Share

Ambisi Radit

Author: Farid-ha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

'Sabar Radit, kamu harus maklum kenapa nomormu diblokir. Mungkin, dia marah saat itu. Kalau mau mau mendapatkan hatinya lagi ya harus berjuang kembali. Dan ini bagian dari perjuanganmu.' Sisi hatiku yang lain memberikan motivasi pada diri sendiri.

Aku menghela napas berat. Bagaimana caranya aku bisa menghubungi Alina kalau nomornya saja aku nggak punya? Aku mendongak ke arah langit-langit. Siapa tahu ada petunjuk setelahnya.

Ririn … aha … Ririn. Aku tersenyum menyebut nama istrinya Saiful itu.

Ririn pasti tahu nomor Alina. Aku harus segera menghubunginya. Akan tetapi, tidak di rumah ini. Bisa bahaya kalau Desti tahu aku sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan Alian. Bukan takut diceraikan, bukan. Aku hanya takut diusir dan tidak memiliki tempat tinggal saat ini. Mencari aman adalah solusi terbaik.

"De, Abang mau keluar sebentar, ya?" Kutemui Desti di kamar. Perempuan itu sedang rebahan. Kuguncang pundaknya pelan. Desti menoleh. Kudapati pipinya yang basah, habis menangis. Matanya
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Purity Calestial Warden
ya begitulah cara berpikir nya laki2, maka nya ada istilah laki laki selingkuh hanya menuruti hawa nafsu klo perempuan selingkuh pakai perasaan dan hati......
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laki "halu bodoh ,pas sudah miskin pingin bslik lagi sama mantanya yang makin sukses ,rasain radit bye....jabgan samoi rujuk lagi alina
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ketika Istri Mati Rasa    Istrinya Bang Randu kah?

    "Bu, ada yang pesan nasi sebanyak tujuh puluh kotak untuk syukuran khitanan. Sanggup, Bu?" Wulan setengah berlari menghampiri aku yang sedang memasukkan nasi kotak ke dalam kresek besar. Aku menghentikan pergerakan tangan ini.Aku harus memastikan bahwa saat itu kami tidak ada pesanan yang lain."Kapan hari H-nya?" Kutatap calon pengantin baru itu dengan seksama. "Belum tanya, Bu. Soalnya saya takut Ibu menolaknya." Aku paham kenapa Wulan berkesimpulan demikian, bukan tanpa sebab dia takut aku menolaknya. Ini pesanan kelima yang masuk pada hari ini.Tadi sudah masuk pesanan bolu pisang sepuluh loyang. Masuk pula pesanan nasi kotak lima puluh bok. Belum lagi pesanan kue-kue basah untuk ibu-ibu pengajian. Ada pula yang pesan catering untuk acara arisan ibu-ibu sosialita."Tanyakan dulu kapan harinya? Kalau berbenturan dengan yang lain kita jelas nggak bisa." Wulan segera menyampaikan pertanyaanku tadi pada pemesan melalui sambungan telepon. Rupanya sejak tadi gadis bermata belo itu b

  • Ketika Istri Mati Rasa    Siapa?

    [Masalahnya, Mbak. Bang Randu tidak memberikan alamat kalian. Bagaimana cara kami mengantarkannya?] Seramah mungkin aku menjawabnya. Biar bagaimanapun dia adalah customer yang wajib diberi pelayanan yang baik. Terserah dia mau bersikap seperti apa sama kita.[Kebiasaan lelaki itu. Suka mengambil keputusan sepihak. Kenapa sih tidak kompromi terlebih dahulu? Memangnya, aku ini dianggap apa?] Perempuan itu bergumam lirih tapi masih bisa ditangkap oleh indera pendengaranku.Ketus amat istrinya? Jadi penasaran seperti apa bentuk wajahnya. Kalau ditilik dari suara kayaknya ini bukan milik Risma, adik iparnya Bang Randu. Jadi siapa sebenarnya istrinya Bang Randu? Tapi, kasihan juga orang sebaik Bang Randu mendapatkan istri yang judes begitu. Ah, siapapun itu yang pasti bisa membuat Bang Randu jatuh cinta. Berarti dia sesuai kriterianya Bang Randu. [Siapa yang menelepon, De?] Itu suara milik Bang Randu. Aku menarik napas lega, setidaknya tidak akan berbicara lagi dengan istrinya.[Tuh, dari

  • Ketika Istri Mati Rasa    Permintaan Konyol Mas Radit.

    "Siapa, Lan?" Kupandangi Wulan dengan seksama seraya kujilati jari tangan ini usai makan. Hal ini tidak jorok dan tak bertentangan dengan medis. Terpenting lagi menjilati jari tangan usai makan adalah Sunnah Nabi."Pak Radit, Bu." Wulan berbisik di telingaku. Handphone yang masih tersambung dengan mas Radit ia genggam di tangan kanannya yang saat ini disembunyikan di balik punggung gadis tersebut. Aku menggelengkan kepala kuat, tanda menolaknya. Wulan pun mengangguk. Dia pun paham bahwa aku tidak mau menerima telepon dari bapaknya Wildan. Enggan rasanya menjawab telepon dari lelaki yang kini bergelar mantan suami. Entah apa yang ingin ia bahas kali ini? Aku pun sudah tak mau tahu. Sebab tidak ada lagi hubungannya denganku. Aku tak mau pagi ini rusak gara-gara ngobrol dengan manusia seperti Mas Radit. [Maaf, Pak. Bu Alinanya sedang sibuk. Beliau tidak bisa menerima telepon dari Anda.] Kudengar suara Wulan yang sedang memberi alasan pada Mas Radit di seberang sana. Ku acungkan ked

  • Ketika Istri Mati Rasa    Bang Randu mau komplain?

    [Kamu itu lucu, ya, Mas. Asli. Selera humornya cukup lumayan tinggi. Kamu pandai melawak. Sampai-sampai aku tidak bisa berhenti tertawa, nih!] Bisa-bisanya ia meminta bersama lagi. [Aku sedang tidak melawak, Lin. Aku serius. Aku tak rela bila Wildan mempunyai bapak sambung. Aku tak mau Wildan ….] Terdengar suara isakan Mas Radit. Aku tersenyum miring menanggapinya.[Sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa bersama lagi. Pantang bagiku menjilat ludah yang sudah dibuang! Jangan pernah mimpi kita akan rujuk kembali! Sesalmu sudah tidak ada artinya sama sekali, Mas. Maaf pekerjaan saya banyak. Silakan menangis sendiri di situ. Assalam —"] Lagi-lagi Mas Radit memotong salamku. Mau apa lagi sih?[Lin. Kapan aku bisa ngobrol dengan Wildan?][Nanti, jam setengah tiga sore silakan hubungi nomor ini. Tapi, aku ingatkan kamu, Mas. Usahamu akan sia-sia kalau Wildan kamu jadikan senjata agar kita bisa rujuk lagi. Oke!] Kali ini Kututup sambungan telepon tanpa salam. Aku tak ingin gagal lagi.

  • Ketika Istri Mati Rasa    Dilabrak Istrinya Bang Randu?

    Lelaki dengan setelan celana chino, dengan atasan kaos polos yang di double kemeja tidak dikancing dengan lengan digulung seperempat siku serta sepatu sneaker itu berjalan dengan gagah berjalan menuju ke arah kami. "Masya Allah … gantengnya Bang Randu, Bu." Wulan mendekatiku sembari menyodorkan kalkulator. Alat itu akan aku gunakan untuk menghitung kisaran besaran biaya untuk belanja kebutuhan hari esok. "Hust! Ingat dia suami orang!" Aku memukul lengan Wulan agar gadis itu mengalihkan pandangannya. Namun, perempuan yang umurnya jauh lebih muda dari aku itu mencibir sembari tersenyum. Memang, tidak aku pungkiri Bang Randu mempesona meskipun, umurnya tak lagi muda. Aku yakin semua orang sepakat kalau lelaki yang usianya sudah kepala empat itu masih terlihat tampan dengan gaya rambutnya yang dibelah tengah. Badannya pun terawat. Meski tubuhnya berisi tapi tidak ada lemak yang berkumpul di perutnya. Rata. "Assalamualaikum." Senyum ramah itu mengembang dari bibir Bang Randu."Waalaiku

  • Ketika Istri Mati Rasa    Kotak persegi

    "Mbak, bolehkan saya mengajak Wildan jalan-jalan?" Aku terperanjat kaget mendengar suara Bang Randu. Celingak-celinguk aku mencari keberadaan wanita tadi. Tapi, nihil di sekitar kami tidak ada apa-apa."Lin, kamu ngelamunin apa, sih. Ditanya dari tadi lho. Kenapa diam aja?" ucap Mbak Niswa sembari menyenggol lenganku. Astaghfirullah … jadi tadi aku hanya melamun? Tapi, bagaimana kalau lamunanku itu menjadi kenyataan? Aku bergidik ngeri membayangkan istrinya Bang Randu yang datang secara tiba-tiba. Bukan hanya nama baikku sebagai janda yang hancur, tapi sebagai pengusaha pun namaku akan rusak."Bukannya saya tidak mengizinkan, Bang. Tapi, bagaimana dengan istri Abang? Apakah dia memperbolehkan Abang jalan-jalan dengan anak saya? Kalau memang tidak ada izin dari istri Abang lebih baik tidak usah membawa Wildan keluar, Bang. Saya hanya tidak mau ada yang melabeli sebagai janda yang tidak baik. Terlebih, saya ini pengusaha. Harap Bang Randu bisa memaklumi kekhawatiran saya ini." Kutanggu

  • Ketika Istri Mati Rasa    POV Radit 1

    POV RaditTidak sia-sia aku mencari kontak Alina. Ya, meskipun bukan nomor pribadi setidaknya aku masih bisa berbicara padanya. Justru ada keuntungan tersendiri bagiku dengan nomor bisnisnya ini. Setidaknya bila dia memblokir nomorku yang ini, aku masih bisa menghubungi dengan nomor yang lainnya. Mumpung Desti sedang sibuk di toko. Aku akan menelpon Alina. Alasannya sih menanyakan Wildan. Sejujurnya aku ingin mendengar suara wanita yang masih ada namanya di sudut hatiku yang lainnya.Yes … terhubung. Hatiku berdebar tak karuan. Layaknya anak abege yang mau bertemu pacarnya. "Dengan Langgeng catering di sini. Ada yang bisa kami bantu?" Sial, ini bukan suara Alina. Mungkin, asistennya."Bisa bicara dengan Bu Alina?" Aku harus bisa bicara dengan mantan istri pertama itu."Ini dari siapa?" Pertanyaan gadis itu sangat menjengkelkan. Apa susahnya sih langsung dikasihkan ke Alina tanpa harus bertanya dari siapa? Ibunya Wildan pasti akan menolak bila tahu ini dari aku."Langsung saja kasihk

  • Ketika Istri Mati Rasa    Radit Meradang

    "Lin, kamu masih di sana, kan?" Aku memastikan keberadaannya."Aku lamaran atau belum tidak ada sangkut pautnya dengan kamu, Mas! Jadi jangan kepo dengan kehidupanku selanjutnya. Satu hal lagi. Aku akan memberikan seorang Ayah yang berkualitas untuk Wildan. Bukan lelaki seperti kamu, Mas! Tentu aku akan menikah dengan pria yang jelas bibit, bebet, bobotnya selain itu dia pun harus menyayangi anak semata wayangku. Bukan seperti bapaknya yang tega membuang anak kesayanganku. Mulai detik ini jangan pernah mencemaskan keadaan dan masa depan Wildan lagi. Dia sudah tidak butuh bapak macam kamu, Mas!" Alina berhasil menumpahkan seluruh unek-uneknya.Kata-kata yang ke luar dari mulut Alina sungguh sangat tajam. Tapi, aku harus tetap tenang. Tidak boleh terpancing emosi ini. Aku mengatur napas sebelum kembali menjawab ucapan Alina yang sebenarnya sangat menyakitkan hati ini."Apa tidak sebaiknya Wildan itu berkumpul dengan kedua orang tuanya, Lin? Daripada dengan bapak sambung yang notabenenya

Latest chapter

  • Ketika Istri Mati Rasa    Alina Melahirkan

    "Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D

  • Ketika Istri Mati Rasa    Siapa Namamu?

    POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima

  • Ketika Istri Mati Rasa    Ralia Terjatuh ke Sungai

    Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh

  • Ketika Istri Mati Rasa    Nasib Ralia Kini

    POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te

  • Ketika Istri Mati Rasa    Bagaimana Nasib Ralia Selanjutnya?

    POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d

  • Ketika Istri Mati Rasa    Ditelpon Penculik Ralia.

    Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu

  • Ketika Istri Mati Rasa    Ralia kah Itu?

    Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut

  • Ketika Istri Mati Rasa    Ada apa dengan Ralia

    Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me

  • Ketika Istri Mati Rasa    Apa yang Irwan Lakukan?

    Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter

DMCA.com Protection Status