Bab 67. Pijatan Tangan Bik Las
******
“Dan kau Renata! Kau sendiri yang mengeluarkan barang-barangmu dari kamar itu, atau perlu dikeluarkan juga?” tanyaku pada Renata yang sedari tadi hanya mengekerut di dekat papanya.
“Aku tidur di mana, Kak?” Suaranya terdengar pasrah.
“Sama dengan orang tuamu! Di dapur!” jawabku mengagetkannya.
“Embun, Renata seorang gadis, Nak! Kau tega menyuruh dia tidur di lantai bareng Papa?” Kali ini Papa mertuaku bersuara.
“Lho, kok, Papa nyalahin saya? Papa dong, yang menyediakan tempat yang layak untuk tempat tingal putri Papa! Dulu sebelum menikahi saya, kalian tinggal di mana?” sidirku. Aku benci laki-laki ini. Kenapa dia mau saja menuruti ide gila Sarah. Bukannya usaha untuk menghidupi anak istri.
“Bik Anik, tolong beri mereka
Bab 68. Bilang Saja Kalau Aku Masih Sagat Mencintaimu!======Sore ini perkuliahan berjalan lancar. Gegas aku menuju mobil di parkiran untuk kembali pulang. Rasanya tak sabar ingin segera sampai di rumah. Khawatir keluarga benalu membuat masalah. Sedikit lega, karena dari tadi handphoneku anteng, tak ada panggilan ataupun pesan masuk mengenai rumah dan kantor.Baru saja hendak menstater, pintu mobil sebelah kiri tiba-tiba terbuka. Seseorang menghenyakkan tubuh di jok depan, di sampingku.“Pak!” sergahku mendelik.“Aku dengar dari Om Robert, kamu diancam tentang hak asuh anak oleh pengacara tol*l itu, dengan menggunakan foto kebersamaan kita malam itu, betul begitu?” Lelaki itu balas menatapku tajam.“Udah tahu begitu, kenapa Bapak masuk ke dalam mobil ini? Mau menambah bukti-bukti yang akan lebih menjerat saya, be
Bab 69. Cinta Mas Darry Tak Pernah Henti================Areal parkir ini seperti berubah menjadi lautan api, panas dan gerah tak terperi. Hati ini yang panas ternyata, bukan cuacanya. Sebuah suara yang terdengar begitu lembut, memanggil nama Mas Darry dengan nada manja. Nanar mata ini memandang, kala sepasang pria dan wanita melangkah kian dekat .“Mas Darry ….” Sekali lagi gadis itu memanggil. Kini, posisi mereka semakin dekat. Keduanya tersenyum, aku hanya melongo. Kulirik Lelaki tampan di samping kananku, tatapan kami beradu. Mata elangnya tak lagi menghujam, kini layu, sayu, bahkan menunduk.“Mas ….” Gadis imut-imut itu kini tepat di depan kami, meraih lengan Mas Darry, langsung bergelayut manja.Kenapa terasa sakit. Sesak napas ini, perih mata ini, pandangan serasa berkunang-kunang, aku pening, dan ….&nbs
Bab 70. Calon Mantan Papa Mertua Jadi Satpam Rumahku*****Jujur, aku tak pernah merasa kenikmatan seperti yang diberikan oleh Mas Darry saat ini. Meski hanya sentuhan bibir di jemari. Tak lebih, tidak pernah lebih. Tiga tahun menjadi istri Mas Ray, namun aku merasa tak pernah bahagia. Padahal sebagai suami, pria itu telah memberiku kenikmatan yang lebih dari sekedar sentuhan bibir di jemari seperti yang dilakukan oleh Mas Darry.Kenapa? Kenapa aku merasa begitu mengawang saat Mas Darry menyentuh jemariku? Degup di dada ini, ciptakan elegi yang begitu syahdu. Kenapa? Cinta? Aku masih cinta?“Aku masih sangat cinta, Embun!” Bibir pria itu berucap lirih. Aku terenyuh.“Mas Darry! Ayo!”Kami tersentak. Suara manja itu membuyarkan segala keindahan yang sempat tercipta. Diva telah berdiri tepat di samping tunangannya.
Bab 71. Sidang Pertama Gugatan Cerai*****Aku dan Papa tiba di pengadilan pukul Sembilan kurang seperempat. Langsung menuju ruang sidang, kami berjalan bersisian. Berbagai kata nasihat dia ucapkan sambil berjalan. Om Robert sudah tiba duluan. Pengacara yang disuruh Mas Darry membantunya tidak hadir, karena kuasa hukumku adalah Om Robert. Namun, mereka sudah membantu mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak perlu gentar sedikitpun.Liza dan Dian langsung memelukku. Mereka datang juga rupanya. Serasa batin ini semakin kuat, didampingi oleh orang-orang yang peduli padaku. Mas Darry, bantu aku dengan doamu saja! Karena hadirmu, hanya akan menjadi senjata mereka untuk menjatuhkanku.Keluarga benalu duduk tak jauh dari kami, kulihat mereka senyum- senyum sejak tadi. Mungkin mengira, hari kemenangan mereka sudah tiba. Mas Ray terlihat semringah, didampingi Sarah, sang pengacara
Bab 72. Mertuaku Menggadaikan Rumahku*****Tak terasa satu jam berlalu. Sidang akan segera dilanjutkan. Panitera kembali memberi aba-aba, Hakim ketua membuka sidang secara resmi.Selanjutnya mereka membacakan agenda sidang lanjutan, yaitu pembacaan tuntutan dari pihak Mas Ray.Seperti dugaan kami, Kuasa Hukumnya menuntut hak asuh anak agar diserahkan kepada Mas Ray. Mereka menuduhku gagal secara hukum sebagai pengasuh anak meskipun anakku masih di bawah umur. Aku dituduh selingkuh dan mereka telah menyerahkan bukti perselingkuhanku itu.Tuntutan mereka yang kedua adalah tentang pembagian harta gono-gini. Entah darimana Sarah mendapatkan semua data asset- asset, baik jumlah, letak, maupun nilai nominalnya. Pengacara hebat itu dengan lugas menyebutkan seluruh harta benda yang aku punya. Lalu menuntut agar dibagi tiga. Sepertiga untukku, dan dua pertiga untuk Ma
Bab 73. Keputusan Sidang Lanjutan*****Kuhela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Tenang, jangan emosi. Di sini sedang ada tamu, usahakan jangan bar-bar. Begitu tekatku.“Maaf, Bapak-bapak?,” ucapku memulai, sambil tersenyum tentu saja. “Perkenalkan, saya Embun. Saya pemilik rumah ini. Bapak-bapak dari Bank ya?”“Embun! Gak usah basa basi! Ambil suratnya!” Perempuan itu meradang! Suaminya mencoba menenangkan, sedang Renata hanya duduk mengkerut di pojokan.“Renata, kamu mahasiswa, bukan? Kenapa kamu enggak bisa menjelaskan pada Ibumu tentang perbuatannya ini? Jangan-jangan kamu juga udah ketularan gak waras, ya?” Kutatap lekat gadis itu. Renata bergeming.“Embun!” Kembali sang Nenek Lampir berteriak.“Maaf, Bapak-Bapak. Mereka ini hanya tam
Bab 74. Salahakah Jika Aku Bahagia Menyandang Gelar Janda?*****“Embun! Jangan usir Mama dan Papa dari rumahmu, kumohon!” Mas Ray langsung memeluk kakiku.“Lepasin! Jijik, tau enggak disentuh tangan kotormu itu!” kutepis kasar tangannya.Beberapa petugas datang, memaksanya bangkit, lalu membawanya pergi kembali ke penjara.“Embuun, tolong keluargaku!” pintanya memelas.“Kok, enggak minta tolong pada Ibu Pengacara?” sindirku melirik Sarah.Perempuan itu melengos.“Kak! Kak Embun, Kak Sarah! Mama pingsan!” Renata menghampiri dengan wajah pucat dan napas tersengal.“Tuh, urus calon mertuamu!” ketusku melangkah pergi.“Embuun, itu urusanmu!” teriak Sarah.&ld
Bab 75. Mas Darry Selalu Datang Di Saat Yang Tepat*****“Buk, mereka datang!” Rika mengetuk halus pintu kamar.“Siapa?” tanyaku seraya bangkit dan membuka pintu kamar.“Pasukan Mak Lampir,” jawab Rika ketus.“Bik Las enggak bukain pintu gerbang, kan?” tanyaku langsung menuju teras.“Enggak, makanya Mak lampir teriak-teriak. Tapi, perempuan berwajah petak itu ngancam akan nuntut kami, Buk. Karena menghalang-halangi mereka masuk?”“Apa? Sarah ikut ke sini?”“Ho oh, Buk.”“Bik Anik! Bik Las!” pangggilku. Keduanya segera datang. Sementara mantan keluarga mertuaku berteriak-teriak dari luar pagar. Kulihat Sarah berdiri di samping mobilnya yang terparkir di luar pagar.
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili