbak Us begitu ketus ketika kami tadi datang berkunjung ke rumah tersebut.Kubuka aplikasi hijau, kucari nama Yanti di sana. Terlihat on, padahal sudah pukul dua belas malam. Apalagi yang akan direncanakan oleh gadis edan itu?Segera kuganti namanya di kontakku dengan Nini Lampir. Sesudah mengetik itu, kulempar ponselku asal. Ada sedikit rasa lega, karena aku sudah tahu perihal yang sebenarnya.Bangkit dari rebahan, kuambil sarung dan peci. Lalu segera membersihkan diri untuk bersuci. Kugelar sajadahku, lalu memohon pada Sang Pencipta. Agar mendapatakan petunjuk dariNya.~~~~~Pagi masih begitu dingin, kulihat Mama sudah sibuk di dapur. Bau harum ma