Bab. 60. Perhatian Mas Darry
****
Dian menghampiriku, sebelumnya dia berbincang dengan Mas Darry. Lelaki itu langsung bergerak menuju mobilnya.
“Kamu ikut Mas Darry ke kantor polisi jemput anak-anak, ya! Aku langsung ke kantor dulu. Tadi mejaku masih berantakan, setelah kurapikan, aku langsung ke rumah kamu, Liza nelpon, katanya gak enak sendirian di rumah kamu,” tuturnya.
“Berdua saja dengan Mas Darry?” gumamku ragu.
“Kenapa? Kau takut ancaman suamimu?”
“Tidak, Ray bukan suamiku lagi. Kenapa aku takut.”
“Bagus, cepatlah! Aku dan Liza nunggu di rumah, ok!”
Dian memapahku menuju mobil Mas Darry. Lelaki itu sudah membukakan pintu mobil untukku, di depan, di sampingnya. Tak ada waktu untuk menikmati debaran di dada ini. Kerinduanku pada Raya dan Radi
Bab 61. Ternyata Sudah Ada Diva Di Hati Darry******Liza dan Dian menyambut kami begitu mobil Mas Darry memasuki halaman. Liza menggendong Raya, dan Dian meraih Radit.“Mas Darry, pulanglah! Terima kasih untuk semuanya. Ada Dian dan Liza yang akan menemaniku di sini,” ucapku menghentikan langkahnya yang ingin mengikutiku masuk ke dalam rumah.“Tapi, aku tak bisa meninggalkanmu, Embun!”“Tolong, Mas. Statusku saat ini adalah seorang janda, jangan sampai ada fitnah!”“Ok, aku akan menunggu di teras saja.” Mas Darry tetap berkeras.Sebuah mobil memasuki halaman, seorang Dokter muda dan tampan melangkah turun, lalu berjalan gagah menghampiri kami.“Bu Embun, gimana anak-anak?” sapanya dengan nada khawatir.Kulihat mata Mas Darry
Bab 62. Pengacara si Pecundang tawarkan Damai****“Enggak, dong, Sayang! Om Darry sudah ditungguin sama Tante Diva di rumahnya. Om Darry harus segera pulang, iya, kan, Om? Bilang dadah sama Om Darry, Sayang!” titahku pada Raya.“Tante Difa?” mata bening putriku membulat.“Di … Va,” ucap mengulang kata-katanya.“Di … Fa,” ulangnya.“Iya, Sayang,” kataku menyerah.“Dadaaah, Om Dalli! Om Dokten aja yang jagain tita dicini, ya, tan, Ma?”Aku tercekat.“Iya tan, Om Dokten?” tanyanya beralih menatap Dokter Danu penuh harap.“Boleh sampai Raya bobok, Oom temanin. Sekarang makan dulu, ya!”Liza rupanya sudah menyediakan makanan buat anak-anak. Penuh s
Bab 63. Mas Darry Kuusir, Siska Ditalak=================“Mbak Embun, saya bisa menuntut balik Anda, dengan tuduhan menghalang-halangi client saya untuk bertemu dengan anak-anaknya!” ancamnya dengan suara mengeras.“Boleh! Saya tunggu tuntutan Anda. Tapi, kita bicarakan itu semua di dalam persidangan, bukan di rumah ini, ok?” tantangku mengulas senyum.“Apa sih, yang Mbak Embun pikirkankan? Berani melawan saya di persidangan, ha?” Sarah terlihat geram. Kedua alisnya menaut, wajah yang juh dari kata cantik itu membentuk segi delapan. Pipi tembemnya terlihat seperti martabak yang di lumuri saos tomat. Untung putriku Raya sudah terlelap, kalau tidak, bisa ketakutan dia melihat penampilan wanita ini.“Sekali lagi saya tekankan, saya tidak mau membahas hal seperti ini di rumah ini. Tolong pergi, segera!” Suaraku mulai mening
Bab 64. Ancaman Sarah atas hak asuh anak****“Papa sudah tanya, Nak. Katanya boleh, kalau papa sudah merasa kuat. Tadi dokter sudah masuk.”“Om Robert sudah ke sini kemarin untuk mengambil bukti-bukti penganiyayan, kan, Pa. Kita butuh itu untuk menjerat Mama Siska dan Mas Ray.”“Sudah, Nak. Papa langsung di visum, kemarin.”“Baik, saya urus administrasi dulu.”Kuselesaikan semua administrasi pengobatan Papa, lalu membawanya keluar dari rumah sakit itu. Hati berkecamuk, ke manakah dia akan kubawa sekarang.“Antar Papa ke penjara dulu, Nak! Papa mau menemui perempuan busuk itu,” titahnya begitu mobil berjalan pelan dijalan raya yang padat kendaraan. Cara dia menyebut nama istrinya, agak mengagetkan. Penuh kebencian dan dendam.&
Bab 65. Mantan Mertua Datang Lagi*****“Ada apa, Om? Soal dana? Om tingga bilang saja sama Dian, saya sudah memberinya kekuasaan masalah keuangan, Om.”“Bukan masalah dana, Embun. Tapi, ini, pengacara suami kamu mengancam Om.”“Sarah?”“Kamu tahu?”“Ya, tadi malam dia menemui saya, Om. ““Nak Darry ada di sana?”“Ya, apa hubungannya dengan Mas Darry.”“Lihat ini, nak!” Om Robert membuka ponsel miliknya, menyodorkan padaku, setelah ponsel menyala. Foto-foto kebersamaanku dengan Mas Darry ada di sana.“Ini, ini, dari Sarah?” seruku kaget.“Iya. Dia mengancam dengan mengirim foto-foto ini. Katanya bukti perselingkuhan kamu dengan Darry, akan di
Bab 66 Siksaan Elegan Untuk keluarga Benalu==========================“Iya, Nak Embun. Kami sudah mengosongkan rumah itu. Terus kenapa kamu malah mengusir kami, Nak? Maksudnya apa ini?” Suaminya menimpali.Aku menghela napas. Mencoba mengingat apa yang aku perintahkan semalam kepada Renata, saat polisi menggelandang Mas Ray dan Sandra dari rumah itu. Salah bicarakah aku? Tidak, jelas-jelas aku meminta dia menelpon orang tuanya, agar mengosongkan rumah itu pagi ini. Tidak ada perintah agar mereka datang ke sini.“Embun, kata Renata, Ray ditangkap polisi, kamu sudah berusaha membebaskannya, kan, Nak? Kamu sudah menyewa pengacara untuk itu, kan?”“Maaf, Ma. Tidak usah membahas Mas Ray, dulu. Sekarang saya mohon, kalian tinggalkan rumah saya, itu saja,” ucapku pelan.“Embun! Maksud kamu apa sebenarnya?”
Bab 67. Pijatan Tangan Bik Las******“Dan kau Renata! Kau sendiri yang mengeluarkan barang-barangmu dari kamar itu, atau perlu dikeluarkan juga?” tanyaku pada Renata yang sedari tadi hanya mengekerut di dekat papanya.“Aku tidur di mana, Kak?” Suaranya terdengar pasrah.“Sama dengan orang tuamu! Di dapur!” jawabku mengagetkannya.“Embun, Renata seorang gadis, Nak! Kau tega menyuruh dia tidur di lantai bareng Papa?” Kali ini Papa mertuaku bersuara.“Lho, kok, Papa nyalahin saya? Papa dong, yang menyediakan tempat yang layak untuk tempat tingal putri Papa! Dulu sebelum menikahi saya, kalian tinggal di mana?” sidirku. Aku benci laki-laki ini. Kenapa dia mau saja menuruti ide gila Sarah. Bukannya usaha untuk menghidupi anak istri.“Bik Anik, tolong beri mereka
Bab 68. Bilang Saja Kalau Aku Masih Sagat Mencintaimu!======Sore ini perkuliahan berjalan lancar. Gegas aku menuju mobil di parkiran untuk kembali pulang. Rasanya tak sabar ingin segera sampai di rumah. Khawatir keluarga benalu membuat masalah. Sedikit lega, karena dari tadi handphoneku anteng, tak ada panggilan ataupun pesan masuk mengenai rumah dan kantor.Baru saja hendak menstater, pintu mobil sebelah kiri tiba-tiba terbuka. Seseorang menghenyakkan tubuh di jok depan, di sampingku.“Pak!” sergahku mendelik.“Aku dengar dari Om Robert, kamu diancam tentang hak asuh anak oleh pengacara tol*l itu, dengan menggunakan foto kebersamaan kita malam itu, betul begitu?” Lelaki itu balas menatapku tajam.“Udah tahu begitu, kenapa Bapak masuk ke dalam mobil ini? Mau menambah bukti-bukti yang akan lebih menjerat saya, be
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili