Bab 97. Embun Memuliakan Seorang Janda
“Jangan begini, Nak! Kasihan Kakek! Masa Kakek di suruh jadi kuda!” ucapku langsung mengangkat tubuhnya dari atas punggung Om Darfan.
“Enddak apa-apa, Mammma. Laya endak malah, kok, tudanya boongan. Tata Tatek, becok, tami naik tuda benalan, enddak boongan yagi.”
“Iya, tapi, Kakek capek, Sayang disuruh jadi kuda?”
“Enddak, Mammma. Tata Tatek, Tatek enddak tapek, iya, tan tatek?”
“Enggak, Sayang. Kakek enggak capek. Ayo, naik lagi!” jawab sang kakek dengan napas terengah-engah. Jelas terlihat dia kelehan.
“Yepas, Mammma!” Raya melepaskan peganganku di tangannya.
“Ops, sudah mainnya! Sekarang kiat pulang, ya! Kasihan adek Radit di rumah!” tegasku, disertai dengan tatapan mata yang sudah dia pahami. Ya, Raya
Bab 98. Telolet Pengganggu“Benarkah ini, Nak Embun?” Om Darfan mengerjapkan matanya yang mulai basah. Mungkin terharu atau mungkin juga semakin menyesal pernah menghinaku di depan Mas Darry putranya.“Mendiang Mama saya, sangat mendukung, bila seorang wanita yang tersakiti, mau bangkit dari keterpurukan. Dia pasti bangga, jika putri sahabatnya mau berjuang mengembangkan perusahaan yang ditinggalkannya. Kak Dara mau, kan? Tunjukkan bahwa perempuan itu tidak lemah. Tak akan hancur hanya karena ulah seorang perempuan busuk yang mencuri cinta suami. Biarkan perempuan itu yang hancur bersama lelaki curiannya! Kak Dara harus bangkit! Jangan pernah terpikir untuk bunuh diri lagi!” tuturku dengan suara tegas.“Embun! Kau memang malaikat penolong, Dek!” Kak Dara memelukku. Kedua remajanya ikut memeluk.“Terima kasih, Nak Embun,” ucap Om Darfan dan Tan
Bab 99. Sandra Bebas Dari penjaraPOV Renata“Selamat datang, Kak!” ucapku begitu melihat Kak Sandra keluar dari balik tembok tinggi. Seorang sipir penjara wanita mengantarnya sampai depan pintu besi nan tebal.“Silahkan! Ingat semua pesan-pesan yang telah disampaikan padamu selamai ini! Jangan pernah kembali lagi ke sini! Kau ingat itu!” Begitu kalimat yang diucapkan oleh petugas bertubuh tinggi tegap itu.Kak Sandra hanya mengangguk, sambil tersenyum tipis.Pintu besi kembali tertutup, wanita itu menghilang di baliknya.“Ayo!” Kak Sandra langsung melangkah cepat mendahuluiku, menuju becak yang telah menunggu.Hening. Kak Sandra membisu sepanjang jalan, dan akupun segan untuk memulai percakapan. Becak mesin yang sengaja kusewa untuk menjemputnya, melaju dengan kecepa
Bab 100. Pekerjaan Apa di Kamar Hotel?Sebuah mobil mewah sudah menunggu kami di ujung gang. Pintunya langsung terbuka, begitu kami tiba di sampingnya. Tanpa ragu, Kak Sandra mendorong tubuhku masuk ke dalam. Lalu menghenyakkan tubuhnya di sampingku, yang semakin kebingungan.Pintu mobil langsung tertutup rapat. Pengemudi mobil menoleh ke belakang, menatapku dan kak Sandra bergantian.“Anggotanya Pak Herman?” tanya Kak Sandra kemudian.“Ya, saya anggotanya Pak Herman. Mbak Sandra?” jawabnya balik bertanya.“Ya, saya Sandra.”“Mbak yang ini, ya, Mbak?” tanya lelaki itu menatapku lekat.“Ya, Pak Hendra sudah ok, kok.”“Baik, ini depenya. Sisanya akan di transfer ke rekening Mbak Sandra!” Lelaki itu menyerahk
Bab 101. Darah Perawan di Seprei RanjangKutatap si pemilik suara. Lelaki itu terkekeh kecil, dengan gelas di tangannya. Gelas itu masih utuh.“Om, tidak minum? Katanya haus?” tanyaku penasaran.“Ya, Om sangat haus. Bahkan, rasanya sudah tak sabar, ingin segera menuntaskan dahaga ini,” jawabnya berjalan pelan, menuju nakas, lalu meletakkan gelas utuh itu, di sana.“Ma- maksud Om?” tanyaku bingung, lebih bingung lagi, karena kini kulihat Om Herman menjadi dua, ya, Om Herman ada dua. Tubuhnya berubah menjadi besar, berbayang, makin besar dan ….“Kenapa kepala saya sakit sekali, kepala saya berat,” lirihku memegangi kepala. Tatapan kini kian berkunang-kunang, kamar ini kulihat berputar. Lalu aku ambruk, jatuh di atas ranjang.“Ini pekerjaan yang saya ja
Bab 102. Kupinjam Nama Kak Embun Untuk Menjerat KorbankuPOV Renata=======Kutimang-timang ponsel hasil mengemisku. Jujur, bukan benda gepeng ini yang menjadi sasaran utamaku. Tujuanku adalah nomor-nomor yng ada di dalamnya. Khususnya nomor keluarga sang tua bangk*Kutatap nanar ranjang besar nan mewah itu. Tempat di mana aku telah melepas mahkotaku secara paksa. Begitu licik dan penuh rekayasa. Noda darah masih tampak masih segar membekas di sepre pembalut spring bed empuk. Kuelus dengan telunjuk. Impian seorang gadis lugu, akan memberikan tetesan darah ini kepada seorang pangeran yang datang meminang. Menjemput dengan kereta kuda. Membawaku ke istana cinta. Mereguk lautan madu asmara, diiringi senyum syahdu di malam pertama.Kini, impian sang gadis pupus sudah. Pangeran tampan tak pernah tiba. Peran sang pangeran telah digantikan oleh
Bab 103. Satu Foto Lima Ratus Juta“Bagimana? Ada perubahan di perutnya?” tanya Dokter itu semenit kemudian.“Iya, terasa lebih enakan,” jawabku asal.“Nah, berarti Mbak hanya terserang sakit mag biasa. Gak perlu khawatir! Sebelumnya gak pernah seperti ini rupanya?”“Enggak, Dok, makanya saya pikir salah makan. Atau lebih tepatnya diracun orang,” jawabku mulai merubah ekpresi wajah. Tak lagi kesakitan, kini tinggal meringis kecil.Dokter muda ini tertawa, menunjukkan barisan giginya yang putih bersih.“Mbak beneran sepupunya Bu Embun?” tanyanya sambil mengembalikan alat-alat ke dalam tas.“I-iya, Dok. Dokter enggak nelpon dia untuk memastikan?” jawabku balik bertanya.“Kebetulan saya dan Bu Embun sedang ada masalah se
Bab 104. Tiga, Empat Pria Dalam Satu Malam, Kamu Sanggup Enggak?“Lima ratus juta untuk satu foto?”“Kalau mau, kalau enggak juga enggak apa-apa. Aku matiin nih, telponnya!”“Renata-renata, tunggu! Kau bercanda, kan? Lima ratus juta kali sepuluh itu lima M, Sayang?”“Iya, itupun hanya berlaku untuk beberapa bulan saja.”“Apa maksudmu, Re?”“ Iya, kalau misal mood saya lagi enggak bagus, bisa aja saya sebarkan lagi.”“Jangan macam-macam! Renata! Aku juga bisa berbuat sesuatu padamu!”“Anda mengancam saya? Boleh! Saya udah hampir sampai, saya matikan, ya!”“Tunggu! Kau sepertinya mau main-main dengan saya!”“Terserah penilaian Anda Tuan Bajing
Bab 105. Dokter Tampan itu, Dokter Bukan, sih?Kulirik jam dinding di kamar. Setengah delapan pagi. Ternyata aku terlambat bangun, mungkin masih kelehan, setelah semua peristiwa yang kualami kemarin.Ponsel tetap menyala, sepertinya memang ada masalah genting. Masalah yang kutimbulkan, tentu saja. Ragu, kuberanikan diri menerima panggilan itu.“Hallo, Kak Embun, maaf, baru bangun,” ucapku begitu mengusap layar ponsel.“Oh, maaf mengganggu tidurmu, begini, kamu bisa menemui Kakak sekarang?” Suara lembut itu seperti besi panas yang menghujam gendang telinga. Ketakutan kian mencekik.“Kakak tunggu di rumah, segera, ya!”“Baik, Kak.”Tak berani menolak, segera berkemas, aku harus memenuhi perintahnya. Sepertinya masalah baru mulai menampakkan wujud
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili