"Nggak, Mbak. Aku belum ke sana lagi sejak kunjungan yang terakhir itu. Aku hanya ingin tahu kabar, Mbak?" "Mas, mi ayam bakso dua ya. Di makan di sini." Aku menarik salah satu kursi di depan meja makan pelanggan. Bokong ini kuhempaskan di sana. Aku kembali melanjutkan obrolan dengan Ririn. Jari-jari kumainkan di atas meja."Alhamdulillah, aku lega, Rin. Sudah bebas dari mas Radit. Ohya, aku transfer uang ya tolong kasihkan pada Ibu. Dan …." "Seperti biasa jangan bilang kalau itu uang dari mbak Alina. Aku sudah hapal banget Mbak." Ririn menyerobot kalimatku yang belum selesai. Tak lama kemudian kami terbahak bersama. Entah apa yang sebenarnya aku tertawakan.Ya, melalui Ririn aku bisa memberikan uang untuk Ibu. Aku tahu beliau tidak pernah diberikan uang pegangan oleh anak dan menantunya meskipun, tanahnya telah dijual oleh mereka. Dulu, selain menanggung biaya hidup Ibu, aku pun memberikan uang pegangan sendiri untuk beliau. Orang tua akan merasa tentram bila memegang uang sendir
Wulan sudah pergi menjauh dari kami. Aku memintanya membeli kue basah kesukaan Wildan, cenil. Entah mengapa tiba-tiba tadi kelupaan. Biasanya makanan itu tak pernah absen dari daftar belanjaku di pasar tradisional."Mau bertanya apa, Mbak?" Rasa penasaran sudah di pucuk ubun-ubun. Kuperhatikan wajah perempuan itu dengan seksama. Tatapanku dibalas dengan nanar. "Mbak, sejauh mana sih kedekatan kalian?" Suara Risma terdengar berat. Seolah ada emosi di dalamnya sebelum akhirnya wanita itu menghela napas berat."Kedekatanku dengan siapa?" Aku mengernyitkan dahi. Sengaja. Sebenarnya aku paham arah pembicaraan wanita itu. Akan tetapi otak ini tidak mengerti mengapa ia harus bertanya demikian? Apa tujuannya? Tidak mungkin mau menjodohkan aku dengan Abang iparnya kalau dilihat dari gelagatnya."Nggak usah sok polos lah, Mbak. Jelas aku di sini bertanya tentang Bang Randu." Raut yang tadi ramah kini berubah menjadi masam dan ketus."Kenapa bertanya demikian?" tanyaku dengan pelan-pelan. Tida
Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati saat menatap Wildan. Anak itu sedang asyik makan ayam bakar tanpa nasi. Masih ada dua belas potong ayam bakar sisa. Aku berikan untuk Mbak Wati enam potong. Selebihnya untuk makan Wildan dan Wulan. Aku sendiri memilih makan dengan ikan asin, sambel terasi serta lalapan. Entah mengapa, rasanya jauh lebih nikmat dibanding makan dengan daging ayam. Mungkin, karena aku sendiri yang masak segitu banyaknya. Hingga tak lagi selera makan daging tersebut. "Bu. Nanti jadikan telepon, Ayah?" Dengan wajah belepotan, Wildan memandangku penuh harap.Inilah yang tadi menjadi ganjalan hatiku. Dengan berat, aku terpaksa mengangguk."Sekarang Wildan habiskan dulu, ya, makannya" Seulas senyum kuberikan untuknya. Dia mengangguk. Kembali melanjutkan makan dengan penuh semangat.Usai makan malam bersama, aku, Wildan dan Wulan tentunya, kucoba menghubungi nomor Mas Radit. Biar bagaimanapun aku harus menghadapi, tidak boleh lari dari masalah ini."Sabar, ya, Nak.
Dasar janda gatel. Nggak usah nyumpahin orang lain segala. Bang Radit itu tidak mungkin kepincut dengan wanita lain. Cintanya hanya untukku seorang! Kamu tahu, apa sebabnya dia memilih aku … ah, sudahlah. Tidak perlu aku bongkar di sini. Takut kamu tambah sakit hati kalau tahu. Ha ha ha ha ha .Memangnya kenapa dengan anakmu? Jangan pernah dijadikan alasan anak kalian. Aku tidak akan membangunkan mas Radit. Dia baru saja tertidur pulas setelah aku servis luar dalam. Kalau mau ngomong, ngomong aja sekarang!" Desti masih berbicara dengan nada tinggi dan sombong. Dia merasa di atas angin karena berhasil mendapatkan Mas Radit."Anaknya sedang sakit. Dia ingin berbicara pada bapaknya saat ini. Tolong bangunkan mas Radit sekarang, Desti! Aku mohon! Sebagai seorang Ibu, apa yang akan kamu lakukan di saat anaknya panas tinggi dan menyebut-nyebut nama bapaknya? Tolong gunakan hati nuranimu. Kali ini saja." Suaraku melunak agar dia mau membangunkan suaminya. Tak lama kemudian terdengar suara D
"Terima kasih banyak, Bu. Saya Terima uangnya. Semoga acaranya berjalan dengan lancar. Semoga Ibu dan keluarga selalu diberikan keberkahan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala," ucapku setelah menerima uang pemberian Bu Ratih."Aamiin. Doa yang sama untuk Mbak Alina sekeluarga. Semoga Mbak Alina juga segera mendapatkan jodoh kembali. Monggo dihitung dulu uangnya, Mbak. Siapa tahu kurang." Senyum ramah Bu Ratih berikan padaku.Sebenarnya tanpa disuruh pun aku tetap menghitung jumlah uang yang Bu Ratih berikan. Uang kekurangan dari pembayaran brownies kering. DP sudah masuk dari beberapa hari sebelumnya sebagai tanda jadi. Bu Ratih salah satu langganan kue di tempatku. Kali ini dia memesan kue brownies sebanyak lima kilo untuk acara pernikahan adiknya, katanya. "Pas, Mbak? Atau kurang?" Bu Ratih memastikan setelah mencicipi kue yang aku antarkan. "Sudah pas, Bu. Semoga Ibu puas dengan rasa kuenya. Kalau begitu kami pamit dulu, Bu." "Saya selalu puas dengan citarasa kue produksi Mbak Alina.
[Wahai nyonya Radit yang terhormat! Kerasukan setan mana sehinga kamu ngomel-ngomel nggak jelas begitu? Ada masalah apa kamu menuduh aku begitu? Aku belum bisa move on dari Mas Radit? Salah besar. Bahkan untuk mengenang namanya juga aku enggan. Aku amat sangat bahagia tanpa kehadiran lelaki parasit itu. Bagaimana mungkin aku belum bisa move on darinya? Sejak aku tahu kalian telah menikah secara diam-diam, hati ini pun sudah mati untuknya. Oh ya, apa maksudmu susah melihatmu senang?][Sok polos! Bibirmu ngomong lupa di diam-diam masih kau sebut nama suamiku. Dasar munafik! Merasa nggak tahu apa-apa. Puas kamu sudah menghancurkan usaha kami. Puas kamu sudah membuat kami terpuruk! Sekarang kamu boleh menang, tapi ingat kemenanganmu itu tidak akan lama. Seumur hidup kamu tidak akan bahagia, Alina!] Astaghfirullah ….[Desti. Aku tidak mengerti apa pun yang kamu maksud. Aku bukan cenayang yang bisa tahu isi kepalamu. Katakan terus terang jangan terus menuduh dan memfitnah aku demikian. Ing
Aku penasaran siapa lelaki yang menayangkan diri ini? Apa mungkin Bang Randu? Rasanya itu mustahil. Secara, dia sudah memiliki istri yang sedang hamil. Dan Bang Randu itu tipe lelaki setia. Mana mungkin menanyakan aku untuk dijadikan istrinya? Nggak lucu. Barangkali ada lelaki lain yang bertanya pada orang tuaku. Aku benar-benar dibuat penasaran oleh Bunda. Meskipun begitu, aku tak mungkin bertanya kepada Bapak secara langsung. Ah, biarlah beliau cerita sendiri. Toh, Bapak juga tidak mungkin mengambil keputusan sepihak tanpa bertanya padaku. Cepat atau lambat aku akan diberi tahu. Otak berhentilah penasaran. Aku hanya sekedar penasaran. Bukan berarti sudah siap untuk menikah kembali. Saat ini aku sudah bahagia dengan kehidupan kami. Aku dan Wildan. Anak lelaki itu sudah paham kalau bapaknya tidak akan pernah bisa hadir lagi dalam kehidupan kami. Dia pun sudah bahagia tanpa kehadiran bapaknya. Sepertinya untuk menikah lagi harus aku pikirkan puluhan kali. Rasanya tidak mudah untu
Ya, Wulan adalah orang kepercayaanku. Dia memegang peranan penting di dalam bisnisku. Dia jago promosi yang akhirnya membuat usaha katering dan rumah makan serta pesanan kue terus meningkat dari hari ke hari. Itu tak terlepas dari campur tangan Wulan. Tentu, aku tidak hanya menyumbang katering doang. Tetapi, sudah menyiapkan sesuatu yang berharga untuknya. Semoga bermanfaat untuknya."Apa yang saya lakukan tidak sebanding dengan apa yang Ibu berikan pada kami selama ini. Izinkan saya membayar seperempatnya, ya, Bu?" "Gunakan uangmu untuk kebutuhan yang lainnya. Ibu tak akan bangkrut gara-gara menggratiskan katering ini untukmu, Lan." "Masya Allah … terima kasih banyak, Bu." Mata itu berkaca-kaca. Segera kurangkul perempuan muda yang tangguh itu."Ibu hanya bisa membantu catering untuk pernikahan kalian. Tidak bisa yang lainnya." "Itu lebih dari cukup, Bu. Saya tahu untuk urusan konsumsi itu tidak murah. Dan itu semua Ibu yang akan menanggung biayanya. Padahal, saya dan Mas Danu sud