Suasana sekitar mereka yang semula ceria kini terasa lebih serius, lebih mendalam. Reza menatap Maya dengan tatapan dalam, seolah siap untuk menceritakan sebuah rahasia besar."Ada sesuatu yang harus aku ceritakan padamu. Sesuatu yang mungkin akan mengejutkanmu," ucap Reza.“Apa itu?” Bahkan suara Maya tercekat. Reza menarik napas panjang. "Sebenarnya, aku bukan hanya CEO seperti yang kamu pikirkan. Aku ... dulunya hanya anak magang di perusahaan milik ayahmu, Rizal Alendra,"Maya terkejut mendengar pengakuan itu. "Apa?" tanyanya dengan suara agak tercekat. "Kamu ... anak magang di perusahaan ayahku?"Reza mengangguk pelan. "Iya. Dulu aku cuma anak magang yang bekerja keras, tidak pernah terbayangkan bisa sampai di posisi sekarang. Tapi ayahmu, Pak Rizal, dia orang yang baik. Dia yang banyak membantuku, memberi aku kesempatan untuk berkembang. Aku tidak akan bisa sampai sejauh ini tanpa bantuannya,"Maya terdiam. Perasaannya campur aduk."Jadi, kamu sebenarnya … ?""Ya,” potong Reza.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang, Pak? Bagaimana langkah pertama saya?" tanya Maya pada Pak Surya dengan mata berkaca-kaca. Dia terus memandangi gedung tua nan besar itu."Langkah pertama, Anda harus percaya pada diri sendiri, Nona,” Pak Surya justru lebih optimis. “Dan secara teknis, kita bisa mulai dengan merenovasi gedung ini. Sudah lama saya menjaga properti ini agar tetap bertahan, tetapi sekarang saatnya memberikan sentuhan baru. Saya punya beberapa rancangan yang dulu pernah didiskusikan dengan Pak Rizal. Saya akan menunjukkannya pada Anda nanti,""Renovasi gedung? Itu pasti membutuhkan banyak modal. Saya bahkan belum tahu harus mulai dari mana soal dana," Suara Maya meninggi. Tapi di satu sisi, Pak Surya justru tersenyum. "Pak Rizal juga sudah memikirkan itu. Selain properti ini, beliau juga meninggalkan sejumlah dana cadangan untuk Anda, meskipun tidak terlalu besar. Beliau tahu Anda bisa mengembangkannya. Dan saya percaya, dengan kerja keras Anda, dana itu cukup untuk
“Siapa?” tanya Femil berbisik.Nina putar badan. Wajahnya masih pucat. Hingga dia membeku, tidak tahu harus berbuat apa.“Siapa?” ulang Femil. Kali ini dia sambil mengguncang bahu Nina.Nina terperanjat. “Ibu mertuaku,” Dengan cepat, Nina menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. Dia merapikan rambut dan memastikan wajahnya tidak menunjukkan kegugupan apa pun. Setelah merasa siap, dia membuka pintu.“Ibu?” tegur Nina, berusaha tersenyum.Namun Sulastri tidak membalas senyum Nina. Dia justru melirik ke arah Femil, dengan tatapan curiga.“Siapa pria ini, Nina? Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya,” tanya Sulastri terus terang.Nina menegakkan tubuh dan mencoba tersenyum meskipun tangannya sedikit gemetar."Oh, Bu, ini ... ini Femil. Dia adik saya," jawab Nina.“Adik?” Sulastri sedikit memiringkan kepalanya.Tak butuh waktu lama, Femil segera menjabat tangan Sulastri. “Kalau begitu, saya pulang dulu. Karena Kak Nina sudah ada yang menemani,” ucap Femil. Dia begitu tenang, berb
Keesokan paginya, Bima tiba di rumah. Jasnya sudah dilepas sejak di mobil dan dasinya digantung longgar di leher. Dia membuka pintu dan langsung melihat pemandangan yang membuatnya tertegun. Rumah yang biasanya rapi kini berantakan. Barang-barang berserakan di meja dan ada beberapa kantong belanja yang masih tergeletak di lantai.Dari arah dapur, Nina muncul dengan wajah kusut. Dia mengenakan baju santai, rambutnya diikat asal. Dia berjalan mendekat sambil membawa cangkir kopi. Lalu duduk di sofa tanpa sedikit pun menyambut Bima."Apa-apaan ini? Rumah kok kayak kapal pecah begini?" omel Bima."Ya, namanya juga rumah, Sayang. Kan wajar kalau berantakan," balas Nina tak peduli.Bima mengerutkan kening, berjalan melewati barang-barang yang berserakan sambil memunguti beberapa kantong belanja.“Apa yang kamu lakukan seharian sampai rumah bisa berantakan seperti ini?"Nina meneguk kopi santai, lalu menaruh cangkirnya di meja. "Aku tuh capek. Seharian kemarin mengurus rumah sendirian, belum
Ruangan acara Alendra Group tampak hidup dengan suasana penuh kehangatan. Tidak seperti pesta perusahaan pada umumnya, pesta ini kecil. Hanya dihadiri oleh orang-orang yang benar-benar dekat dengan Maya.Maya berdiri di tengah ruangan dengan senyum lebar. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna putih krem, begitu anggun malam ini. Dalam sekejap, dia tidak lagi menjadi Maya yang dulu. Kini, dia adalah CEO Alendra Group, penerus sah dari perusahaan mendiang ayahnya, Rizal Alendra.Reza mendekati Maya dengan senyum lebar, membawa segelas minuman. “Aku masih tidak menyangka kamu berhasil melewati semuanya, May. Alendra Group sudah kembali dan punya pemimpin yang tepat,"Maya tersenyum kecil, menatap Reza dengan mata berbinar. “Semua ini tidak akan terjadi tanpa bantuanmu, Za. Kamu yang selalu percaya padaku, bahkan saat aku sendiri sempat ragu,"Pak Surya, yang duduk di sudut ruangan, tersenyum bangga melihat Maya. Sebagai mantan tangan kanan ayah Maya, dia merasa seolah melihat Rizal Alen
Bima berdiri di kejauhan, tepat di area parkir kantor Alendra Group. Tangannya menggenggam erat setir mobil. Sementara tatapannya terpaku ke arah jendela besar di lantai dua, tempat pesta kecil itu berlangsung. Di sana, dia melihat Maya tersenyum lebar. Dikelilingi oleh orang-orang yang tampak begitu tulus menyayangi dan mendukungnya.Namun, pandangan Bima tertuju pada satu hal yang membuat dadanya terasa sesak—Reza dan kedua orang tuanya berdiri dekat dengan Maya. Terlihat jelas bagaimana Maya berbicara dengan ibu Reza, yang sesekali memegang tangan Maya dengan hangat. Tawa kecil mereka menggema meski tidak terdengar dari tempat Bima berdiri.“Maya … kamu terlihat bahagia sekarang,” gumam Bima pada dirinya sendiri.Dia menunduk sejenak, mengingat semua kenangan bersama Maya. Bagaimana dia dulu selalu meremehkan keberadaan Maya. Sementara sekarang, Maya terlihat seperti menemukan keluarga baru. Sesuatu yang tidak pernah dia berikan sebelumnya.Bima menyandarkan punggungnya ke kursi mo
Esok harinya, Bima berdiri di depan sebuah butik mewah dengan papan nama bertuliskan "Viona Atelier". Bima menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Saat pintu terbuka, lonceng kecil berbunyi. Dan seorang karyawan wanita menyambutnya."Selamat datang di Viona Atelier. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya si karyawan."Saya mencari Viona. Dia ada di sini?" Pandangan Bima menelusuri sekeliling."Tentu, Pak. Silakan tunggu sebentar. Saya akan memanggil beliau," Karyawan itu menunjukkan tempat duduk pada Bima.Bima pilih berdiri di dekat rak gaun, memperhatikan interior butik yang dipenuhi kain-kain berkualitas tinggi. Tidak lama kemudian, Viona muncul dari ruang belakang. Wanita itu tampak begitu menawan, namun juga dingin di satu waktu."Selamat siang, Bima,” sapa Viona sambil tersenyum. “Saya tahu Anda akan datang. Silahkan, ikut saya ke ruangan saya,"Tanpa menunggu jawaban, Viona berbalik dan berjalan ke arah sebuah pintu di belakang butik. Bima mengikuti, merasa sedikit cangg
Nina sedang berbaring di sofa, wajahnya pucat. Dia merintih pelan sambil memegangi perutnya. Beberapa jam terakhir, rasa sakitnya semakin menjadi. Pertanda bahwa waktu melahirkan sudah dekat. Sulastri yang datang menemani Nina, tampak cemas sambil mondar-mandir di ruang tamu.“Bima! Di mana anak itu? Kenapa dia belum pulang? Seharusnya dia ada di sini, menjaga istrinya!” omel Sulastri, mulai panik.Saat itu, sebuah ketukan keras terdengar di pintu depan rumah. Sulastri segera membuka pintu. Dia mendapati seorang kurir berdiri sambil membawa amplop cokelat besar dengan segel resmi dari pengadilan.Sulastri mengambil surat itu dengan raut wajah bingung. Dia membaca nama pengirimnya dan langsung terkejut.“Pengadilan ... apa ini?”
Raka menelan ludah. Berusaha tetap tenang meski kepalanya terasa berdenyut hebat. Dia melirik sekilas ke luar ruangan. Femil masih berdiri di sana, seolah menunggu dan mengawasinya.Bima menatapnya tajam. “Aku tunggu sampai kamu mau bicara,”Raka menghela napas panjang, mencoba menyusun jawaban yang masuk akal. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Tidak dengan Femil yang berdiri di sana, dengan belati tersembunyi di balik jaketnya.“Nina memberiku uang untuk usaha,” jawab Raka.Alis Bima terangkat. “Usaha?”Raka mengangguk. “Aku dan Vina berencana membuka usaha. Kami sudah lama membicarakannya. Tadinya aku mau cari modal sendiri, tapi Nina tahu rencana ini dan menawarkan bantuan. Itu saja,”Bima menatapnya lama, seolah menimbang kebenaran dari kata-kata Raka.“Usaha apa?” tanya Bima akhirnya.Raka menghela napas. “Kami ingin membuka butik kecil. Vina sudah lama ingin punya bisnis sendiri,”Ekspresi Bima tetap tajam. “Kenapa Nina tidak bilang apa-apa padaku soal ini?”Raka ber
Raka menghela napas panjang. Lalu bersandar ke kursi, mencoba menunjukkan ekspresi tenang meskipun hatinya berdebar. “Aku sudah bilang, kan? Itu bukan urusanmu, Kak. Uang itu adalah urusan pribadiku dengan Nina,”Bima mendekat lagi, tangannya bertumpu di meja kerja Raka. Sorot matanya semakin tajam, penuh kecurigaan. "Uang ratusan juta itu berasal dari kartuku. Jadi, tentu menjadi urusanku sekarang,"Raka terdiam. Dia tahu Bima tidak akan menyerah sampai mendapatkan jawaban yang dia inginkan.“Atau aku harus bicara langsung dengan Nina?” tanya Bima, karena Raka tidak lagi bicara.Raka menatap Bima dengan rahang mengeras. Dia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat."Aku sedang butuh uang dan Nina menawarkan bantuan," jawab Raka. Hanya itu yang terlintas di otaknya sekarang.Bima menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban itu. "Butuh uang? Untuk apa?"Raka menggeram pelan. "Kamu tidak perlu tahu," katanya keras.Ruangan itu terasa semakin sempit karena tatapan tajam Bima yang ti
Bima duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Matanya terpaku pada laporan transaksi kartu kredit yang baru saja dia terima melalui email dari bank. Sebuah transaksi besar—ratusan juta rupiah—keluar dari salah satu kartunya.Dia menggeser kursi sedikit mendekat. Matanya menyusuri setiap detail laporan itu. Waktu transaksi, tempat, dan jumlah yang tertera membuat hatinya mulai dipenuhi tanda tanya. Dia tidak ingat pernah mengeluarkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.Dengan rahang mengeras, Bima menghela napas dalam. Dia berusaha mengingat, tapi tidak ada satu pun pengeluaran yang sesuai dengan nominal tersebut.Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dan menekan nomor layanan bank. Setelah beberapa nada sambung, suara operator wanita menjawab.“Selamat siang, Pak Bima. Ada yang bisa kami bantu?”“Saya ingin konfirmasi transaksi di kartu kredit saya. Ada jumlah yang tidak saya kenali,” Bima langsung ke intinya.Operator itu meminta beberapa detail untuk
Maya masih berdiri di tempat, hatinya diliputi kebingungan. Kenapa Bima ada di sini?Bima yang masih berdiri di depan nisan orang tua Maya, menundukkan kepalanya sejenak. Seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat. Udara di pemakaman terasa hening, hanya suara dedaunan yang berguguran terbawa angin yang terdengar di antara mereka."Aku datang ke sini bukan untuk mengganggumu, May," kata Bima akhirnya. Suaranya terdengar berat. "Aku hanya ingin melayat. Aku merasa bersalah pada ayah dan ibumu … ""Merasa bersalah?" ulang Maya, dingin.Bima menarik napas panjang, lalu berjongkok di depan nisan. Tangannya menyentuh batu dingin itu dengan penuh hati-hati, seolah sedang berbicara langsung kepada orang yang telah tiada. "Mereka menerimaku dengan baik saat aku menikah denganmu. Mereka mempercayaiku, menganggapku bagian dari keluarga. Aku berjanji di hadapan mereka untuk menjaga dan membahagiakanmu … tapi aku gagal," jelas Bima.Maya mengerutkan kening. “Semua sudah berlalu … “"Aku mengkh
Maya menutup mulut dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menatap Reza, kemudian orang tua pria itu. Yang tampak begitu bahagia dan penuh harap.Segalanya terasa seperti mimpi. Tak pernah terpikir oleh Maya bahwa malam ini akan menjadi momen di mana hidupnya akan berubah selamanya.“Maya?” panggil Reza. Kali ini sedikit lebih khawatir karena wanita di hadapannya masih belum merespons.Maya menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.Hingga akhirnya, dia mengangguk. “Ya … Aku mau,”Seolah dunia berhenti berputar sejenak.Seketika suara tepuk tangan terdengar dari orang tua Reza. Bahkan beberapa tamu di restoran yang menyaksikan momen tersebut ikut bersorak.Reza tersenyum lega, lalu dengan hati-hati menyematkan cincin itu ke jari manis Maya. Setelahnya dia bangkit dan langsung menarik Maya ke dalam pelukannya.“Terima kasih. Aku sangat bahagia sekarang,” bisik Reza sambil memeluk M
Maya melangkah keluar dengan gaun sederhana berwarna biru tua. Rambutnya yang tergerai lembut berayun setiap kali dia melangkah. Maya sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu, tapi tetap merasa sedikit gugup.Begitu dia sampai di lobi, Reza turun dari mobil dan berjalan menghampirinya. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Begitu menawan. Senyum khasnya langsung menghangatkan hati Maya.“Kamu cantik,” puji Reza. Matanya menelusuri wajah Maya dengan penuh kekaguman.Maya tersipu. “Terima kasih. Kamu juga terlihat … luar biasa,” balasnya.Reza terkekeh pelan. “Jadi, siap untuk makan malam?”Maya mengangguk. “Tapi … kita mau makan di mana?”Reza membuka pintu mobil untuk Maya. “Itu kejutan,” katanya sambil tersenyum misterius.Maya menaiki mobil dan duduk, sementara Reza menutup pintu dan segera mengambil tempat di belakang kemudi. Mobil melaju perlahan meninggalkan apartemen. Lampu kota mulai menyala satu per satu, tampak begitu indah.“Setidaknya b
Siang itu, suasana rumah keluarga Harjono terasa lebih ramai dari biasanya. Meja panjang di tengah ruangan dihiasi dengan piring-piring berisi berbagai masakan mulai dari ayam panggang, sup hangat, hingga aneka lauk yang menggugah selera.Harjono sebagai kepala keluarga, duduk di kursi utama. Di sampingnya Sulastri tampak sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk. Wajahnya berseri-seri, terutama saat melihat Abi yang digendong oleh seorang pengasuh di dekat meja makan.“Lihat bayi kecil ini,” kata Sulastri. “Abi makin besar dan tampan saja. Dia benar-benar cucu kebanggaan keluarga Harjono,”Nina yang duduk di sebelah Bima hanya tersenyum tipis sambil melirik ke arah Sulastri.“Tentu saja,” sahut Harjono sambil menyantap makanan. “Abi adalah penerus keluarga ini,”“Ibu, bagaimana kabar toko?” Vina berusaha mengalihkan pembicaraan.Sulastri tersenyum dan mulai berbicara panjang lebar tentang tokonya. Dia memutuskan untuk membuka toko sembako beberapa bulan lalu, untuk mengisi waktu luang.D
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Nina mendengar suara mobil Bima memasuki garasi. Dia segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, menyambut suaminya dengan senyum manis yang sudah dia latih sepanjang hari.“Sayang, kamu sudah pulang,” sapa Nina lembut saat Bima melangkah masuk ke dalam rumah.Bima tampak lelah. Dasi di lehernya sudah sedikit longgar dan kemejanya kusut setelah seharian bekerja.“Iya. Hari ini benar-benar melelahkan.” Bima menghela napas panjang sambil melepas sepatu.Nina dengan sigap menerima tas kerja Bima dan meletakkannya di meja. “Kamu mau makan dulu atau langsung mandi?” tanyanya dengan suara lembut.Bima mengusap wajahnya. “Mungkin mandi dulu biar segar,”Nina mengangguk mengerti. “Aku sudah siapkan air hangat di kamar mandi,”“Terima kasih,” jawab Bima singkat sebelum berjalan ke kamar mereka.***Setelah beberapa saat, Bima keluar dari kamar mandi dengan piyama. Dia duduk di tepi ranjang sambil mengecek ponsel, sesekali membalas pesan yang m
Suasana bengkel yang tadinya bising dengan suara mesin kini terasa sunyi di antara mereka. Seolah waktu melambat.“Aku tidak butuh tes DNA itu,” kata Nina keras. “Aku yakin, Abi itu anak Bima,”Femil menyipitkan mata, ekspresinya berubah dingin. “Kamu datang padaku, meminta bantuanku. Tapi kamu masih yakin Abi adalah anak Bima?”Nina menghela napas dengan frustrasi. “Ini bukan soal siapa ayah Abi!” teriak Nina. Aku butuh uang, dan kamu satu-satunya orang yang bisa membantuku sekarang,"Femil terkekeh sinis, menyilangkan tangannya di dada. “Kamu pikir aku akan membuang uang lima puluh juta begitu saja untukmu tanpa alasan yang jelas? Aku hanya butuh kepastian,"Nina mendengus. "Femil, tolonglah. Kamu tahu aku tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa kumintai tolong," mohon Nina. Dari ekspresinya, tampak jelas kalau dia sangat putus asa.Femil menatapnya tajam. “Jika kamu yakin Abi itu anak Bima, kenapa tidak langsung meminta bantuannya? Kenapa malah datang kepadaku?"Nina terdiam. Dia t