Saat pesta masih berlangsung meriah, Maya menyelinap ke sudut ruangan. Dia mencari kesempatan untuk sejenak menjauh dari keramaian. Dia menghela napas lega ketika menemukan pintu menuju toilet yang sedikit tersembunyi di balik lorong panjang."Akhirnya aku menemukanmu,"Maya yang sedang membasuh tangannya di wastafel, seketika membeku. Merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Dia bisa melihat bayangan Viona terpantul di kaca, sedang berdiri di belakangnya.Viona tersenyum miring. “Senang?”Maya menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"“Jangan pura-pura bodoh, Maya!” Viona menyeringai sinis. “Kamu sudah mendapatkan semua yang kamu mau, bukan? Termasuk tunanganku,”Maya mengernyit, hatinya terasa panas. “Hubungan kalian berdua sudah berakhir. Bahkan sebelum aku bersama Reza,”Viona tertawa sinis. “Dan kau percaya ucapannya begitu saja?”Maya mencoba mengendalikan emosinya. “Ya, aku percaya padanya,” balasnya. “Aku tidak pernah merebut siapa pun darimu. Jika Reza tidak memilihmu, i
Saat pintu terbuka lebar, Reza adalah orang pertama yang melihatnya. Napasnya tercekat ketika mendapati Maya tengah bersimpuh di lantai, memeluk tubuh Bima yang bersimbah darah. Tangan Maya berlumuran darah merah pekat, wajahnya penuh rasa cemas."Ya Tuhan … Bima!" seru Reza, matanya melebar ngeri.Di belakangnya, Sulastri dan Nina tiba bersama beberapa anggota keluarga lainnya. Begitu melihat Bima tergeletak di pelukan Maya, Sulastri menjerit histeris.“Bima!!” jerit Sulastri. Dia nyaris jatuh jika tidak ditahan oleh salah satu tamu.Nina kini tampak pucat pasi. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar. Pandangannya beralih dari wajah Bima yang pucat ke Maya yang masih erat memeluk pria itu. Rasa cemburu menyelinap, tetapi ketakutannya jauh lebih besar."Ambulans! Seseorang panggil ambulans!" teriak Reza.Beberapa tamu segera berlari keluar, menelepon dengan panik. Sementara itu, Viona berdiri di pojok ruangan dengan wajah kosong. Dia masih memegang pisau yang kini berlumur
Lampu indikator di atas pintu ruang tindakan masih menyala merah. Sejak pintu itu tertutup, Maya belum beranjak dari tempatnya duduk di lantai. Seakan jika dia bergerak, sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Matanya terus menatap kosong ke depan, menunggu, berharap, berdoa.Tiba-tiba pintu ruang tindakan terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah tegang. Maya segera bangkit, hampir tersandung karena kakinya yang mati rasa."Bagaimana keadaan Bima, Dok?" tanya Maya, gemetar."Kami telah berusaha menghentikan pendarahan, tapi pasien kehilangan banyak darah. Tekanan darahnya turun drastis dan dia butuh transfusi secepatnya,"Jantung Maya mencelos. "Apa sudah ada donor?" tanyanya cemas.Dokter itu menggeleng. "Kami sedang menghubungi bank darah, tapi stok golongan darahnya sangat terbatas. Jika ada keluarga atau seseorang dengan golongan darah yang cocok, kita bisa segera melakukan transfusi,"Maya berdiri terpaku di depan dokter dengan napas memburu. “Saya yang akan menjadi donornya, D
Nina menarik napas dalam. Dia tidak tahan lagi berada di rumah sakit, melihat semua orang memandang Maya dengan kagum dan rasa terima kasih. Bahkan Sulastri—yang selama ini selalu mendukung pernikahannya dengan Bima kini terlihat begitu tersentuh dengan apa yang dilakukan Maya.Dengan langkah cepat, Nina mendekati Sulastri yang masih berdiri di depan ruang ICU, menunggu kabar terbaru dari dokter.“Ibu, aku izin pulang sebentar. Aku mau lihat Abi. Kasihan dia sendirian di rumah,” kata Nina.Sulastri menoleh. Wajahnya tampak lelah dan cemas. “Baiklah. Abi pasti juga membutuhkanmu,” jawabnya lemah.Nina mengangguk kecil. “Aku cuma sebentar, nanti kalau ada kabar tentang Bima, tolong hubungi aku, ya,”“Baiklah, hati-hati di jalan,”Tanpa menunggu lebih lama, Nina berbalik dan melangkah keluar dari rumah sakit. Dia sempat melirik ke arah Maya yang masih duduk tertunduk lemah. Kemudian Nina mendengus kesal.Nina menyalakan mesin mobilnya, tapi dia tidak langsung melajukan kendaraan. Dengan
Nina masih berdiri di tempat. Tubuhnya tegang ketika Femil semakin mendekat. Tatapan pria itu berubah, tidak lagi dingin. Justru kini Femil menyeringai penuh minat."Kenapa tegang begitu?" tanya Femil lirih. "Aku tidak datang untuk menakutimu, Sayang. Aku justru bisa membantumu,"Nina mendengus, berusaha mengalihkan pandangan. Tapi Femil sudah berdiri begitu dekat, hanya beberapa senti darinya."Aku tidak butuh bantuanmu," tolak Nina.Femil menyeringai miring. "Benarkah? Kamu sedang kacau. Bima terbaring tak sadar diri di rumah sakit dan sekarang kamu harus mengurus Abi yang terus menangis. Itu bukan hidup yang kamu inginkan, bukan?"Tangan Femil terulur, dengan santai menyentuh sehelai rambut Nina yang jatuh di pundaknya. "Kamu masih seindah dulu, Nina," gumamnya. "Selalu menarik, selalu menggoda,""Hentikan omong kosongmu, Femil," Nina langsung menjauh dengan tatapan jijik.Femil tertawa pelan, suara beratnya menggema di ruang tamu. Femil lantas duduk di sofa, memperhatikan si keci
Nina bergegas memasuki lobi rumah sakit. Napasnya terengah-engah setelah perjalanan yang terasa begitu panjang. Langkahnya cepat, hampir berlari menuju ruang ICU, tempat Bima dirawat. Sementara Abi berada dalam gendongannya. Kini, pikiran Nina hanya dipenuhi dengan bayangan tubuh Bima yang tak sadarkan diri.Begitu sampai di depan ruang perawatan, Nina langsung melihat Sulastri berdiri di sana. Wajah mertuanya itu penuh kecemasan. Begitu melihat Nina datang, tanpa banyak bicara Sulastri langsung meraih Abi.“Abi … cucuku … “ isaknya. Suara Sulastri parau, memeluk erat bocah itu. Nina menelan ludah, matanya beralih ke sekeliling. Harjono berdiri dengan wajah penuh gurat khawatir. Punggungnya membungkuk seolah menahan beban yang berat. Di sampingnya, Raka dan Vina juga menatap ke arah ICU dengan ekspresi cemas."Kamu kemana saja? Bukannya di sini menemani suamimu ... " gerutu Raka pada Nina."Aku harus mengurus keperluan Abi. Jangan ikut campur," hardik Nina, tak terima. Semenjak Raka m
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian malam itu. Sejak pisau yang seharusnya menghunus Maya malah tertancap di tubuh Bima. Kini tubuh Bima masih terbaring di ranjang ICU, dikelilingi berbagai alat medis yang membantu mempertahankan hidupnya. Elektrokardiograf berbunyi pelan dengan irama yang stabil, tetapi tetap saja dia belum sadarkan diri.Harjono hampir tidak pernah meninggalkan tempat itu. Sulastri lebih sering menangis diam-diam, sementara Raka dan Vina hanya datang sesekali. Nina adalah yang paling terlihat sibuk. Setiap hari dia bolak-balik dari rumah ke rumah sakit. Memastikan dirinya ada di sana ketika dokter melakukan pemeriksaan, ketika perawat mengganti infus, atau saat ada keluarga lain yang datang menjenguk. Dia berusaha memainkan perannya sebagai istri yang setia.Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Setiap kali dia pulang ke rumah, wajahnya berubah. Tidak ada lagi ekspresi cemas atau air mata yang dia tunjukkan di rumah sakit. Yang ada hanya kelelahan, kekesalan, da
Di tengah ruangan yang dipenuhi kain satin dan renda mewah, Maya berdiri diam di depan cermin besar. Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu indah. Menyempurnakan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Itu adalah gaun impian bagi banyak wanita. Tapi, wajah Maya tidak memancarkan kebahagiaan seperti yang diharapkan."Bagaimana, Sayang?" tanya Reza, yang berdiri di belakang punggung Maya.Pria itu mendekat, mengenakan setelan jas abu-abu yang baru saja dia coba. Mata cokelatnya berbinar saat menatap Maya.Maya mengangkat kepala dan menatap bayangan mereka berdua di cermin. Sepasang calon pengantin yang sempurna.“Cantik sekali,” puji Reza. Tangannya dengan lembut meraih jari-jari Maya. “Aku tidak sabar menunggumu berjalan di sampingku dengan gaun ini,”Maya tersenyum tipis. Tapi matanya tampak kosong.Sejak kejadian penusukan itu, ada sesuatu dalam hati Maya yang terasa berat. Bukan karena dia ragu pada Reza. Pria itu sudah memberikan segalanya—cinta, perhatian, dan kenyamanan yang selama in
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau
Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel
Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah
Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.