Maya menatap Vina dengan tatapan sedikit miris. Namun dia mencoba menjaga sikap. “Aku tidak bisa memutuskan sekarang, Vin. Kamu juga tahu sendiri, bisnisku baru saja gagal,” jelas Maya.Vina mengangguk, meski terlihat sedikit kecewa. "Aku mengerti, Kak Maya. Aku harap Kak Maya bisa mempertimbangkannya. Aku tidak tahu harus minta tolong ke siapa lagi,"Percakapan itu diakhiri dengan keheningan yang canggung. Vina akhirnya pamit, meninggalkan Maya. Di satu sisi, Maya merasa kasihan pada Vina. Tetapi di sisi lain, dia juga tahu bahwa keluarga Harjono telah menjadi salah satu alasan utama kehancurannya.Tak lama setelah Vina pergi, Hana masuk ke ruang kerja Maya. Dia membawa segelas kopi untuk Maya, lalu meletakkannya di meja."Tadi aku lihat Vina keluar dari sini," kata Hana dengan nada penasaran sambil duduk di kursi di depan Maya. "Mau apa dia dari kamu?"Maya menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Banyak hal,” jawab Maya datar. “Dia bilang, dia lebih suka aku daripad
Presentasi dimulai dengan proyektor yang menampilkan slide pertama. Bima berdiri di depan layar, tangannya menggenggam pointer dengan erat. Dia berusaha berbicara dengan nada percaya diri, tetapi ada rasa gelisah yang terpancar dari matanya. Sesekali dia melirik ke arah Reza, yang duduk di kursi utama dengan ekspresi tenang."Seperti yang Anda lihat," Bima memulai. “Proyek ini dirancang untuk memberikan keuntungan jangka panjang melalui pendekatan inovatif dalam pengelolaan properti,"Penjelasan Bima terdengar lancar, tapi pikirannya terpecah. Fakta bahwa Reza adalah CEO perusahaan besar yang selama ini dia puja di depan keluarganya benar-benar seperti pukulan telak.Reza tetap diam, hanya menatap presentasi di depan matanya. Ekspresi wajahnya sulit ditebak, tetapi tatapan matanya tajam. Di sisi lain, Bima mulai kehilangan fokus. Dia beberapa kali mengulang poin yang sama, membuat beberapa anggota timnya melirik bingung."Apakah Anda memiliki proyeksi rinci untuk lima tahun ke depan?"
Bima masuk ke rumah dengan langkah berat. Dengan wajah penuh amarah, dia melempar jasnya ke lantai. Tas kerjanya dilempar ke arah meja, tapi malah meluncur ke lantai dengan suara gedebuk yang nyaring.Bima menghempaskan tubuh ke sofa dan tangannya mencengkeram rambut frustrasi."Sialan!" umpatnya dengan suara keras, memecah keheningan ruang tamu. “Berani-beraninya dia mengancamku!” Pikirannya terus dipenuhi bayangan Reza dan kata-kata tajam yang dilontarkan di ruang rapat tadi."Reza sialan!" teriaknya lagi, kali ini lebih keras. Tangan Bima meraih bantal sofa dan melemparkannya ke meja. Bantal itu jatuh ke lantai, tapi Bima tidak peduli.Setelah dia berhasil mengatur napasnya, Bima mulai menyadari ada sesuatu yang ganjil di rumahnya. Rumah itu begitu kosong, tidak ada tanda-tanda keberadaan Nina.“Nin? Nina?” teriak Bima, memanggil Nina.Tapi tidak ada respon. Kemudian Bima berusaha mengingat kembali, dan memang tidak ada mobil Nina di halaman depan.Bima mendengus kesal, lantas bang
Suasana sekitar mereka yang semula ceria kini terasa lebih serius, lebih mendalam. Reza menatap Maya dengan tatapan dalam, seolah siap untuk menceritakan sebuah rahasia besar."Ada sesuatu yang harus aku ceritakan padamu. Sesuatu yang mungkin akan mengejutkanmu," ucap Reza.“Apa itu?” Bahkan suara Maya tercekat. Reza menarik napas panjang. "Sebenarnya, aku bukan hanya CEO seperti yang kamu pikirkan. Aku ... dulunya hanya anak magang di perusahaan milik ayahmu, Rizal Alendra,"Maya terkejut mendengar pengakuan itu. "Apa?" tanyanya dengan suara agak tercekat. "Kamu ... anak magang di perusahaan ayahku?"Reza mengangguk pelan. "Iya. Dulu aku cuma anak magang yang bekerja keras, tidak pernah terbayangkan bisa sampai di posisi sekarang. Tapi ayahmu, Pak Rizal, dia orang yang baik. Dia yang banyak membantuku, memberi aku kesempatan untuk berkembang. Aku tidak akan bisa sampai sejauh ini tanpa bantuannya,"Maya terdiam. Perasaannya campur aduk."Jadi, kamu sebenarnya … ?""Ya,” potong Reza.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang, Pak? Bagaimana langkah pertama saya?" tanya Maya pada Pak Surya dengan mata berkaca-kaca. Dia terus memandangi gedung tua nan besar itu."Langkah pertama, Anda harus percaya pada diri sendiri, Nona,” Pak Surya justru lebih optimis. “Dan secara teknis, kita bisa mulai dengan merenovasi gedung ini. Sudah lama saya menjaga properti ini agar tetap bertahan, tetapi sekarang saatnya memberikan sentuhan baru. Saya punya beberapa rancangan yang dulu pernah didiskusikan dengan Pak Rizal. Saya akan menunjukkannya pada Anda nanti,""Renovasi gedung? Itu pasti membutuhkan banyak modal. Saya bahkan belum tahu harus mulai dari mana soal dana," Suara Maya meninggi. Tapi di satu sisi, Pak Surya justru tersenyum. "Pak Rizal juga sudah memikirkan itu. Selain properti ini, beliau juga meninggalkan sejumlah dana cadangan untuk Anda, meskipun tidak terlalu besar. Beliau tahu Anda bisa mengembangkannya. Dan saya percaya, dengan kerja keras Anda, dana itu cukup untuk
“Siapa?” tanya Femil berbisik.Nina putar badan. Wajahnya masih pucat. Hingga dia membeku, tidak tahu harus berbuat apa.“Siapa?” ulang Femil. Kali ini dia sambil mengguncang bahu Nina.Nina terperanjat. “Ibu mertuaku,” Dengan cepat, Nina menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. Dia merapikan rambut dan memastikan wajahnya tidak menunjukkan kegugupan apa pun. Setelah merasa siap, dia membuka pintu.“Ibu?” tegur Nina, berusaha tersenyum.Namun Sulastri tidak membalas senyum Nina. Dia justru melirik ke arah Femil, dengan tatapan curiga.“Siapa pria ini, Nina? Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya,” tanya Sulastri terus terang.Nina menegakkan tubuh dan mencoba tersenyum meskipun tangannya sedikit gemetar."Oh, Bu, ini ... ini Femil. Dia adik saya," jawab Nina.“Adik?” Sulastri sedikit memiringkan kepalanya.Tak butuh waktu lama, Femil segera menjabat tangan Sulastri. “Kalau begitu, saya pulang dulu. Karena Kak Nina sudah ada yang menemani,” ucap Femil. Dia begitu tenang, berb
Keesokan paginya, Bima tiba di rumah. Jasnya sudah dilepas sejak di mobil dan dasinya digantung longgar di leher. Dia membuka pintu dan langsung melihat pemandangan yang membuatnya tertegun. Rumah yang biasanya rapi kini berantakan. Barang-barang berserakan di meja dan ada beberapa kantong belanja yang masih tergeletak di lantai.Dari arah dapur, Nina muncul dengan wajah kusut. Dia mengenakan baju santai, rambutnya diikat asal. Dia berjalan mendekat sambil membawa cangkir kopi. Lalu duduk di sofa tanpa sedikit pun menyambut Bima."Apa-apaan ini? Rumah kok kayak kapal pecah begini?" omel Bima."Ya, namanya juga rumah, Sayang. Kan wajar kalau berantakan," balas Nina tak peduli.Bima mengerutkan kening, berjalan melewati barang-barang yang berserakan sambil memunguti beberapa kantong belanja.“Apa yang kamu lakukan seharian sampai rumah bisa berantakan seperti ini?"Nina meneguk kopi santai, lalu menaruh cangkirnya di meja. "Aku tuh capek. Seharian kemarin mengurus rumah sendirian, belum
Ruangan acara Alendra Group tampak hidup dengan suasana penuh kehangatan. Tidak seperti pesta perusahaan pada umumnya, pesta ini kecil. Hanya dihadiri oleh orang-orang yang benar-benar dekat dengan Maya.Maya berdiri di tengah ruangan dengan senyum lebar. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna putih krem, begitu anggun malam ini. Dalam sekejap, dia tidak lagi menjadi Maya yang dulu. Kini, dia adalah CEO Alendra Group, penerus sah dari perusahaan mendiang ayahnya, Rizal Alendra.Reza mendekati Maya dengan senyum lebar, membawa segelas minuman. “Aku masih tidak menyangka kamu berhasil melewati semuanya, May. Alendra Group sudah kembali dan punya pemimpin yang tepat,"Maya tersenyum kecil, menatap Reza dengan mata berbinar. “Semua ini tidak akan terjadi tanpa bantuanmu, Za. Kamu yang selalu percaya padaku, bahkan saat aku sendiri sempat ragu,"Pak Surya, yang duduk di sudut ruangan, tersenyum bangga melihat Maya. Sebagai mantan tangan kanan ayah Maya, dia merasa seolah melihat Rizal Alen
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau
Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel
Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah
Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.