Bab 102. Kupinjam Nama Kak Embun Untuk Menjerat Korbanku
POV Renata
=======
Kutimang-timang ponsel hasil mengemisku. Jujur, bukan benda gepeng ini yang menjadi sasaran utamaku. Tujuanku adalah nomor-nomor yng ada di dalamnya. Khususnya nomor keluarga sang tua bangk*
Kutatap nanar ranjang besar nan mewah itu. Tempat di mana aku telah melepas mahkotaku secara paksa. Begitu licik dan penuh rekayasa. Noda darah masih tampak masih segar membekas di sepre pembalut spring bed empuk. Kuelus dengan telunjuk. Impian seorang gadis lugu, akan memberikan tetesan darah ini kepada seorang pangeran yang datang meminang. Menjemput dengan kereta kuda. Membawaku ke istana cinta. Mereguk lautan madu asmara, diiringi senyum syahdu di malam pertama.
Kini, impian sang gadis pupus sudah. Pangeran tampan tak pernah tiba. Peran sang pangeran telah digantikan oleh
Bab 103. Satu Foto Lima Ratus Juta“Bagimana? Ada perubahan di perutnya?” tanya Dokter itu semenit kemudian.“Iya, terasa lebih enakan,” jawabku asal.“Nah, berarti Mbak hanya terserang sakit mag biasa. Gak perlu khawatir! Sebelumnya gak pernah seperti ini rupanya?”“Enggak, Dok, makanya saya pikir salah makan. Atau lebih tepatnya diracun orang,” jawabku mulai merubah ekpresi wajah. Tak lagi kesakitan, kini tinggal meringis kecil.Dokter muda ini tertawa, menunjukkan barisan giginya yang putih bersih.“Mbak beneran sepupunya Bu Embun?” tanyanya sambil mengembalikan alat-alat ke dalam tas.“I-iya, Dok. Dokter enggak nelpon dia untuk memastikan?” jawabku balik bertanya.“Kebetulan saya dan Bu Embun sedang ada masalah se
Bab 104. Tiga, Empat Pria Dalam Satu Malam, Kamu Sanggup Enggak?“Lima ratus juta untuk satu foto?”“Kalau mau, kalau enggak juga enggak apa-apa. Aku matiin nih, telponnya!”“Renata-renata, tunggu! Kau bercanda, kan? Lima ratus juta kali sepuluh itu lima M, Sayang?”“Iya, itupun hanya berlaku untuk beberapa bulan saja.”“Apa maksudmu, Re?”“ Iya, kalau misal mood saya lagi enggak bagus, bisa aja saya sebarkan lagi.”“Jangan macam-macam! Renata! Aku juga bisa berbuat sesuatu padamu!”“Anda mengancam saya? Boleh! Saya udah hampir sampai, saya matikan, ya!”“Tunggu! Kau sepertinya mau main-main dengan saya!”“Terserah penilaian Anda Tuan Bajing
Bab 105. Dokter Tampan itu, Dokter Bukan, sih?Kulirik jam dinding di kamar. Setengah delapan pagi. Ternyata aku terlambat bangun, mungkin masih kelehan, setelah semua peristiwa yang kualami kemarin.Ponsel tetap menyala, sepertinya memang ada masalah genting. Masalah yang kutimbulkan, tentu saja. Ragu, kuberanikan diri menerima panggilan itu.“Hallo, Kak Embun, maaf, baru bangun,” ucapku begitu mengusap layar ponsel.“Oh, maaf mengganggu tidurmu, begini, kamu bisa menemui Kakak sekarang?” Suara lembut itu seperti besi panas yang menghujam gendang telinga. Ketakutan kian mencekik.“Kakak tunggu di rumah, segera, ya!”“Baik, Kak.”Tak berani menolak, segera berkemas, aku harus memenuhi perintahnya. Sepertinya masalah baru mulai menampakkan wujud
Bab 106. Pembunuh BayaranPintu gerbang pun terbuka lebar. Dokter Danu melajukan mobilnya memasuki halaman, dan memarkirkannya tepat di port car yang tersedia.“Renata! Ibuk udah nungguin kamu, tuh!” Bik Las Yang membuka pintu utama. Dia terlihat manis sekali sekarang. Eh, di lehernya menggelantung sebuah kalung cantik. Leher jenjangnya terlihat makin indah dengan kerlip permata kalung itu.“Dokter juga datang? Anak-anak sehat, kok,” ucapnya menyambut Dokter Danu yang menyusul di belakangku.“Udah janji dengan Bu Embun, Bik!” jawab Dokter Danu ramah.“Oh, masuklah kalau begitu!”Bersisian, aku dan Dokter Danu masuk menuju ruang tengah. Kak Embun menunggu kami di sana. Radit yang masih di dalam gendongannya, segera diambil alih oleh Rika, begitu kami muncul. Raya terlihat berlari men
Bab 107. Siapa Yang Yang Telah Menodai Mbak?Bayangan pemuda berwajah klimis yang mengikutiku tadi, melintas seketika. Diakah orangnya? Pemuda yang berpakaian rapi itu? Bukankah penampilannya sedikitpun tak menunjukkan kalau dia adalah seorang pencabut nyawa bayaran? Itukah alasannya mengikutiku sampai depan komplek perumahan elite ini? Jangan-jangan dia masih menungguku di depan. Ya, Tuhan, nyawaku benar-benar terancam. Papa, Mama, aku takut. Mas Ray! Lihat nasip adikmu ini, Mas!“Mbak? Anda kenal Papa saya?” tanya Dokter Danu mulai tak sabar. Tatapan penuh curiga serasa menguliti jiwa. Ketakutan semakin mendera. Aku harus mengakhirinya, terserah bagaimana tanggapan mereka nantinya.“Ok, aku akan jujur sekarang. Terserah kalian akan menilaiku seperti apa. Aku akan terima. Kak Embun, Dokter Danu, sesunggguhnya semua masalah ini berawal da
Bab 108. Bunuh Diri, Aku Takut.“Dokter sungguh-sungguh?” Kak Embun yang datang menyusul kami, menatap Dokter Danu dengan tatapan takjub.“Ya, aku sungguh-sungguh, Bu Embun. Aku tidak akan bisa tenang, setelah Papa menghancur Renata seperti ini! Sekarang bukan hanya kesuciannya, Papa bahkan mengincar nyawanya! Aku akan melindungi Renata. Kupastikan, sekarang ini, akulah musuh Papa yang sesungguhnya!”“Bohong! Aku tidak percaya! Kalian semua sama saja! Kalian orang-orang kaya hanya pandai berkata-kata! Kalian pembohong!”Aku berteriak, Sedikitpun aku tak bisa mempercayai ucapannya. Mana mungkin seorang Dokter tampan, terkenal seperti dia, mau menikahi seorang perempuan yang telah menjadi sampah seperti aku. Setelah papanya mengunyah habis manisnya, lalu dibuang secara hina. Kini sang putra mau memungut sampah itu? Mau menikahi segala? M
Bab 109. Mas Darry Vs Dokter Danu“Oh, iya, Renata udah jelasin, kenapa Om Herman ngejar dia?” tanya Mas Darry menoleh kepada Dokter Danu.“Kamu sebetulnya dapat info darimana, kalau papaku menyewa pembunuh bayaran, ha!”Mulai lagi, deh. Mas Dary dan Dokter Danu berperang. Duh, situasi sedang gawat gini juga.“Jangan nuduh sembarangan, kalau enggak ada bukti!” ketus Dokter itu lagi.“Maaf, Dokter! Saya tidak menuduh smebarangan. Memang bukti saya tidak punya, tetapi info yang saya terima, dari sumber yang bisa dipercaya!” balas Mas Darry tak kalah ketus.“Apa sumbernya! Bisa kamu tunjukkan?”“Nanti, kita bareng-bareng aja nanya sama Edo!”“Siapa Edo?” teriak Dokter Danu kasar.“Satpam di rumah Embun tadi, kaw
Bab 110. Tolong Bunuh Saya!“Mbak mau ke mana?” tanyanya sesaat setelah kami berada jauh dari komplek itu.“Terserah!” sahutku pasrah.“Lho, kok terserah?”“Iya, terserah! Aku gak tak mau ke mana! Bawa saja aku ke mana pun yang Anda mau!”Lelaki itu terbatuk. Mungin kaget, tak menyangka semudah dia menuntaskan kewajibannya. Entah berapa Om Herman akan membayarnya, yang jelas bayangan kesuksesan dan segepok uang telah memenuhi otaknya.“Mbak sepertinya sedang ada masalah, ya? Kita ke tempat saya saja, ya! Kita bisa ngobrol, siapa tahu beban pikirannya bisa hilang?”“Boleh.”“Pegang yang kencang, ya!”Diraihnya tanganku, meletakkan di pinggangnya. Laju motor semakin kencang, kurapatkan&n