Bab 6
Mas Yoga sama sekali tak bisa menyembunyikan kegugupannya padaku. Aku menyodorkan air putih ke hadapannya."Cuma air putih?" matanya menatap tak suka."Ya, cuma ini yang ada. Oh ya, gimana dengan pertanyaanku tadi, Mas?"Mas Yoga mendelik tak suka melihatku. Ih dia pikir aku takut sana sorot matanya yang sengaja ia pelototi?"Suami baru pulang bukannya disuguhkan dengan makanan atau minuman yang layak. Malah ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh. Pertanyaan nggak penting. Dari pada banyak tanya, mending kamu hidangkan makan atau minum seger gitu kan. Bukan cuma air putih tok." timpal Mas Yoga. Terlihat sekali jika ia sedang menghindari pertanyaanku tadi."Habis mau menyuguhi Mas dengan makanan atau minuman enak, di rumah ini nggak punya keduanya. Jadi tidak ada yang bisa kusuguhkan untuk menyambut kepulangan Mas." jawabku."Ucapanmu cuma buat kepalaku semakin pusing. Punya istri seperti gak punya istri."Mas Yoga beranjak melepas kemejanya, lalu meletakkan kemeja itu begitu saja di atas sofa. Lagi-lagi aku membiarkan tindakan Mas Yoga tanpa ngomel-ngomel seperti biasanya.Untuk sejenak, aku mengurungkan pertanyaan-pertanyaan di otak yang dari tadi menuntut jawaban.Kulihat Mas Yoga melangkah ke dapur. Aku beranjak ke depan."Lia! Kamu nggak masak juga?" Mas Yoga berteriak dari dapur. Teriakannya bahkan terdengar oleh telingaku yang sedang berada di halaman depan. Berisik. Apa dia tidak malu didengar sama tetangga?"Aku lapar, Lia! Cepet siapin makanan! Masa iya setiap hari aku harus beli makan di resto?" Mas Yoga menyusulku ke depan."Oh, Mas menyuruhku untuk masakin makan siang?""Segitu aja masih nanya." balasnya."Mas, persediaan bahan-bahan di dapur udah habis. Kamu nggak kasih uang, kan? Jadi aku nggak bisa masakin kamu." aku menjawab."Pakai uangmu dulu kenapa?" tandasnya."Lho, lho! Kok pakai uangku sih? Bukannya Mas sendiri yang bilang kalau kerjaanku nggak bisa menghasilkan uang gede kayak gaji Mas setiap bulan?" balasku.Mas Yoga melotot."Ya elah, kalau sekedar untuk membeli bahan makanan, kan enggak terlalu menguras kantong, Lia!"Ih enak saja dia berkata seperti itu."Nah, justru karena itu Mas, kan menurut Mas beli bahan dapur enggak menguras kantong, jadi pakai aja uang Mas sendiri. Uang Mas kan banyak. Lagian kemarin Mas habis gajian kan?"Mas Yoga terdiam."Uang gajiku tinggal dikit. Jadi aku udah nggak bisa berboros-boros lagi." Jawabnya."Ooh ... karena gaji Mas tinggal sedikit, jadi Mas ingin mengandalkan uangku gitu? Enak bener!" cerocosku."Lagian masa gajian baru kemarin, hari ini udah hampir habis. Mas beliin apa aja emangnya? Sampai-sampai beli buat makan sendiri aja nggak bisa." lanjutku."Nggak usah terlalu pandai bicara kamu! Uangku kepake buat menutupi kebutuhan ibu sama Melisa.""Hmm..." aku berdehem."Uang Mas habis dipake untuk mencukupi kebutuhan ibu sama Melisa, sedangkan kebutuhan Chika nggak di peduliin. Habis gitu minta makannya sama aku. Aduh kayaknya enggak banget deh Mas. Maaf ya." Aku berkata seraya mengibaskan rambut. Sengaja aku buat Mas Yoga semakin kesal."Astaga, Lia! Kamu berkata kasar begini hanya karena aku kasih uang ke Ibu sama adikku? Kamu kenapa sih selalu saja terlihat memusuhi mereka? Padahal kan mereka nggak berbuat salah. Nggak pernah juga jahatin kamu. Aku kasih mereka uang karena mereka adalah tanggung jawabku. Sama sekali aku tak bisa mengabaikan mereka. Sebab mereka hanya punya aku."Aku memutarkan bola mata. Bersikap cuek."Oalah Mas, Mas. Lalu menurut Mas, aku sama Chika ini sebenarnya tanggung jawab siapa?"Mas Yoga tampak semakin geram."Lho, salah siapa juga? Bukannya kamu sendiri yang kemarin menolak uang dua ratus ribu dariku? Seharusnya itu sudah cukup untuk semingguan ini." balasnya."Mas, uang dua ratus ribu kau tuntut cukup untuk seminggu? Terus kredit motor kamu sama kredit motor Melissa semua aku yang tanggung? Ya ampuuun, lebih baik kau atur ajah sendiri uangmu, Mas! Aku juga males ngatur duit kamu. Seperti selama ini, udah capek atur ini itu, nutupin ini itu, eh di hargai juga nggak. Uangmu bahkan mengalir ke kantong ibu dan adikmu. Sedangkan aku pontang-panting buat nutupin kebutuhan. Mulai saat ini aku nggak akan mau nutupin semua itu, Mas."Mas Yoga makin keingungan dengan sikapku. Maklum, sebelumnya aku tidak pernah bersikap seperti ini. Mungkin saja dia kaget. Tapi tak apa, apabila perlu biarkan saja dia lebih terkaget-kaget."Menolong orang tua dan saudara itu udah jadi kewajibanku, Lia!""Ya, memang. Tapi tak seharuskan mengabaikan tanggung jawab yang lain. Apalagi lagi anak." ujarku"Soal ibuku, kau tak perlu ikut campur, Lia. Dia ibuku, aku kasih beliau uang juga pake uangku sendiri. Itu sudah tuntutan balas budiku sama beliau." tandas Mas Yoga."Jadi orang tua juga nggak semestinya selalu menuntut lebih. Kayak bikin anak cuma buat investasi di hari tua ajah. Padahal aku juga punya orang tua. Tapi orang tuaku nggak pernah minta ini itu, apalagi menuntut."Aku tahu, Mas Yoga pasti sedikit banyak merasa tak enak dengan ucapanku. Tapi apa boleh buat, orang seperti mereka sesekali memang harus di kasari. Kalau di lembut-lembutkan mah mereka tidak bakalan mengerti."Kamu anak hanya anak perempuan, Lia! Anak perempuan emang nggak ada kewajiban untuk memenuhi kebutuhan orang tua. Sedang aku, aku ini laki-laki! Mau sampe kemanapun, ibu tetaplah berada di pundakku! Kamu nggak akan tahu bagaimana besar pengorbanan ibu membesarkan aku. Aku tak mungkin bisa mengabaikan jasa ibu, apalagi cuma demi menuruti istri macam kamu!""Hey, kamu pikir hanya orang tuamu saja yang bersusah payah berjuang demi anak? Apa bedanya dengan orang tuaku? Mas, aku kasih tahu kamu ya! Baik anak laki-laki maupun anak perempuan, orang tua sama-sama berjasa, sama-sama berjuang untuk anak-anak mereka."Mas Yoga terdiam sesaat. Mungkin saja kali ini ia agak susah mematahkan argumenku.Berdebat siapa takut."Lia! Aku tahu, kamu mengungkit-ungkit dan berperilaku seperti ini hanya karena kau menutupi kredit motor Melissa yang tidak seberapa itu kan? Cuma kredit motor Melisa kan yang kamu bayarin? Itu aja pakai uangku yang kuserahkan sama kamu."Aneh, ucapannya malah berbelok ke topik kredit motor. Melenceng dari pembahasan. Huuh ...! Tapi baiklah, akan kuladeni!"Uangmu darimananya? Kamu serahkan sama aku cuma dua juta. Bayaran kredit kalian berapa? Kamu tahu nggak, di kota besar seperti ini uangmu yang tersisa dari bayar kredit motor kalian itu cuma cukup buat beli popok bayi doang." aku berkata ketus."Lia! Kau nggak menghargai kerja kerasku selama ini? Baru ajah bayar segitu, udah jadi bahan omongan. Kau yang nggak mau introspeksi diri. Kamunya ajah yang nggak pinter memenej keuangan. Makanya jadi istri itu jangan bodoh. Di kasih uang habis nggak menentu. Udah uangnya habis, malah nyalah-nyalahin ibu sama adikku. Salah apa mereka sama kamu? Kenapa sih kamu nggak bisa belajar sedikit saja buat menghargai mertua sama ipar?" tutur Mas Yoga.Pintar sekali dia bicara, memutar balikkan fakta dan mencari pembelaan."Siapa bilang aku nggak bisa menghargai seseorang? Itu bukan hal susah, asalkan mereka juga bisa menghargai kita."Mas Yoga menatapku tajam."Jaga mulutmu, Lia! Selama ini ibu dan adikku telah bersikap cukup baik sama kamu! Kau saja yang tidak bisa mengambil hati mereka. Apa kau ingin mereka bersujud di kakimu agar kamu bisa sedikit bersikap lebih baik? Haa? Tidak, Lia! Mereka tidak akan tunduk di kakimu! Begitu juga aku! Aku tidak akan tunduk sama kamu." emosi Mas Yoga semakin menggebu."Aku tidak pernah menuntut kalian untuk bersujud!" balasku."Aku bilang diam ...!" bentak Mas Yoga. Beruntung Chika tengah tidur, jadi ia tidak terganggu dengan teriakan kasar papanya."Kamu ingin aku selalu diam? Sedangkan kamu sendiri berteriak." aku balas menatapnya tajam."Keterlaluan kamu. Rupanya kamu ingin merasakan ini."Mas Yoga mengangkat tangan. Aku segera sadar akan keadaan yang sepertinya semakin memburuk. Mas Yoga benar-benar akan berlaku kasar. Ini tidak biasa kubiarkan. Aku segera tanggap.Haph!Secepat kilat aku menangkap tangannya yang hampir saja mendarat di pipiku. Karena tindakanku tersebut, tangan Mas Yoga tertekuk keras.Mas Yoga tertegun. Ia spontan mengaduhKulihat ia masih saja meringis menahan sakit. Lumayan untuk mengajarinya agar tak sembarang main kasar.Ini baru sedikit, Mas!To be continued"Eh maaf, Mas. Aku nggak sengaja. Hmm ... Sakit ya?" tanyaku sedikit tertawa. Tak urung pertanyaanku semakin membuat Mas Yoga kesal minta ampun. "Andai saja aku nggak ngehargain kamu sebagai perempuan, pasti sudah kupatahkan tanganmu!" ucapnya geram. Aku nyengir kuda. Jujur sedikit kenapa? Ini bukan masalah dia bisa menghargaiku sebagai wanita, tapi bilang saja kalau tadi serangannya memang gagal. "Silahkan patahkan tanganku kalo kamu ngerasa mampu! Berani kamu nyakitin aku, maka kayaknya kenyataan akan berbalik, Mas. Tangan kamu yang akan kubuat tak berfungsi lagi." aku menjawab ketus "Kamu berani nantangin aku, Lia? Luar biasa! Rupanya udah nggak ada lagi rasa hormatmu terhadap suamimu ini. Istri gak punya perasaan. Kalo tahu akan kayak gini, rugi dulu aku nikahin kamu!""Hey, kalo kamu ngerasa rugi nikahin aku, terus ngapain kamu masih pertahanin pernikahan kita? Haa?" aku menatap kedua mata Mas Yoga.Mas Y
"Lia! Kamu kenapa sih? Belakangan ini sikapmu berubah drastis amat? Sama aku maupun ibu, kamu nggak ada hormat-hormatnya lagi. Perasaan aku nggak pernah buat salah apa-apa deh sama kamu. Sampe masakin aku sedikitpun ajah kamu nggak mau." Mas Yoga bertanya jutek. Bertanya, tapi tetap merasa tak bersalah. Apa gunanya? Apa dia tidak merasa salah tidak memberi uang tapi tetap ingin minta makan? Apa dia pikir makanan dan minuman akan jatuh sendiri dari langit, terus tinggal di pungut gitu. Mimpi kali ya."Lihat itu! Kemeja yang kupake tadi pun masih terletak di sofa. Kayaknya emang nggak ada niatmu untuk masukin kemeja kotorku ke mesin cuci ataupun buat sekedar menaruhnya ke keranjang baju kotor. Berbakti dikit sama suami apa salahnya, Lia? Apa kamu nggak mau cari ridho suami? Apa kamu nggak mau masuk surga sebab taat sama suami dan mertua?" Ya ampuuun... Aku rasanya dibuat ingin tertawa sama kata-kata Mas Yoga. Cari ridho suami katanya?
"Kamu kok lemes banget, Nak? Aduh, kok ibu jadi khawatir ya sama kamu. Atau jangan-nangan kamu belum di kasih makan ya sama istrimu? Pucat amat muka kamu, Nak. Apa kamu nggak di urusin sama Lia? Kok masih pake kaos oblong yang tadi? " Bu Lasmi yang baru saja tiba terlihat peduli. Padahal wanita itu baru saja datang beberapa menit yang lalu. Datang-datang bicaranya nyerocos begitu. Matanya menatapku yang baru saja selesai memandikan Chika."Iya, Bu. Lia nggak masak apa-apa. Perutku udah laper begini. Segelas kopi ajah nggak ada sama sekali. Udah nasib saya kali, Bu. Dapet istri yang gak mau urusin aku." jawab Mas Yoga lemah. Nadanya memelas bak minta di kasihani. Seperti orang yang sabar, namun bertujuan untuk merendahkan aku. Manjanya pria itu. "Kalau begini biar ibu ajah yang urus kamu, Nak. Dia pikir nggak ada yang mau urusin kamu. Dia pikir kamu hanya hidup sebatang kara. Huuh... Lia!" kali ini tatapan Bu Lasmi beralih padaku.
Mas Yoga terlihat salah tingkah melihat kedatangan wanita yang datang bersama ibunya. Jelas sekali kalau tingkah mereka mengundang curigaku. "Kenapa kamu nampak bengong, Lia? Apa kamu merasa heran sama wanita cantik yang kubawa kemari ini? Kamu kagum sama kecantikannya? Iya?" celetuk Bu Lasmi."Astaga, Bu! Baru datang udah teriak-teriak. Siapa juga yang kagum. Cukup ibu sendiri aja yang kagum aku mah nggak." Cepat-cepat Mas Yoga perlahan-lahan bangkit dari pembaringan, dan berjalan tertatih-tatih. So itu adalah salah satu bentuk dramanya. Barusan aku lihat dia tak terlalu kesusahan dalam berjalan. Eh ketika ibunya datang malah nampak terseok-seok. Terlalu berlebihan. "Hati-hati, Nak! Kalo belum bisa jangan terlalu dipaksakan." Bu Lasmi memapah Yoga kembali ke atas ranjang. "Ibu udah ajak Riana kemari. Dia yang akan urusin kamu." Bu Lasmi berkata bangga seraya menatapku. Seolah ucapannnya adalah sebuah cibiran
"Apa yang kamu lakuin, Lia? kamu suruh Riana buat cuci baju kamu? Apa aku nggak salah denger?" Bu Lasmi melotot. "Nggak, ibu nggak salah dengar. Ibu belum tuli kan? Aku memang nyuruh Riana buat cuciin bajuku. Kenapa emangnya? Apa ada yang salah sama ucapanku?" aku menatapnya.. "Ck... Ck... Ck! Berani sekali kamu main suruh-suruh ajah sama Riana. Kamu pikir kamu bos apa?" mertuaku ikut nyeletuk pembicaraan kami. "Jelas dong. Aku kan tuan rumah." jawabku. Karena sikap buruk yang selalu Bu Lasmi tunjukan padaku, membuat rasa seganku seakan menghilang seluruhnya untuk beliau *** "Kak Yoga, Kakak udah baikan?" Melisa yang baru saja datang menghampiri Yoga di pembaringan. "Ya, sudah lumayan." jawab Yoga. "Hmm... Kakak cepet banget baikannya. Pasti karena di sini ada Mbak Riana. Iya kan? Hehe ...." Melisa tertawa ringan. "Ih, tahu ajah kamu." timpal Yoga.
Lia memutar haluan sepeda motornya. Ia baru saja pulang dari melihat-lihat ruko yang baru saja ia beli. Ya Ini adalah sebuah lembaran baru baginya. Ia tak perduli lagi dengan urusan rumah beserta semua penghuninya yang tidak menghargai keberadaan Lia sendiri. Oleh karena itu Lia berinisiatif untuk mengembangkan usahanya dengan sebaik-baiknya, ketimbang fokus mengurus rumah.. Ia sudah memperkirakan berapa dana yang akan ia gunakan untuk memoles kembali toko tersebut agar terlihat lebih bisa menarik pelanggan. Jadi Lia berencana untuk mengurus usaha online yang ia kelola dari toko tersebut. Namun, baru saja ia memutar haluan sepeda motor ke arah pekarangan rumah dua orang, Riana dan Bu Melisa, tengah menunggunya berkacak pinggang di teras. "Dari mana saja kamu Lia! Enak saja kamu asik jalan-jalan bersama lelaki lain, sedangkan suamimu sendiri kau biarkan tergeletak sakit di rumah!" serta-merta Bu Lasmi mengumpat dengan suara keras sepe
Kutatap kedua mata anakku yang tengah terlelap. Ada letih pada kedua mata mungil menggemaskan tersebut. Terkadang aku kasihan sama putri kecil semata wayangku ini. Apalagi beberapa hari ini rumah tanggaku sama Mas Yogabisa dibilang tak pernah tenang. Pertengkaran terus saja terjadi, tukang kompornya tidak lain dan tidak bukan, mertua dan ipar sendiri. Bikin miris.Aku mulai memikirkan nasib mental anakku kedepannya. Aku sadar jika terus menerus berada dalam kondisi lingkungan keluarga yang tidak mendidik, maka itu bisa berdampak buruk pada mental anak ini. Tentu saja aku tidak ingin jika sampai mental putriku terganggu karena kondisi rumah tangga yang tidak lagi stabil dan selalu digandrungi oleh pertengkaran demi pertengkaran. Setidaknya aku harus mencari solusi terbaik buat Chika. Terlebih lagi di rumah ini sekarang selalu dihadiri oleh Bu Lasmi dan Melisa yang sungguh tidak menunjukkan kasih sayang pada Chika. Sekalipun Ch
"Melisa, kamu apa-apaan sih? Lain yang kamu bicarakan sama kami dan lain pula yang kamu kamu akuin sama Lia. Kan nggak enak tuh sama Yoga. Harusnya tadi itu kamu bisa tegaskan kalau kamu beneran liat kalo Lia lagi sama laki-laki lain. Ini kok malah kayak ngedit-ngedit berita ajah kamunya." Bu Lasmi menggerutu. "Ibu nggak tahu aja. Tadi itu Mbak Lia kirim pesan sama aku. Dia ngotot untuk minta bukti sama aku .Katanya dia bakalan nuntut aku dan laporin aku ke polisi kalau aku enggak punya bukti. Sebab kalo tanpa bukti, jatuhnya ucapanku sama kek fitnah. Mau gimana lagi dong Bu, aku nggak punya bukti yang ia mau." jawab Melisa bersungut-sungut. "Ish! Kamu itu ya, beneran pikirannya kurang panjang. Kamu mikir enggak kalau buat bukti itu kita bisa ngedit gambar. Toh dimana-mana banyak jasa editing foto. Bayarnya juga enggak terlalu mahal." ujar Bu Lasmi amat menyayangkan. "Bu, Maaf. Kemarin itu aku nggak sempet mikir ke arah sana. Habisn
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter