Bab 99. Sandra Bebas Dari penjara
POV Renata
“Selamat datang, Kak!” ucapku begitu melihat Kak Sandra keluar dari balik tembok tinggi. Seorang sipir penjara wanita mengantarnya sampai depan pintu besi nan tebal.
“Silahkan! Ingat semua pesan-pesan yang telah disampaikan padamu selamai ini! Jangan pernah kembali lagi ke sini! Kau ingat itu!” Begitu kalimat yang diucapkan oleh petugas bertubuh tinggi tegap itu.
Kak Sandra hanya mengangguk, sambil tersenyum tipis.
Pintu besi kembali tertutup, wanita itu menghilang di baliknya.
“Ayo!” Kak Sandra langsung melangkah cepat mendahuluiku, menuju becak yang telah menunggu.
Hening. Kak Sandra membisu sepanjang jalan, dan akupun segan untuk memulai percakapan. Becak mesin yang sengaja kusewa untuk menjemputnya, melaju dengan kecepa
Bab 100. Pekerjaan Apa di Kamar Hotel?Sebuah mobil mewah sudah menunggu kami di ujung gang. Pintunya langsung terbuka, begitu kami tiba di sampingnya. Tanpa ragu, Kak Sandra mendorong tubuhku masuk ke dalam. Lalu menghenyakkan tubuhnya di sampingku, yang semakin kebingungan.Pintu mobil langsung tertutup rapat. Pengemudi mobil menoleh ke belakang, menatapku dan kak Sandra bergantian.“Anggotanya Pak Herman?” tanya Kak Sandra kemudian.“Ya, saya anggotanya Pak Herman. Mbak Sandra?” jawabnya balik bertanya.“Ya, saya Sandra.”“Mbak yang ini, ya, Mbak?” tanya lelaki itu menatapku lekat.“Ya, Pak Hendra sudah ok, kok.”“Baik, ini depenya. Sisanya akan di transfer ke rekening Mbak Sandra!” Lelaki itu menyerahk
Bab 101. Darah Perawan di Seprei RanjangKutatap si pemilik suara. Lelaki itu terkekeh kecil, dengan gelas di tangannya. Gelas itu masih utuh.“Om, tidak minum? Katanya haus?” tanyaku penasaran.“Ya, Om sangat haus. Bahkan, rasanya sudah tak sabar, ingin segera menuntaskan dahaga ini,” jawabnya berjalan pelan, menuju nakas, lalu meletakkan gelas utuh itu, di sana.“Ma- maksud Om?” tanyaku bingung, lebih bingung lagi, karena kini kulihat Om Herman menjadi dua, ya, Om Herman ada dua. Tubuhnya berubah menjadi besar, berbayang, makin besar dan ….“Kenapa kepala saya sakit sekali, kepala saya berat,” lirihku memegangi kepala. Tatapan kini kian berkunang-kunang, kamar ini kulihat berputar. Lalu aku ambruk, jatuh di atas ranjang.“Ini pekerjaan yang saya ja
Bab 102. Kupinjam Nama Kak Embun Untuk Menjerat KorbankuPOV Renata=======Kutimang-timang ponsel hasil mengemisku. Jujur, bukan benda gepeng ini yang menjadi sasaran utamaku. Tujuanku adalah nomor-nomor yng ada di dalamnya. Khususnya nomor keluarga sang tua bangk*Kutatap nanar ranjang besar nan mewah itu. Tempat di mana aku telah melepas mahkotaku secara paksa. Begitu licik dan penuh rekayasa. Noda darah masih tampak masih segar membekas di sepre pembalut spring bed empuk. Kuelus dengan telunjuk. Impian seorang gadis lugu, akan memberikan tetesan darah ini kepada seorang pangeran yang datang meminang. Menjemput dengan kereta kuda. Membawaku ke istana cinta. Mereguk lautan madu asmara, diiringi senyum syahdu di malam pertama.Kini, impian sang gadis pupus sudah. Pangeran tampan tak pernah tiba. Peran sang pangeran telah digantikan oleh
Bab 103. Satu Foto Lima Ratus Juta“Bagimana? Ada perubahan di perutnya?” tanya Dokter itu semenit kemudian.“Iya, terasa lebih enakan,” jawabku asal.“Nah, berarti Mbak hanya terserang sakit mag biasa. Gak perlu khawatir! Sebelumnya gak pernah seperti ini rupanya?”“Enggak, Dok, makanya saya pikir salah makan. Atau lebih tepatnya diracun orang,” jawabku mulai merubah ekpresi wajah. Tak lagi kesakitan, kini tinggal meringis kecil.Dokter muda ini tertawa, menunjukkan barisan giginya yang putih bersih.“Mbak beneran sepupunya Bu Embun?” tanyanya sambil mengembalikan alat-alat ke dalam tas.“I-iya, Dok. Dokter enggak nelpon dia untuk memastikan?” jawabku balik bertanya.“Kebetulan saya dan Bu Embun sedang ada masalah se
Bab 104. Tiga, Empat Pria Dalam Satu Malam, Kamu Sanggup Enggak?“Lima ratus juta untuk satu foto?”“Kalau mau, kalau enggak juga enggak apa-apa. Aku matiin nih, telponnya!”“Renata-renata, tunggu! Kau bercanda, kan? Lima ratus juta kali sepuluh itu lima M, Sayang?”“Iya, itupun hanya berlaku untuk beberapa bulan saja.”“Apa maksudmu, Re?”“ Iya, kalau misal mood saya lagi enggak bagus, bisa aja saya sebarkan lagi.”“Jangan macam-macam! Renata! Aku juga bisa berbuat sesuatu padamu!”“Anda mengancam saya? Boleh! Saya udah hampir sampai, saya matikan, ya!”“Tunggu! Kau sepertinya mau main-main dengan saya!”“Terserah penilaian Anda Tuan Bajing
Bab 105. Dokter Tampan itu, Dokter Bukan, sih?Kulirik jam dinding di kamar. Setengah delapan pagi. Ternyata aku terlambat bangun, mungkin masih kelehan, setelah semua peristiwa yang kualami kemarin.Ponsel tetap menyala, sepertinya memang ada masalah genting. Masalah yang kutimbulkan, tentu saja. Ragu, kuberanikan diri menerima panggilan itu.“Hallo, Kak Embun, maaf, baru bangun,” ucapku begitu mengusap layar ponsel.“Oh, maaf mengganggu tidurmu, begini, kamu bisa menemui Kakak sekarang?” Suara lembut itu seperti besi panas yang menghujam gendang telinga. Ketakutan kian mencekik.“Kakak tunggu di rumah, segera, ya!”“Baik, Kak.”Tak berani menolak, segera berkemas, aku harus memenuhi perintahnya. Sepertinya masalah baru mulai menampakkan wujud
Bab 106. Pembunuh BayaranPintu gerbang pun terbuka lebar. Dokter Danu melajukan mobilnya memasuki halaman, dan memarkirkannya tepat di port car yang tersedia.“Renata! Ibuk udah nungguin kamu, tuh!” Bik Las Yang membuka pintu utama. Dia terlihat manis sekali sekarang. Eh, di lehernya menggelantung sebuah kalung cantik. Leher jenjangnya terlihat makin indah dengan kerlip permata kalung itu.“Dokter juga datang? Anak-anak sehat, kok,” ucapnya menyambut Dokter Danu yang menyusul di belakangku.“Udah janji dengan Bu Embun, Bik!” jawab Dokter Danu ramah.“Oh, masuklah kalau begitu!”Bersisian, aku dan Dokter Danu masuk menuju ruang tengah. Kak Embun menunggu kami di sana. Radit yang masih di dalam gendongannya, segera diambil alih oleh Rika, begitu kami muncul. Raya terlihat berlari men
Bab 107. Siapa Yang Yang Telah Menodai Mbak?Bayangan pemuda berwajah klimis yang mengikutiku tadi, melintas seketika. Diakah orangnya? Pemuda yang berpakaian rapi itu? Bukankah penampilannya sedikitpun tak menunjukkan kalau dia adalah seorang pencabut nyawa bayaran? Itukah alasannya mengikutiku sampai depan komplek perumahan elite ini? Jangan-jangan dia masih menungguku di depan. Ya, Tuhan, nyawaku benar-benar terancam. Papa, Mama, aku takut. Mas Ray! Lihat nasip adikmu ini, Mas!“Mbak? Anda kenal Papa saya?” tanya Dokter Danu mulai tak sabar. Tatapan penuh curiga serasa menguliti jiwa. Ketakutan semakin mendera. Aku harus mengakhirinya, terserah bagaimana tanggapan mereka nantinya.“Ok, aku akan jujur sekarang. Terserah kalian akan menilaiku seperti apa. Aku akan terima. Kak Embun, Dokter Danu, sesunggguhnya semua masalah ini berawal da