Bima tampak tidak terima dengan nada Maya. “Aku hanya ingin membantumu! Kamu itu masih istriku, sadarlah!”"Kalau kamu menganggap aku istrimu, kamu tidak akan melakukan semua ini sejak awal," balas Maya cepat. "Dan sekarang, kalau kamu benar-benar ingin membantuku, satu-satunya yang bisa kamu lakukan adalah keluar dari hidupku,"Maya menghela napas panjang. Mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. “Kalau aku harus berjuang keras untuk hidupku, itu lebih baik daripada kembali ke sisimu,"Bima mulai kehilangan kesabaran. "Kamu selalu menyalahkan aku, Maya!” Nada suaranya meninggi. “Aku tahu aku salah, tapi kamu tidak bisa terus menghakimiku. Aku sudah mencoba memperbaiki semuanya!""Memperbaiki?!" Maya hampir berteriak. "Kamu menikahi wanita lain, menghancurkan bisnis yang aku bangun dengan susah payah, dan sekarang kamu bilang ingin memperbaiki? Kamu cuma ingin aku tetap di bawah kendalimu!"Bima menggeram, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Dia tiba-tiba mendorong Maya masuk
Malam ini seperti biasa, keluarga Harjono berkumpul untuk makan malam. Bima duduk di ruang makan bersama keluarga besar Harjono, wajahnya penuh semangat. Semua perhatian tertuju padanya."Kalian semua harus tahu," Bima memulai. Sengaja mengambil jeda untuk memastikan semua mata tertuju padanya. "Aku baru saja mendapat konfirmasi bahwa aku akan mengadakan rapat kerjasama dengan salah satu CEO perusahaan besar minggu depan. CEO ini ... benar-benar sosok yang berpengaruh di industri,""CEO apa, Sayang? Apa perusahaan itu?" tanya Nina, tampak tertarik.Bima tersenyum lebar. "Perusahaan properti besar, yang sudah memiliki proyek di hampir seluruh kota besar di negeri ini. CEO-nya terkenal karena kepiawaiannya dalam membangun kemitraan strategis dan ... yah, keputusannya selalu membawa keuntungan besar bagi siapa saja yang bekerja dengannya," jelas Bima. Matanya berbinar saat menjelaskan."Hebat sekali, Bima! Kalau bisa bekerjasama dengan perusahaan besar seperti itu, reputasi perusahaanmu
Keesokan paginya, Vina keluar dari kamar dengan wajah masih sedikit lelah. Namun langkahnya terhenti di ujung lorong ketika dia mendengar suara tawa pelan dari ruang TV. Penasaran, dia mengintip dari balik dinding. Di sana, Sulastri dan Nina tampak duduk bersebelahan di sofa, bercakap-cakap dengan hangat."Bu, coba yang ini. Manis banget, aku beli di pasar pagi tadi," ucap Nina. Sulastri mengambil potongan buah itu dan mengangguk puas. "Iya, manis sekali. Kamu ini telaten sekali, Nina. Masak enak, perhatian pula. Bima memang beruntung dapat kamu." Nada bangga terdengar jelas dalam suara Sulastri. “Bima justru semakin sukses setelah menikah denganmu,”Vina merasakan dadanya berdenyut sakit. Pujian seperti itu dulu sering dia dengar dari Sulastri untuknya. Namun, kehadiran Nina kini seolah mencuri perhatian mertuanya.Vina merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan keluar dari balik dinding dengan senyum dipaksakan."Wah, kelihatannya seru banget obrolannya. Lagi ngomongin apa, Bu
Maya menatap Vina dengan tatapan sedikit miris. Namun dia mencoba menjaga sikap. “Aku tidak bisa memutuskan sekarang, Vin. Kamu juga tahu sendiri, bisnisku baru saja gagal,” jelas Maya.Vina mengangguk, meski terlihat sedikit kecewa. "Aku mengerti, Kak Maya. Aku harap Kak Maya bisa mempertimbangkannya. Aku tidak tahu harus minta tolong ke siapa lagi,"Percakapan itu diakhiri dengan keheningan yang canggung. Vina akhirnya pamit, meninggalkan Maya. Di satu sisi, Maya merasa kasihan pada Vina. Tetapi di sisi lain, dia juga tahu bahwa keluarga Harjono telah menjadi salah satu alasan utama kehancurannya.Tak lama setelah Vina pergi, Hana masuk ke ruang kerja Maya. Dia membawa segelas kopi untuk Maya, lalu meletakkannya di meja."Tadi aku lihat Vina keluar dari sini," kata Hana dengan nada penasaran sambil duduk di kursi di depan Maya. "Mau apa dia dari kamu?"Maya menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Banyak hal,” jawab Maya datar. “Dia bilang, dia lebih suka aku daripad
Presentasi dimulai dengan proyektor yang menampilkan slide pertama. Bima berdiri di depan layar, tangannya menggenggam pointer dengan erat. Dia berusaha berbicara dengan nada percaya diri, tetapi ada rasa gelisah yang terpancar dari matanya. Sesekali dia melirik ke arah Reza, yang duduk di kursi utama dengan ekspresi tenang."Seperti yang Anda lihat," Bima memulai. “Proyek ini dirancang untuk memberikan keuntungan jangka panjang melalui pendekatan inovatif dalam pengelolaan properti,"Penjelasan Bima terdengar lancar, tapi pikirannya terpecah. Fakta bahwa Reza adalah CEO perusahaan besar yang selama ini dia puja di depan keluarganya benar-benar seperti pukulan telak.Reza tetap diam, hanya menatap presentasi di depan matanya. Ekspresi wajahnya sulit ditebak, tetapi tatapan matanya tajam. Di sisi lain, Bima mulai kehilangan fokus. Dia beberapa kali mengulang poin yang sama, membuat beberapa anggota timnya melirik bingung."Apakah Anda memiliki proyeksi rinci untuk lima tahun ke depan?"
Bima masuk ke rumah dengan langkah berat. Dengan wajah penuh amarah, dia melempar jasnya ke lantai. Tas kerjanya dilempar ke arah meja, tapi malah meluncur ke lantai dengan suara gedebuk yang nyaring.Bima menghempaskan tubuh ke sofa dan tangannya mencengkeram rambut frustrasi."Sialan!" umpatnya dengan suara keras, memecah keheningan ruang tamu. “Berani-beraninya dia mengancamku!” Pikirannya terus dipenuhi bayangan Reza dan kata-kata tajam yang dilontarkan di ruang rapat tadi."Reza sialan!" teriaknya lagi, kali ini lebih keras. Tangan Bima meraih bantal sofa dan melemparkannya ke meja. Bantal itu jatuh ke lantai, tapi Bima tidak peduli.Setelah dia berhasil mengatur napasnya, Bima mulai menyadari ada sesuatu yang ganjil di rumahnya. Rumah itu begitu kosong, tidak ada tanda-tanda keberadaan Nina.“Nin? Nina?” teriak Bima, memanggil Nina.Tapi tidak ada respon. Kemudian Bima berusaha mengingat kembali, dan memang tidak ada mobil Nina di halaman depan.Bima mendengus kesal, lantas bang
Suasana sekitar mereka yang semula ceria kini terasa lebih serius, lebih mendalam. Reza menatap Maya dengan tatapan dalam, seolah siap untuk menceritakan sebuah rahasia besar."Ada sesuatu yang harus aku ceritakan padamu. Sesuatu yang mungkin akan mengejutkanmu," ucap Reza.“Apa itu?” Bahkan suara Maya tercekat. Reza menarik napas panjang. "Sebenarnya, aku bukan hanya CEO seperti yang kamu pikirkan. Aku ... dulunya hanya anak magang di perusahaan milik ayahmu, Rizal Alendra,"Maya terkejut mendengar pengakuan itu. "Apa?" tanyanya dengan suara agak tercekat. "Kamu ... anak magang di perusahaan ayahku?"Reza mengangguk pelan. "Iya. Dulu aku cuma anak magang yang bekerja keras, tidak pernah terbayangkan bisa sampai di posisi sekarang. Tapi ayahmu, Pak Rizal, dia orang yang baik. Dia yang banyak membantuku, memberi aku kesempatan untuk berkembang. Aku tidak akan bisa sampai sejauh ini tanpa bantuannya,"Maya terdiam. Perasaannya campur aduk."Jadi, kamu sebenarnya … ?""Ya,” potong Reza.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang, Pak? Bagaimana langkah pertama saya?" tanya Maya pada Pak Surya dengan mata berkaca-kaca. Dia terus memandangi gedung tua nan besar itu."Langkah pertama, Anda harus percaya pada diri sendiri, Nona,” Pak Surya justru lebih optimis. “Dan secara teknis, kita bisa mulai dengan merenovasi gedung ini. Sudah lama saya menjaga properti ini agar tetap bertahan, tetapi sekarang saatnya memberikan sentuhan baru. Saya punya beberapa rancangan yang dulu pernah didiskusikan dengan Pak Rizal. Saya akan menunjukkannya pada Anda nanti,""Renovasi gedung? Itu pasti membutuhkan banyak modal. Saya bahkan belum tahu harus mulai dari mana soal dana," Suara Maya meninggi. Tapi di satu sisi, Pak Surya justru tersenyum. "Pak Rizal juga sudah memikirkan itu. Selain properti ini, beliau juga meninggalkan sejumlah dana cadangan untuk Anda, meskipun tidak terlalu besar. Beliau tahu Anda bisa mengembangkannya. Dan saya percaya, dengan kerja keras Anda, dana itu cukup untuk
Raka tampak semakin gelisah. Sejenak dia mengelus tengkuk, seakan mencoba untuk menata hati sebelum bicara."Maya, aku butuh perlindunganmu," ujar Raka.Maya mengernyit. "Perlindungan?"Raka mengangguk, ekspresinya tegang. "Aku akan mengungkap sebuah rahasia. Rahasia yang bisa membuatku dalam bahaya,"Jantung Maya berdegup lebih cepat. "Apa maksudmu? Rahasia apa?"Raka menatapnya dalam-dalam. Lalu menunduk sesaat seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Ini soal Nina… dan sesuatu yang lebih besar dari itu,"Maya bisa merasakan ketakutan dalam suara Raka. Dia bukan pria yang mudah takut. Tetapi kali ini, wajahnya menunjukkan kecemasan."Aku akan memberitahumu semuanya sekarang. Aku tahu sesuatu yang akan mengubah segalanya," lanjut Raka. "Dan aku butuh tempat yang aman. Aku tidak bisa pulang ke rumah. Femil sudah mengancam akan membunuh istri dan anakku jika aku buka mulut,"Maya mengepalkan tangannya di atas meja. “Apa yang kamu tahu?”Raka menarik napas dalam-dalam sebelum menja
Femil berdiri dengan santai. Senyum tipis penuh kemenangan terukir di wajahnya. Sementara Nina menyilangkan tangan di dada, memandang Maya dengan tatapan penuh kebencian.“Pergilah. Jika kau masih sayang nyawamu,” ancam Femil sekali lagi.Maya menatap keduanya dengan tajam sebelum menghembuskan napas panjang. Dia melangkah mundur, lalu berbalik menuju pintu keluar.Saat tangan Maya menyentuh kenop pintu, dia berhenti sejenak dan berkata tanpa menoleh. “Aku akan mendapatkan rumahku kembali, entah bagaimana caranya. Nikmati kemenangan sementara kalian,”Setelah itu, Maya membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi.Begitu Maya benar-benar pergi, Nina berbalik dan langsung meraih tubuh Femil. Melingkarkan lengannya di leher pria itu. Senyum kemenangan terukir di wajahnya.“Kita berhasil menyingkirkannya,” pekik Nina, tubuhnya menempel erat pada Femil.Femil terkekeh, tangannya otomatis melingkari pinggang Nina. Menariknya lebih dekat. “Tentu saja. Aku akan melakukan apapun untu
Maya menekan bel. Butuh beberapa saat sebelum pintu terbuka, dan sosok yang muncul di hadapannya adalah seseorang yang sudah tidak asing lagi—Nina.“Maya?” Nina terdengar terkejut, alisnya berkerut. Jelas, dia tidak menyangka Maya akan datang.Maya menatap Nina tanpa gentar. “Aku datang untuk mengambil kembali rumahku,”Nina tertawa sinis, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu dengan tangan terlipat di dada. “Rumahmu? Rumah ini milik Bima sekarang. Kau tidak punya hak lagi di sini,”Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarahnya. “Rumah ini masih atas orang tuaku. Aku tidak pernah menyerahkannya secara legal pada siapa pun. Jadi, aku akan mengambilnya kembali,”Mata Nina membulat. “Kau pikir semudah itu? Bima yang tinggal di sini, aku istrinya, jadi—”“Tidak ada hubungannya,” potong Maya tajam. Nina terdiam, rahangnya menegang. Sejenak ekspresi panik terlihat di wajahnya. Sebelum dia kembali memasang senyum liciknya.“Dengar, Maya. Aku tidak peduli. Yang jelas, rumah ini s
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau