"Bapak tidak pernah main karet jadi tidak tahu sama sekali." Bapak menjawab tanpa menoleh ke arahku yang ada di bangku tengah. Aku tepuk jidat saat menyadari telah bertanya pada orang yang tidak tepat. Sama halnya dengan aku, cinta pertamaku itu memang tidak tahu tentang dunia karet. Beliau tidak pernah memiliki kebun karet bagaimana bisa tahu tentang hal itu. Pun dengan dua abang tiriku itu. Mereka baru mau bermain karet. Selama ini mata pencaharian Bang Zaki maupun Bang Sukri adalah pedagang. Bukan petani. Mereka pun tidak tahu akan hal ini."Bisa. Ada dua cara menyadap dua hektar seorang diri. Pertama dikerjakan langsung dua hektar di setiap paginya. Bagi yang sudah terbiasa mah tidak capek. Tapi, bagi pemula cukup menguras tenaga. cara kerjanya pun tidak santai. Dari satu batang ke batang yang lain harus berlari. Bagi yang sudah biasa mulai dari jam lima subuh jam sepuluh siang sudah selesai. Untuk pemula dari jam lima subuh beres jam dua belas siang." Aku menyimak penjelasan Ban
"Ibu tinggal di daerah sini?" Aku berbasa-basi sembari tersenyum kecil."Sebenarnya, di desa sebelah Mbak. Biasanya kami belanja di toko Ralia. Tapi, semenjak tahu dia pelakor kok jadi malas belanja di sana." Nggak profesional. Belanja-belanja aja toh, yang direbut juga bukan suaminya. Dasar emak-emak aneh. "Kan bukan suami ibu yang direbut. Kenapa jadi tidak mau belanja di sana?" Pertanyaan Mbak puji mewakili isi hatiku."Mbaknya nggak tahu sih. Dulu setiap kami belanja selalu dicurhati tentang kebaikan suaminya. Eh, bukan curhat tepatnya pamer sampai saya jengah. Tapi, ketika ditanya kenapa masih menikah siri? Dia bilang mertuanya belum merestui. Selama ini saya percaya aja. Kejadian kemarin membongkar semua kebohongannya. Saya paling muak sama orang yang suka bohong, Mbak. Makanya mending cari yang jauh. Ogah belanja lagi sama dia." Aku hanya bisa menghela napas tanpa bisa menjawab apa-apa."Sebentar lagi tokonya pasti bangkrut itu, Mbak. Karena warung-warung yang biasa belanja d
Desti rela menggadaikan rumahnya meski ditentang oleh keluarganya demi lelaki yang dicintainya. Mas Radit. Meskipun saat itu mas Radit belum membuka hati untuk Desti. Tapi, di dalam tulisannya perempuan itu sangat yakin bisa menaklukkan hati lelaki pujaannya setelah bisa menyelesaikan hutang yang melilit mas Radit. Hutang hingga ratusan juta.Mas Radit memiliki hutang? Hingga ratusan juta? Untuk apa? Kenapa dia tidak pernah cerita padaku? Kenapa malah memilih wanita lain untuk menyelesaikan masalah sebesar itu? Sebenarnya pengkhianatan ini memang berasal dari mas Radit. Kenapa dia membuka celah pada perempuan lain? Padahal, saat itu aku mampu untuk melunasi hutang-hutangnya itu. Ah, dasar lelaki murahan. Tapi, ada rasa syukur saat menyadari hikmah di balik semua ini. Aku bersyukur kala itu mas Radit itu tidak bercerita padaku. Jika waktu itu dia jujur padaku tentang masalahnya, sudah pasti aku akan menjual kebun karet lima hektar itu untuk membayar hutang-hutangnya. Hingga aku tak m
POV Radit"Bang, aku tidak mau tahu. Kamu harus segera mencarikan uang untuk DP mobil. Jangan sampai kita habis hajatan tidak terlihat membeli sesuatu yang baru." Desti sudah merepet pagi-pagi. Kami baru saja selesai sarapan.Aku meneguk segelas air putih hingga tandas. Otakku bekerja dengan keras. Dari mana dapat uang sebesar puluhan juta dalam waktu dekat? Uang hasil hajatan hanya cukup untuk membayar sewa-sewa serta daging sapi yang lumayan banyak. Tamunya memang banyak yang datang, tapi uang kondangannya tak seberapa."Bang, cepat gerak dong. Jangan hanya melamun dan menunggu keajaiban." Desti bangkit dari tempat duduknya. Piring kotor ia tumpuk, dibawanya ke wastafel."Pagi ini Abang mau ke rumah Kang Paimin. Setelahnya Abang akan ke rumah Pak Nardi mau kasbon." Aku berdiri dari duduk. Berjalan ke arah kulkas. Mengambil kunci motor yang disimpan di atasnya. "Pulang harus membawa hasil!" Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Desti. Aku maklum dengan segala perubahannya. Dia jadi
"Tenang dulu, Mas. Diminum dulu teh manisnya." Kang Paimin menyodorkan segelas teh hangat padaku. Aku sampai tidak menyadari kapan istrinya menyuguhkan minum hangat itu. Biasanya aku akan meminumnya hingga tandas. Tapi, tidak kali ini. Aku tak berselera.Aku berdiri dari tempat duduk setelah menyambar uang dalam plastik kresek tadi."Kang, aku pamit." Segera kubawa langkah kaki meninggalkan rumah Kang Paimin. Kubawa motor melaju ke arah kebun. "Siapa yang menyuruh kalian menyadap di tempat saya?" Kudekati lelaki kerempeng yang sedang menderes getah itu. Dia mendongak, menatapku yang sedang berkacak pinggang. "Yang menyuruh saya? Ya yang punya tanahlah, Mas! Ini kebun milik Pak Randu. Kalau mau marah-marah atau komplain silakan hubungi beliau. Saya hanya orang suruhannya." Enteng sekali mulut itu menjawab. Ketenangan pria itu justru membuat emosiku semakin menjadi-jadi."Telepon sekarang bosmu! Suruh ke sini sekarang. Hadapi saya!" Kutepuk dada ini agar dia paham aku tak terima de
POV Desti[Bang. Kamu di mana? Kok nggak pulang-pulang. Betah amat! Cepat pulang dong!] Sambungan telepon segera kumatikan. Aku tak ingin mendengar alasan atau pun penolakannya. Enak aja dia keluyuran, sementara aku disuruh mengurus ibunya yang jompo."Des, kapan kamu akan membelikan kalung emak?" Aku memutar bola mata dengan malas. Emak yang baru selesai menjemur baju ikut duduk di ruang tengah.Emak tahunya hanya minta saja. Kapan dia paham kondisiku? "Emak bisa nggak jangan terus membahas masalah kalung. Aku pusing, Mak. Uang hajatan itu hanya cukup untuk membayar ini dan itu. Tidak sebesar yang Emak bayangkan selama ini," bantahku dengan mata yang terus terpaku pada layar televisi. Tidak ada orang yang membantu menghitung uang dari kotak selain aku dan Bang Radit sendiri. Sengaja dihitung di dalam kamar berdua. "Kamu cuman dimintain kalung aja pelit! Apa yang Emak pinta ini tak sebanding dengan apa yang aku berikan padamu selama ini, Desti! Dari bayi aku membesarkan dan menghid
Aku mengerjap kemudian meregangkan otot seperlunya di atas bangku mobil. Tak lupa aku pun membetulkan posisi duduk. Setelahnya, aku pun membetulkan posisi kepala Wildan yang ada di pangkuanku. Posisi kaki Wildan meringkuk di kursi sampingku. Mataku membelalak saat menatap ke arah jendela. Baru sadar kalau kami sudah berada di daerah Lampung. Butuh waktu dua jam lagi dari daerah sini menuju daerah kami. Entah berapa lama kami terlelap dalam buaian mimpi, tiba-tiba saja sudah ada di daerah sini? Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru mobil. Semua terlelap kecuali Bang Sukri yang kini menjadi pengemudi. Di sampingnya pun Bang Zaki tampak terpejam. Dering handphone ku cukup nyaring, membuat tangan ini membuka tas kecil yang ada di sisi kananku. Siapa yang menelepon? Mbak Niswa? Ada apa? Rasa penasaran terus bergelut di dalam pikiran. Jelas tidak mungkin sepupu mantan suamiku itu menelpon bila tak penting.[Assalamu'alaikum, Mbak. Gimana?] [Waalaikummussallam, Lin. Gawat, Lin. Gawat!
"Entahlah. Tapi, ada dua kemungkinan. Satu memang tidak ingat tentang perjanjian di hadapan notaris itu. Dan ini masih bisa dimaklumi lah ya. Kedua, bisa jadi dia ingat, tapi tidak peduli dengan perjanjian itu. Ini yang berbahaya Bun. Dia bisa nekat melakukan apa pun demi keinginannya." Entah mengapa aku bisa berasumsi demikian?"Nggak habis pikir Aku dengan lelaki yang bernama Radit itu. Bagaimana bisa dia meminta jatah harta bersama, sementara itu hasil kerja keras Alina?" Mbak puji yang duduk di belakangku pun bersuara."Lelaki yang tak punya harga diri. Maunya enaknya saja tanpa mau bekerja keras. Padahal, harga diri seorang suami itu terletak pada tanggung jawab menghidupi keluarganya. Bukan dilihat dari penampilan dan tampangnya." Bang Sukri menyahut ucapan istrinya."Nah, bener itu … Lin, kalau sudah siap membuka hati lagi kabarin kami ya." Bang Zaki tergelak sendiri padahal, tidak lucu."Apa-apaan sih kalian. Aku tidak tahu apakah masih mau menikah lagi atau tidak. Tapi, yang