Pandangan Bima terpaku pada layar ponsel. Sebuah unggahan dari acara pertunangan Maya dan Reza semalam. Foto-foto itu menampilkan Maya yang begitu cantik dalam balutan kebaya, tersenyum bahagia di samping Reza yang menggenggam tangannya erat. Keduanya dikelilingi keluarga dan kerabat yang tersenyum penuh suka cita.Bima mengembuskan napas panjang. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya. Sesuatu yang tidak bisa dia tolak meskipun seharusnya dia sudah terbiasa.“Maya … “ bisik Bima. Sangat pelan.Wanita itu yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya, kini melangkah semakin jauh. Seharusnya Bima bahagia untuk Maya. Seharusnya, dia ikut merasa lega karena akhirnya Maya menemukan seseorang yang bisa memberi kebahagiaan.Jemari Bima bergerak menggulir layar, melihat lebih banyak foto dari acara itu. Ada gambar Maya yang tertawa bersama Hana. Ada Reza yang dengan bangga memasangkan cincin di jari manis Maya. Ada pula foto keluarga besar Reza yang tampak menerima Maya dengan hangat.Tiba-
Langkah Bima terhenti di ambang pintu begitu suara tangisan keras menggema di seluruh rumah. Bima buru-buru melepas sepatu. Rasa lelah yang tadi menyelimutinya seketika lenyap. Abi menangis begitu kencang, seolah anak itu sudah lama terisak tanpa henti.Bima melangkah cepat menuju ruang tengah. Di sana dia melihat Abi terduduk di lantai, wajahnya merah dan basah oleh air mata. Sementara Nina duduk di sofa dengan tenang, menonton TV tanpa peduli sedikit pun."Nina!" bentak Bima. Sangat keras.Nina menoleh malas, seolah terganggu. "Apa?" tanyanya santai.Bima langsung berjongkok di depan Abi. Kedua tangannya menggenggam bahu kecil anak itu. "Abi, kenapa? Kenapa kamu nangis?"Abi terisak semakin keras, tubuhnya bergetar hebat."Abi sudah waktunya makan," ujar Nina santai. Matanya masih tertuju pada layar ponsel.Bima mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Nina! Dia anakmu! Ya sudah sana ambilkan makan!”Nina mendengus, ekspresinya tetap dingin. "Aku capek, Bima. Aku juga butuh istiraha
Nina duduk di kursi kayu di halaman belakang rumah. Menikmati rokok yang terselip di antara jari-jarinya. Asap putih tipis mengepul, menguar bersama embusan napasnya yang penuh kejengkelan. Matahari masih malu-malu muncul dari ufuk timur. Namun udara segar pagi hari tidak mampu menenangkan hatinya."Dasar wanita sok suci. Akhirnya dapat juga pria kaya, kan?" Nina mendecih sinis ketika mengingat kembali foto pertunangan Maya. Kemudian menarik napas dalam, mengisap rokoknya lebih kuat.Pikiran Nina terus dipenuhi bayangan Maya. Senyum bahagia Maya saat disematkan cincin di jari manisnya. Sorot mata Maya yang begitu lembut saat menatap Reza. Semua itu membuat darah Nina mendidih.“Aku tidak akan membiarkanmu bahagia. Dasar wanita sok suci!” umpatnya lagi.Abi tiba-tiba menangis. Suara jeritannya menusuk telinga Nina. Membuatnya berdecak kesal. Nina menoleh dengan tatapan jengkel ke dalam rumah, tempat suara itu berasal."Ya ampun! Kenapa sih anak ini selalu rewel?!" Nina mengumpat sambil
Rumah keluarga Harjono hari ini dipenuhi dengan dekorasi meriah. Balon warna-warni menggantung di setiap sudut ruangan. Pita-pita emas dan biru melilit di sepanjang dinding, sementara meja panjang di tengah ruang tamu dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Kue ulang tahun berukuran besar dengan angka "1" bertengger di atasnya. Dihiasi dengan fondant berbentuk boneka beruang dan mobil-mobilan kecil.Para tamu mulai berdatangan. Kebanyakan adalah rekan bisnis Bima dan keluarga besar Harjono. Anak-anak berlarian dengan balon di tangan mereka, sementara para ibu sibuk berbincang di sudut ruangan. Membicarakan kemewahan pesta yang diadakan untuk seorang bayi berusia satu tahun.Saat acara utama dimulai, seorang MC naik ke atas panggung dan mengambil mikrofon. "Selamat siang semuanya! Hari ini kita berkumpul untuk merayakan ulang tahun pertama putra tercinta dari Bapak Bima Santoso dan Ibu Nina Julian, yang bernama Abi!"Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Nina dengan bangga membawa Abi k
Lampu kristal berkilauan di langit-langit, dan para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi minuman dan makanan mewah. Di tengah kebahagiaan itu, Reza dan Maya berjalan mendekati Bima dan Nina yang sedang berdiri menerima tamu."Selamat ulang tahun untuk Abi," ujar Reza lebih dulu. Lantas mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Bima.Bima menyambutnya dengan anggukan kecil. "Terima kasih," balasnya singkat.Maya mengulaskan senyum. Senyum yang dulu begitu familiar bagi Bima, namun kini terasa begitu jauh. Maya menatap Bima sejenak. "Semoga Abi tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia," katanya tulus.Bima mengangguk. Ketika dia menurunkan pandangan, matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di jari manis Maya. Sebuah cincin berlian.Dada Bima terasa sesak. Sekilas, dunia di sekelilingnya terasa membisu. Semua suara pesta menjadi jauh, tidak lagi berarti. Hanya ada dia dan kenyataan yang terpampang di depan mata. Maya sudah bertunangan. Jari manis yang dulu dia genggam dengan
Saat pesta masih berlangsung meriah, Maya menyelinap ke sudut ruangan. Dia mencari kesempatan untuk sejenak menjauh dari keramaian. Dia menghela napas lega ketika menemukan pintu menuju toilet yang sedikit tersembunyi di balik lorong panjang."Akhirnya aku menemukanmu,"Maya yang sedang membasuh tangannya di wastafel, seketika membeku. Merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Dia bisa melihat bayangan Viona terpantul di kaca, sedang berdiri di belakangnya.Viona tersenyum miring. “Senang?”Maya menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"“Jangan pura-pura bodoh, Maya!” Viona menyeringai sinis. “Kamu sudah mendapatkan semua yang kamu mau, bukan? Termasuk tunanganku,”Maya mengernyit, hatinya terasa panas. “Hubungan kalian berdua sudah berakhir. Bahkan sebelum aku bersama Reza,”Viona tertawa sinis. “Dan kau percaya ucapannya begitu saja?”Maya mencoba mengendalikan emosinya. “Ya, aku percaya padanya,” balasnya. “Aku tidak pernah merebut siapa pun darimu. Jika Reza tidak memilihmu, i
Saat pintu terbuka lebar, Reza adalah orang pertama yang melihatnya. Napasnya tercekat ketika mendapati Maya tengah bersimpuh di lantai, memeluk tubuh Bima yang bersimbah darah. Tangan Maya berlumuran darah merah pekat, wajahnya penuh rasa cemas."Ya Tuhan … Bima!" seru Reza, matanya melebar ngeri.Di belakangnya, Sulastri dan Nina tiba bersama beberapa anggota keluarga lainnya. Begitu melihat Bima tergeletak di pelukan Maya, Sulastri menjerit histeris.“Bima!!” jerit Sulastri. Dia nyaris jatuh jika tidak ditahan oleh salah satu tamu.Nina kini tampak pucat pasi. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar. Pandangannya beralih dari wajah Bima yang pucat ke Maya yang masih erat memeluk pria itu. Rasa cemburu menyelinap, tetapi ketakutannya jauh lebih besar."Ambulans! Seseorang panggil ambulans!" teriak Reza.Beberapa tamu segera berlari keluar, menelepon dengan panik. Sementara itu, Viona berdiri di pojok ruangan dengan wajah kosong. Dia masih memegang pisau yang kini berlumur
Lampu indikator di atas pintu ruang tindakan masih menyala merah. Sejak pintu itu tertutup, Maya belum beranjak dari tempatnya duduk di lantai. Seakan jika dia bergerak, sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Matanya terus menatap kosong ke depan, menunggu, berharap, berdoa.Tiba-tiba pintu ruang tindakan terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah tegang. Maya segera bangkit, hampir tersandung karena kakinya yang mati rasa."Bagaimana keadaan Bima, Dok?" tanya Maya, gemetar."Kami telah berusaha menghentikan pendarahan, tapi pasien kehilangan banyak darah. Tekanan darahnya turun drastis dan dia butuh transfusi secepatnya,"Jantung Maya mencelos. "Apa sudah ada donor?" tanyanya cemas.Dokter itu menggeleng. "Kami sedang menghubungi bank darah, tapi stok golongan darahnya sangat terbatas. Jika ada keluarga atau seseorang dengan golongan darah yang cocok, kita bisa segera melakukan transfusi,"Maya berdiri terpaku di depan dokter dengan napas memburu. “Saya yang akan menjadi donornya, D
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau
Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel
Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah
Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.