Desti rela menggadaikan rumahnya meski ditentang oleh keluarganya demi lelaki yang dicintainya. Mas Radit. Meskipun saat itu mas Radit belum membuka hati untuk Desti. Tapi, di dalam tulisannya perempuan itu sangat yakin bisa menaklukkan hati lelaki pujaannya setelah bisa menyelesaikan hutang yang melilit mas Radit. Hutang hingga ratusan juta.Mas Radit memiliki hutang? Hingga ratusan juta? Untuk apa? Kenapa dia tidak pernah cerita padaku? Kenapa malah memilih wanita lain untuk menyelesaikan masalah sebesar itu? Sebenarnya pengkhianatan ini memang berasal dari mas Radit. Kenapa dia membuka celah pada perempuan lain? Padahal, saat itu aku mampu untuk melunasi hutang-hutangnya itu. Ah, dasar lelaki murahan. Tapi, ada rasa syukur saat menyadari hikmah di balik semua ini. Aku bersyukur kala itu mas Radit itu tidak bercerita padaku. Jika waktu itu dia jujur padaku tentang masalahnya, sudah pasti aku akan menjual kebun karet lima hektar itu untuk membayar hutang-hutangnya. Hingga aku tak m
POV Radit"Bang, aku tidak mau tahu. Kamu harus segera mencarikan uang untuk DP mobil. Jangan sampai kita habis hajatan tidak terlihat membeli sesuatu yang baru." Desti sudah merepet pagi-pagi. Kami baru saja selesai sarapan.Aku meneguk segelas air putih hingga tandas. Otakku bekerja dengan keras. Dari mana dapat uang sebesar puluhan juta dalam waktu dekat? Uang hasil hajatan hanya cukup untuk membayar sewa-sewa serta daging sapi yang lumayan banyak. Tamunya memang banyak yang datang, tapi uang kondangannya tak seberapa."Bang, cepat gerak dong. Jangan hanya melamun dan menunggu keajaiban." Desti bangkit dari tempat duduknya. Piring kotor ia tumpuk, dibawanya ke wastafel."Pagi ini Abang mau ke rumah Kang Paimin. Setelahnya Abang akan ke rumah Pak Nardi mau kasbon." Aku berdiri dari duduk. Berjalan ke arah kulkas. Mengambil kunci motor yang disimpan di atasnya. "Pulang harus membawa hasil!" Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Desti. Aku maklum dengan segala perubahannya. Dia jadi
"Tenang dulu, Mas. Diminum dulu teh manisnya." Kang Paimin menyodorkan segelas teh hangat padaku. Aku sampai tidak menyadari kapan istrinya menyuguhkan minum hangat itu. Biasanya aku akan meminumnya hingga tandas. Tapi, tidak kali ini. Aku tak berselera.Aku berdiri dari tempat duduk setelah menyambar uang dalam plastik kresek tadi."Kang, aku pamit." Segera kubawa langkah kaki meninggalkan rumah Kang Paimin. Kubawa motor melaju ke arah kebun. "Siapa yang menyuruh kalian menyadap di tempat saya?" Kudekati lelaki kerempeng yang sedang menderes getah itu. Dia mendongak, menatapku yang sedang berkacak pinggang. "Yang menyuruh saya? Ya yang punya tanahlah, Mas! Ini kebun milik Pak Randu. Kalau mau marah-marah atau komplain silakan hubungi beliau. Saya hanya orang suruhannya." Enteng sekali mulut itu menjawab. Ketenangan pria itu justru membuat emosiku semakin menjadi-jadi."Telepon sekarang bosmu! Suruh ke sini sekarang. Hadapi saya!" Kutepuk dada ini agar dia paham aku tak terima de
POV Desti[Bang. Kamu di mana? Kok nggak pulang-pulang. Betah amat! Cepat pulang dong!] Sambungan telepon segera kumatikan. Aku tak ingin mendengar alasan atau pun penolakannya. Enak aja dia keluyuran, sementara aku disuruh mengurus ibunya yang jompo."Des, kapan kamu akan membelikan kalung emak?" Aku memutar bola mata dengan malas. Emak yang baru selesai menjemur baju ikut duduk di ruang tengah.Emak tahunya hanya minta saja. Kapan dia paham kondisiku? "Emak bisa nggak jangan terus membahas masalah kalung. Aku pusing, Mak. Uang hajatan itu hanya cukup untuk membayar ini dan itu. Tidak sebesar yang Emak bayangkan selama ini," bantahku dengan mata yang terus terpaku pada layar televisi. Tidak ada orang yang membantu menghitung uang dari kotak selain aku dan Bang Radit sendiri. Sengaja dihitung di dalam kamar berdua. "Kamu cuman dimintain kalung aja pelit! Apa yang Emak pinta ini tak sebanding dengan apa yang aku berikan padamu selama ini, Desti! Dari bayi aku membesarkan dan menghid
Aku mengerjap kemudian meregangkan otot seperlunya di atas bangku mobil. Tak lupa aku pun membetulkan posisi duduk. Setelahnya, aku pun membetulkan posisi kepala Wildan yang ada di pangkuanku. Posisi kaki Wildan meringkuk di kursi sampingku. Mataku membelalak saat menatap ke arah jendela. Baru sadar kalau kami sudah berada di daerah Lampung. Butuh waktu dua jam lagi dari daerah sini menuju daerah kami. Entah berapa lama kami terlelap dalam buaian mimpi, tiba-tiba saja sudah ada di daerah sini? Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru mobil. Semua terlelap kecuali Bang Sukri yang kini menjadi pengemudi. Di sampingnya pun Bang Zaki tampak terpejam. Dering handphone ku cukup nyaring, membuat tangan ini membuka tas kecil yang ada di sisi kananku. Siapa yang menelepon? Mbak Niswa? Ada apa? Rasa penasaran terus bergelut di dalam pikiran. Jelas tidak mungkin sepupu mantan suamiku itu menelpon bila tak penting.[Assalamu'alaikum, Mbak. Gimana?] [Waalaikummussallam, Lin. Gawat, Lin. Gawat!
"Entahlah. Tapi, ada dua kemungkinan. Satu memang tidak ingat tentang perjanjian di hadapan notaris itu. Dan ini masih bisa dimaklumi lah ya. Kedua, bisa jadi dia ingat, tapi tidak peduli dengan perjanjian itu. Ini yang berbahaya Bun. Dia bisa nekat melakukan apa pun demi keinginannya." Entah mengapa aku bisa berasumsi demikian?"Nggak habis pikir Aku dengan lelaki yang bernama Radit itu. Bagaimana bisa dia meminta jatah harta bersama, sementara itu hasil kerja keras Alina?" Mbak puji yang duduk di belakangku pun bersuara."Lelaki yang tak punya harga diri. Maunya enaknya saja tanpa mau bekerja keras. Padahal, harga diri seorang suami itu terletak pada tanggung jawab menghidupi keluarganya. Bukan dilihat dari penampilan dan tampangnya." Bang Sukri menyahut ucapan istrinya."Nah, bener itu … Lin, kalau sudah siap membuka hati lagi kabarin kami ya." Bang Zaki tergelak sendiri padahal, tidak lucu."Apa-apaan sih kalian. Aku tidak tahu apakah masih mau menikah lagi atau tidak. Tapi, yang
Ya Allah … lindungi hamba. Di dalam hati aku terus memohon. Tiba-tiba mataku tertuju pada jempol kaki. Cantengan itu sering ia alami. Dan saat ini jempol itu pun tampak tak sehat. Sejurus kemudian aku tersenyum menyeringai. Rasakan ini Radit! kuinjak jempol kaki yang sedang bernanah itu dengan kekuatan penuh. Pria brengsek itu mengaduh. Spontan dia melepaskan cengkraman tangannya. Dengan gerakan cepat aku berlari menjauh darinya menuju taman belakang, tempat berkumpulnya keluargaku. Namun, gagal. Aku terjatuh sebab kaki ini terbelit dengan gamis bagian bawah. "Mau lari ke mana kamu, Alina!" Belum sempat aku bangkit lelaki itu sudah berada di sampingku. Dia jongkok. Tangan kekar itu menyentuh pipi ini. Aku jijik! Sekuat tenaga aku menepis lengan Radit, gagal. Tanganku kembali berada dalam cengkeramannya lagi.Dari tempat jatuh aku bisa melihat Radit yang tersenyum menyeringai. Aku yakin kaki itu masih sakit tapi dia tahan demi bisa mengejarku!Aku benar-benar tidak menyangka Radit b
Aku peringatkan kepadamu! Berani kamu sentuh anakku penjara tempatmu menatimu!" Bapak melepaskan kerahnya Radit,kemudian mendorong pria itu ke belakang."Zaki! Jaga dia! Jangan sampai kabur!" Lelaki yang baru datang dari belakang itu mengangguk."Ayo, kalian ikut Bapak!" Bapak mengajakku dan Bang Sukri masuk ke ruang tengah. Kami berunding di sana, membahas langkah apa yang akan kami ambil. "Kamu hampir saja menodai adikku. Dulu memang itu menjadi hakmu. Wajib bagi Alina untuk melayanimu. Tapi, sekarang kalian bukan lagi suami istri. Kasus ini termasuk pelecehan. Ada pasalnya. Masalah ini bisa kami bawa ke kantor polisi, Dit. Dan bisa dipastikan kamu akan mendekam di sana. Minimal beberapa hari. Tapi, kami sengaja tidak melakukan itu karena Alina masih memikirkan Ibumu. Kamu dipenjara pasti dia terlantar di sana. Kamu yakin Desti mau mengurus ibumu dengan baik? Belum tentu! Kamu lihat saja perbedaan antara Alina dengan Desti dalam mengurus ibumu!" ucap Bang Sukri setelah kami kemb
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter