Bab 5
Keesokan harinya, ketika hari masih begitu pagi, kulihat sebuah status dari kontak Melisa.[Emang enak ya, punya kakak seorang pejabat gede. Jadi kalo pengen apa-apa ya tinggal bilang. Thanks kakak tersayang.] status itu di iringi oleh Melisa yang pamer tas dan high hills baru. Kutaksir harganya tak terlalu mahal, tapi memang cukup menguras kantong untuk ukuran masyarakat kelas menengah.Aku cuma melengos. Baru segitu ajah noraknya minta ampun. Terlihat benar mereka seperti lagak orang kaya baru. Apa-apa di upload. Oh ya, aku baru ingat, kemarin kan Mas Yoga habis gajian. Pantasan.Baru saja aku meletakkan ponsel, sebuah pesan dari Melisa muncul di layar ponselku.[Mbak, tolong masakin kami kari ayam dong! Katanya ibu lagi selera sama tuh lauk. Sebentar lagi kami otewe ke rumah Kak Yoga. Jangan lupa ya, Mbak. Nih perut udah laper. Mau masak sendiri udah nggak sempet.]Huuh... Enak saja menyuruhku memasak buat mereka. Kalau seumpama lapar, kenapa juga tidak masak sendiri.[Maaf, nggak bisa, Mel. Aku lagi nggak ada uang buat beli bahan kari ayam] balasku cepat.Sebentar kemudian, kembali gadis itu membalas.[Ah masa? Nggak punya duit apanya? Kemarin kan Kak Yoga gajian.] balasnya.[Kalo gitu minta beliin ajah sama Mas Yoga. Yang gajian kan dia, bukan aku] balasku kembali.Biasanya aku memang masak banyak ketika mereka akan berkunjung ke rumah. Tapi kali ini rasanya ogah. Kuabaikan saja pesan-pesan Melisa setelahnya. Malas meladenin dia.Boro-noro ingin memikirkan urusan perut mereka, aku saja belum sarapan. Lebih baik aku mengutamakan anakku terlebih dahulu daripada mereka. Aku mengajak Chika, putri semata wayangku ke restoran yang tak terlalu jauh dari rumah.Kubeli dua porsi nasi goreng spesial dan dua potong ayam krispi. Cukuplah untuk sarapanku dan Chika. Kan gampang.Soal sarapan buat Melisa dan mertua, toh mereka bisa beli sendiri. Kan Mas Yoga sudah memberi jatah untuk mereka.Baru saja sepeda motorku kembali memasuki area rumah. Dua orang telah menanti di teras depan. Dua orang yang tidak asing."Ini dia udah dateng, Mel." mertuaku nampak semangat."Mbak udah masak kari ayam permintaan ibu?" tanya Melisa tanpa berbasa-basi."Belum.""Apa? Ck... Ck... Ck...! Yang bener ajah?" Melisa berdecak."Ya bener, belum! Masa bohong." jawabku."Jadi? Astaga, disuruh masak malah ngeluyur. Emangnya kamu darimana pagi-pagi udah ngeloyor?" tanya mertua."Dari restoran." jawabku pendek."Ngapain?""Beli nasi goreng buat sarapan." balasku."Ooh, syukurlah kalau begitu. Ayo, Mel kita masuk! Mbakmu sudah membeli sarapan buat kita!" Bu Lasmi menggaet tangan Melisa.Aneh, siapa juga yang membeli sarapan untuk mereka. Pede amat jadi orang mah. Muka mertua yang tadi berkerut marah, sekarang terlihat lebih terang.Kubiarkan saja keduanya tertawa cekikikan. Lalu dengan tanpa rasa bersalah, keduanya duduk menghadap ke meja makan.Aku membuka bingkisan yang kubawa. Mengambil dua piring dan dua gelas. Dua gelas kuisi air putih lalu kuletakkan ke atas meja kembali."Nah gitu kan bagus. Mertua sama ipar dilayanin. Meski tak jadi makan kari, tapi ya sudahlah. Tak apa-apa. Nasi goreng pun lumayan. Kalau kamu bisa terus melayani mertua kayak gini, makan mertua di ambilin, di layanin, aku bisa ajah sedikit bangga sama kamu. Meski bukan pegawai kantor, tapi pelayanan seperti ini sama mertua bisa di bilang bagus." celoteh Bu Lasmi.Masih tak kuhiraukan mereka. Emang mereka pikir aku sedang menyiapkan menu makan buat mereka? Oh tidak.Aku meletakkan seporsi nasi goreng di hadapan anakku dan satunya lagi untukku sendiri. Kulihat Bu Lasmi agak heran. Peduli amat. Aku memang sengaja ingin melihatnya terkejut."Mana bagianku sama Melisa?""Nggak ada, Bu. Tadi aku cuma beli dua porsi ajah. Buatku sama Chika." jawabku singkat."Lho, lho! Kok gitu?" ia semakin kaget."Ya begitulah!" Aku menyuapkan nasi ke mulut dengan santainya."Makan yang banyak ya, Nak!" ucapku sama Chika. Chika mengangguk. Anak itu memang sudah kuajarkan untuk makan sendiri. Meski terkadang aku harus kerepotan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan. Jiwa mandiri memang harus ditanamka sejak dini."Jadi nasi goreng itu bukan buat kami? Kamu cuma beli buatmu dan anakmu ajah gitu?" Melisa menganga."Tentu saja!" jawabku."Aduh! Nggak bisa kayak gini, Mbak! Aku lapar, beliin kita juga dong. Ini hari udah keburu siang." Melisa nampak tak sabar."Cepet belikan dua porsi lagi! Yang spesial nasgornya! Masa jatah buat mertua sama ipar nggak dibeliin." lanjut gadis remaja tersebut."Salah siapa nggak nyiapin sarapan sendiri. Kalau mau beli, ya beliin sendiri lah. Kan kalian udah di kasih jatah sama Mas Yoga. Masa masih nggak malu minta jatah makan kemari." aku berucap ketus."Astaga! Jauh-jauh kami kemari mau sarapan, tapi ternyata nggak disiapin sedikitpun. Aku tak percaya kalau ada menantu yang sebegini tega sama keluarga suami. Padahal, suamimu itu adalah putraku. Aku yang telah berjasa membesarkan dan membiyayai hidupnya. Oleh karena itu seharusnya kamu tahu bagaimana cara membalas budi!" lagi-lagi Bu Lasmi mengungkit.Sudah bosan rasanya aku sudah mendengar kata-kata kebanggaan mereka terhadap Mas Yoga. Sedikit-sedikit pasti mengarahkan pembicaraan ke arah sana. Seperti tidak ada topik lain saja."Bu, memang ibu yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan Mas Yoga. Itu yang selalu ibu katakan. Oleh karena itu minta ajah semua balas budi yang ibu harapkan itu sama Mas Yoga. Nggak usah minta timbal balik sama aku. Yang Ibu lahirin dan besarin itu kan Mas Yoga, bukan aku." tanggapku."Apa? Kamu berani menjawab ibuku?" Melisa ikut nimbrung."Ya, siapa dulu yang mencercaku." balasku."Jangan keterlaluan kamu, Mbak! Mertua sama ipar dateng malah di giniin. Tidak berterimamasih kamu sama kakakku, ya!" cerca Melisa."Menurutmu apa hal yang mengharuskan aku untuk berterimakasih sama Yoga?""Hey kamu! Bener-bener nggak nyadar. Mulutmu itu bisa makan dari mana kalau bukan dari duit kakakku?" Melisa menunjuk mukaku."Kamu salah, Mel. Justru Kakakmu itu yang selama ini numpang makan sama aku.""Ha.. Ha.. Emang Mbak dapet duit dari mana?" Melisa tertawa seolah ada yang lucu."Kerja lah. Masa ngganggur. Inget ya, kalau mau punya duit sendiri, itu kita harus kerja! Bukan cuma minta ajah bisanya." jawabku."Mbak menyindirku?" mata Melisa melotot."Kalau kamu merasa kesindir ya udah. Berarti ucapanku emas bener.""Lia! Tutup mulutmu! Jangan macem-macem sama putriku! Dia ini adalah adiknya Yoga. Darah daging Yoga. Ikatan di antara mereka jauh lebih erat di banding ikatan Yoga sama kamu!" Bu Lasmi berkata kasar."Ya, Bu! Aku tahu betul jika Melisa adalah adik kandungnya Yoga, saudara sedarah dan satu rahim. Dan ikatan di antara aku dan Melisa terhadap Yoga emang sudah tentu beda dong. Aku sebagai istri, dan Melisa sebagai adik." jawabku"Jelas! Tapi ikatan untuk seorang adik, saudara sedarah daging itu lebih kuat daripada ikatanmu sebagai istri. Kamu nggak akan pernah bisa nyamain posisimu sama Melisa di hati Yoga." balas mertua."Hmm... Emang Melisa mau di samain kedudukannya sama aku? Ngelonin Yoga tidur, cuciin pakaian sama mengurus kebutuhan Yoga? Kalo mau ya monggo ajah. Aku nggak melarang, kok!""Astaga ya Tuhaaan... Ayo Nak! Kita pergi dari hadapan perempuan sampah ini. Nanti biar ibu bicarakan sama Yoga. Kalau Yoga tahu bagaimana perlakuan Lia sama kita, pasti Yoga akan mengusir perempuan kotor ini dari sini! Biar dia jadi gelandangan!" Bu Lasmi tampak emosi."Bener, Bu. Kita aduin ajah sama Mas Yoga. Biar lekas diusir!"Aduh! Mereka pikir uang siapa yang melekat di rumah ini sehingga mereka kira Yoga akan bisa bebas mengusirku?Tidak akan semudah itu, Bu Lasmi!***kudengar sepeda motor Mas Yoga berhenti di depan rumah. Aku membukakan pintu. Tidak seperti kemarin kemarin. Hari ini aku berusaha untuk belum menunjukkan kemarahanku padanya.Mas Yoga nampak heran dengan perubahan sikapku. Biasanya, jika ia terlambat pulang, maka aku akan bersikap jutek. Kali ini tidak."Baru pulang, Mas?" tanyaku."Ya." jawabnya pendek."Hmm ... Kenapa semalem gak pulang?" aku bertanya kembali.Sejenak kulihat Mas Yoga berpikir. Mungkin sedang mencari-cari alasan kali. Seperti lirik lagu Sultan di era 90-an. Hehe.Kubiarkan dulu dia berpikir. Kali ini aku ingin lihat, dia akan jujur atau tidak. Terlebih lagi soal wanita yang kemarin tengah bersamanya.Awas saja kau, Mas! Berani bohong, maka harus berani tanggung resiko!To be continuedBab 6Mas Yoga sama sekali tak bisa menyembunyikan kegugupannya padaku. Aku menyodorkan air putih ke hadapannya."Cuma air putih?" matanya menatap tak suka."Ya, cuma ini yang ada. Oh ya, gimana dengan pertanyaanku tadi, Mas?"Mas Yoga mendelik tak suka melihatku. Ih dia pikir aku takut sana sorot matanya yang sengaja ia pelototi? "Suami baru pulang bukannya disuguhkan dengan makanan atau minuman yang layak. Malah ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh. Pertanyaan nggak penting. Dari pada banyak tanya, mending kamu hidangkan makan atau minum seger gitu kan. Bukan cuma air putih tok." timpal Mas Yoga. Terlihat sekali jika ia sedang menghindari pertanyaanku tadi. "Habis mau menyuguhi Mas dengan makanan atau minuman enak, di rumah ini nggak punya keduanya. Jadi tidak ada yang bisa kusuguhkan untuk menyambut kepulangan Mas." jawabku."Ucapanmu cuma buat kepalaku semakin pusing. Punya istri seperti gak punya istri
"Eh maaf, Mas. Aku nggak sengaja. Hmm ... Sakit ya?" tanyaku sedikit tertawa. Tak urung pertanyaanku semakin membuat Mas Yoga kesal minta ampun. "Andai saja aku nggak ngehargain kamu sebagai perempuan, pasti sudah kupatahkan tanganmu!" ucapnya geram. Aku nyengir kuda. Jujur sedikit kenapa? Ini bukan masalah dia bisa menghargaiku sebagai wanita, tapi bilang saja kalau tadi serangannya memang gagal. "Silahkan patahkan tanganku kalo kamu ngerasa mampu! Berani kamu nyakitin aku, maka kayaknya kenyataan akan berbalik, Mas. Tangan kamu yang akan kubuat tak berfungsi lagi." aku menjawab ketus "Kamu berani nantangin aku, Lia? Luar biasa! Rupanya udah nggak ada lagi rasa hormatmu terhadap suamimu ini. Istri gak punya perasaan. Kalo tahu akan kayak gini, rugi dulu aku nikahin kamu!""Hey, kalo kamu ngerasa rugi nikahin aku, terus ngapain kamu masih pertahanin pernikahan kita? Haa?" aku menatap kedua mata Mas Yoga.Mas Y
"Lia! Kamu kenapa sih? Belakangan ini sikapmu berubah drastis amat? Sama aku maupun ibu, kamu nggak ada hormat-hormatnya lagi. Perasaan aku nggak pernah buat salah apa-apa deh sama kamu. Sampe masakin aku sedikitpun ajah kamu nggak mau." Mas Yoga bertanya jutek. Bertanya, tapi tetap merasa tak bersalah. Apa gunanya? Apa dia tidak merasa salah tidak memberi uang tapi tetap ingin minta makan? Apa dia pikir makanan dan minuman akan jatuh sendiri dari langit, terus tinggal di pungut gitu. Mimpi kali ya."Lihat itu! Kemeja yang kupake tadi pun masih terletak di sofa. Kayaknya emang nggak ada niatmu untuk masukin kemeja kotorku ke mesin cuci ataupun buat sekedar menaruhnya ke keranjang baju kotor. Berbakti dikit sama suami apa salahnya, Lia? Apa kamu nggak mau cari ridho suami? Apa kamu nggak mau masuk surga sebab taat sama suami dan mertua?" Ya ampuuun... Aku rasanya dibuat ingin tertawa sama kata-kata Mas Yoga. Cari ridho suami katanya?
"Kamu kok lemes banget, Nak? Aduh, kok ibu jadi khawatir ya sama kamu. Atau jangan-nangan kamu belum di kasih makan ya sama istrimu? Pucat amat muka kamu, Nak. Apa kamu nggak di urusin sama Lia? Kok masih pake kaos oblong yang tadi? " Bu Lasmi yang baru saja tiba terlihat peduli. Padahal wanita itu baru saja datang beberapa menit yang lalu. Datang-datang bicaranya nyerocos begitu. Matanya menatapku yang baru saja selesai memandikan Chika."Iya, Bu. Lia nggak masak apa-apa. Perutku udah laper begini. Segelas kopi ajah nggak ada sama sekali. Udah nasib saya kali, Bu. Dapet istri yang gak mau urusin aku." jawab Mas Yoga lemah. Nadanya memelas bak minta di kasihani. Seperti orang yang sabar, namun bertujuan untuk merendahkan aku. Manjanya pria itu. "Kalau begini biar ibu ajah yang urus kamu, Nak. Dia pikir nggak ada yang mau urusin kamu. Dia pikir kamu hanya hidup sebatang kara. Huuh... Lia!" kali ini tatapan Bu Lasmi beralih padaku.
Mas Yoga terlihat salah tingkah melihat kedatangan wanita yang datang bersama ibunya. Jelas sekali kalau tingkah mereka mengundang curigaku. "Kenapa kamu nampak bengong, Lia? Apa kamu merasa heran sama wanita cantik yang kubawa kemari ini? Kamu kagum sama kecantikannya? Iya?" celetuk Bu Lasmi."Astaga, Bu! Baru datang udah teriak-teriak. Siapa juga yang kagum. Cukup ibu sendiri aja yang kagum aku mah nggak." Cepat-cepat Mas Yoga perlahan-lahan bangkit dari pembaringan, dan berjalan tertatih-tatih. So itu adalah salah satu bentuk dramanya. Barusan aku lihat dia tak terlalu kesusahan dalam berjalan. Eh ketika ibunya datang malah nampak terseok-seok. Terlalu berlebihan. "Hati-hati, Nak! Kalo belum bisa jangan terlalu dipaksakan." Bu Lasmi memapah Yoga kembali ke atas ranjang. "Ibu udah ajak Riana kemari. Dia yang akan urusin kamu." Bu Lasmi berkata bangga seraya menatapku. Seolah ucapannnya adalah sebuah cibiran
"Apa yang kamu lakuin, Lia? kamu suruh Riana buat cuci baju kamu? Apa aku nggak salah denger?" Bu Lasmi melotot. "Nggak, ibu nggak salah dengar. Ibu belum tuli kan? Aku memang nyuruh Riana buat cuciin bajuku. Kenapa emangnya? Apa ada yang salah sama ucapanku?" aku menatapnya.. "Ck... Ck... Ck! Berani sekali kamu main suruh-suruh ajah sama Riana. Kamu pikir kamu bos apa?" mertuaku ikut nyeletuk pembicaraan kami. "Jelas dong. Aku kan tuan rumah." jawabku. Karena sikap buruk yang selalu Bu Lasmi tunjukan padaku, membuat rasa seganku seakan menghilang seluruhnya untuk beliau *** "Kak Yoga, Kakak udah baikan?" Melisa yang baru saja datang menghampiri Yoga di pembaringan. "Ya, sudah lumayan." jawab Yoga. "Hmm... Kakak cepet banget baikannya. Pasti karena di sini ada Mbak Riana. Iya kan? Hehe ...." Melisa tertawa ringan. "Ih, tahu ajah kamu." timpal Yoga.
Lia memutar haluan sepeda motornya. Ia baru saja pulang dari melihat-lihat ruko yang baru saja ia beli. Ya Ini adalah sebuah lembaran baru baginya. Ia tak perduli lagi dengan urusan rumah beserta semua penghuninya yang tidak menghargai keberadaan Lia sendiri. Oleh karena itu Lia berinisiatif untuk mengembangkan usahanya dengan sebaik-baiknya, ketimbang fokus mengurus rumah.. Ia sudah memperkirakan berapa dana yang akan ia gunakan untuk memoles kembali toko tersebut agar terlihat lebih bisa menarik pelanggan. Jadi Lia berencana untuk mengurus usaha online yang ia kelola dari toko tersebut. Namun, baru saja ia memutar haluan sepeda motor ke arah pekarangan rumah dua orang, Riana dan Bu Melisa, tengah menunggunya berkacak pinggang di teras. "Dari mana saja kamu Lia! Enak saja kamu asik jalan-jalan bersama lelaki lain, sedangkan suamimu sendiri kau biarkan tergeletak sakit di rumah!" serta-merta Bu Lasmi mengumpat dengan suara keras sepe
Kutatap kedua mata anakku yang tengah terlelap. Ada letih pada kedua mata mungil menggemaskan tersebut. Terkadang aku kasihan sama putri kecil semata wayangku ini. Apalagi beberapa hari ini rumah tanggaku sama Mas Yogabisa dibilang tak pernah tenang. Pertengkaran terus saja terjadi, tukang kompornya tidak lain dan tidak bukan, mertua dan ipar sendiri. Bikin miris.Aku mulai memikirkan nasib mental anakku kedepannya. Aku sadar jika terus menerus berada dalam kondisi lingkungan keluarga yang tidak mendidik, maka itu bisa berdampak buruk pada mental anak ini. Tentu saja aku tidak ingin jika sampai mental putriku terganggu karena kondisi rumah tangga yang tidak lagi stabil dan selalu digandrungi oleh pertengkaran demi pertengkaran. Setidaknya aku harus mencari solusi terbaik buat Chika. Terlebih lagi di rumah ini sekarang selalu dihadiri oleh Bu Lasmi dan Melisa yang sungguh tidak menunjukkan kasih sayang pada Chika. Sekalipun Ch
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter