Aku penasaran siapa lelaki yang menayangkan diri ini? Apa mungkin Bang Randu? Rasanya itu mustahil. Secara, dia sudah memiliki istri yang sedang hamil. Dan Bang Randu itu tipe lelaki setia. Mana mungkin menanyakan aku untuk dijadikan istrinya? Nggak lucu. Barangkali ada lelaki lain yang bertanya pada orang tuaku. Aku benar-benar dibuat penasaran oleh Bunda. Meskipun begitu, aku tak mungkin bertanya kepada Bapak secara langsung. Ah, biarlah beliau cerita sendiri. Toh, Bapak juga tidak mungkin mengambil keputusan sepihak tanpa bertanya padaku. Cepat atau lambat aku akan diberi tahu. Otak berhentilah penasaran. Aku hanya sekedar penasaran. Bukan berarti sudah siap untuk menikah kembali. Saat ini aku sudah bahagia dengan kehidupan kami. Aku dan Wildan. Anak lelaki itu sudah paham kalau bapaknya tidak akan pernah bisa hadir lagi dalam kehidupan kami. Dia pun sudah bahagia tanpa kehadiran bapaknya. Sepertinya untuk menikah lagi harus aku pikirkan puluhan kali. Rasanya tidak mudah untu
Ya, Wulan adalah orang kepercayaanku. Dia memegang peranan penting di dalam bisnisku. Dia jago promosi yang akhirnya membuat usaha katering dan rumah makan serta pesanan kue terus meningkat dari hari ke hari. Itu tak terlepas dari campur tangan Wulan. Tentu, aku tidak hanya menyumbang katering doang. Tetapi, sudah menyiapkan sesuatu yang berharga untuknya. Semoga bermanfaat untuknya."Apa yang saya lakukan tidak sebanding dengan apa yang Ibu berikan pada kami selama ini. Izinkan saya membayar seperempatnya, ya, Bu?" "Gunakan uangmu untuk kebutuhan yang lainnya. Ibu tak akan bangkrut gara-gara menggratiskan katering ini untukmu, Lan." "Masya Allah … terima kasih banyak, Bu." Mata itu berkaca-kaca. Segera kurangkul perempuan muda yang tangguh itu."Ibu hanya bisa membantu catering untuk pernikahan kalian. Tidak bisa yang lainnya." "Itu lebih dari cukup, Bu. Saya tahu untuk urusan konsumsi itu tidak murah. Dan itu semua Ibu yang akan menanggung biayanya. Padahal, saya dan Mas Danu sud
"Kurang ajar memang mantan istrimu itu, Bang! Munafik! Sok menasihati orang lain padahal, dia sendiri yang menyebabkan kita begini!" Desti bersungut-sungut sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. "De, Abang rasa kita tidak perlu mengumpat Alina. Semua ini sudah tidak ada kaitannya sama dia, De?" Aku mencoba meredam emosi Desti yang meledak-ledak dengan cara merangkul pundaknya. Namun, perempuan itu menepis tangan ini dan melotot tajam ke arahku. Apa salahku? Memang benar, semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan mantan istriku itu. Lalu, kenapa Desti mengaitkan semua ini dengannya? Rasanya tidak adil untuk Alina. Wanita itu jelas-jelas tidak tahu apa-apa."Belain terus mantan istrimu itu! Hanya dia yang tidak suka dengan kesuksesan kita, Bang! Diam-diam selama ini dia selalu mencari tahu tentang keluarga kita dari Ririn, Bang. Ririn sering datang ke rumah ini, tidak semata-mata untuk menjenguk Ibu, Bang. Dia ada maksud lain. Alina lah yang menyuruhnya. Dia ingin tahu kelem
Mendapatkan penolakan dari Desti, membuatku ingin rebahan. Aku berjalan menuju sofa. Kusandarkan punggung ini pada sandaran kursi empuk di seberang Desti. Kupijit pelipis ini yang berdenyut nyeri karena memikirkan masalah yang datang secara bertubi-tubi."Roman-romannya ada yang sedang pusing tujuh keliling ini. Kasihan sekali kalian!" Suara Ratmi membuat kami menoleh ke arah pintu. Kebiasaan, wanita bertubuh subur itu tidak pernah mau mengucapkan salam bila masuk ke rumah ini. Seenak jidatnya ia ke luar masuk ke kediaman kami. Ah, aku lupa ada bapak mertuaku di sini. Itu sebabnya perempuan satu bapak beda ibu dengan Desti sering datang kemari.Perempuan itu menatap kami secara bergantian dengan senyum meremehkan. Kurang ajar memang. Inilah definisi susah melihat orang senang. Senang melihat orang susah. Menyebalkan memang manusia satu ini. Tanpa kami minta, Ratmi ikut bergabung bersama kami di ruang tamu. Tubuh tambun itu ia dudukkan di sofa yang berseberangan dengan kami. Desti ta
Kubawa langkah kaki menuju kamar ibu dengan hati berbunga. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa memiliki gairah hidup kembali meskipun, kini sedang diselimuti masalah yang tak ada habisnya.Toh, terlalu memikirkan masalah hanya membuatku pusing sendiri. Lebih baik saat ini berpikir yang happy-happy saja. Agar hidup ini tidak santai.Kutarik handle pintu dengan perlahan. Terlihat ibu berbaring menghadap ke arah pintu. Dengan senyum mengembang aku menghampiri beliau. "Bu, sedang apa?" Kupijit kaki ibu setelah duduk di sebelahnya. Beliau hanya menggelengkan kepalanya. Ibu memang tidak bicara, tapi aku tahu beliau tidak baik-baik saja. Maafkan anakmu ini, Bu. Aku janji akan segera membawa ibu kepada Alina kembali.Ibu menggerakkan tangannya, bermaksud meminta bantuan. Dengan sigap aku membantu beliau untuk bangkit. Kubantu ibu bersandar pada kepala ranjang. "Bu? Apa Alina sering memberikan uang pada, Ibu?" tanyaku dengan hati-hati. Ibu mendelik ke arahku. Di keningnya terdapat banyak ke
'Sabar Radit, kamu harus maklum kenapa nomormu diblokir. Mungkin, dia marah saat itu. Kalau mau mau mendapatkan hatinya lagi ya harus berjuang kembali. Dan ini bagian dari perjuanganmu.' Sisi hatiku yang lain memberikan motivasi pada diri sendiri.Aku menghela napas berat. Bagaimana caranya aku bisa menghubungi Alina kalau nomornya saja aku nggak punya? Aku mendongak ke arah langit-langit. Siapa tahu ada petunjuk setelahnya.Ririn … aha … Ririn. Aku tersenyum menyebut nama istrinya Saiful itu.Ririn pasti tahu nomor Alina. Aku harus segera menghubunginya. Akan tetapi, tidak di rumah ini. Bisa bahaya kalau Desti tahu aku sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan Alian. Bukan takut diceraikan, bukan. Aku hanya takut diusir dan tidak memiliki tempat tinggal saat ini. Mencari aman adalah solusi terbaik. "De, Abang mau keluar sebentar, ya?" Kutemui Desti di kamar. Perempuan itu sedang rebahan. Kuguncang pundaknya pelan. Desti menoleh. Kudapati pipinya yang basah, habis menangis. Matanya
"Bu, ada yang pesan nasi sebanyak tujuh puluh kotak untuk syukuran khitanan. Sanggup, Bu?" Wulan setengah berlari menghampiri aku yang sedang memasukkan nasi kotak ke dalam kresek besar. Aku menghentikan pergerakan tangan ini.Aku harus memastikan bahwa saat itu kami tidak ada pesanan yang lain."Kapan hari H-nya?" Kutatap calon pengantin baru itu dengan seksama. "Belum tanya, Bu. Soalnya saya takut Ibu menolaknya." Aku paham kenapa Wulan berkesimpulan demikian, bukan tanpa sebab dia takut aku menolaknya. Ini pesanan kelima yang masuk pada hari ini.Tadi sudah masuk pesanan bolu pisang sepuluh loyang. Masuk pula pesanan nasi kotak lima puluh bok. Belum lagi pesanan kue-kue basah untuk ibu-ibu pengajian. Ada pula yang pesan catering untuk acara arisan ibu-ibu sosialita."Tanyakan dulu kapan harinya? Kalau berbenturan dengan yang lain kita jelas nggak bisa." Wulan segera menyampaikan pertanyaanku tadi pada pemesan melalui sambungan telepon. Rupanya sejak tadi gadis bermata belo itu b
[Masalahnya, Mbak. Bang Randu tidak memberikan alamat kalian. Bagaimana cara kami mengantarkannya?] Seramah mungkin aku menjawabnya. Biar bagaimanapun dia adalah customer yang wajib diberi pelayanan yang baik. Terserah dia mau bersikap seperti apa sama kita.[Kebiasaan lelaki itu. Suka mengambil keputusan sepihak. Kenapa sih tidak kompromi terlebih dahulu? Memangnya, aku ini dianggap apa?] Perempuan itu bergumam lirih tapi masih bisa ditangkap oleh indera pendengaranku.Ketus amat istrinya? Jadi penasaran seperti apa bentuk wajahnya. Kalau ditilik dari suara kayaknya ini bukan milik Risma, adik iparnya Bang Randu. Jadi siapa sebenarnya istrinya Bang Randu? Tapi, kasihan juga orang sebaik Bang Randu mendapatkan istri yang judes begitu. Ah, siapapun itu yang pasti bisa membuat Bang Randu jatuh cinta. Berarti dia sesuai kriterianya Bang Randu. [Siapa yang menelepon, De?] Itu suara milik Bang Randu. Aku menarik napas lega, setidaknya tidak akan berbicara lagi dengan istrinya.[Tuh, dari
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter