Lelaki dengan setelan celana chino, dengan atasan kaos polos yang di double kemeja tidak dikancing dengan lengan digulung seperempat siku serta sepatu sneaker itu berjalan dengan gagah berjalan menuju ke arah kami. "Masya Allah … gantengnya Bang Randu, Bu." Wulan mendekatiku sembari menyodorkan kalkulator. Alat itu akan aku gunakan untuk menghitung kisaran besaran biaya untuk belanja kebutuhan hari esok. "Hust! Ingat dia suami orang!" Aku memukul lengan Wulan agar gadis itu mengalihkan pandangannya. Namun, perempuan yang umurnya jauh lebih muda dari aku itu mencibir sembari tersenyum. Memang, tidak aku pungkiri Bang Randu mempesona meskipun, umurnya tak lagi muda. Aku yakin semua orang sepakat kalau lelaki yang usianya sudah kepala empat itu masih terlihat tampan dengan gaya rambutnya yang dibelah tengah. Badannya pun terawat. Meski tubuhnya berisi tapi tidak ada lemak yang berkumpul di perutnya. Rata. "Assalamualaikum." Senyum ramah itu mengembang dari bibir Bang Randu."Waalaiku
"Mbak, bolehkan saya mengajak Wildan jalan-jalan?" Aku terperanjat kaget mendengar suara Bang Randu. Celingak-celinguk aku mencari keberadaan wanita tadi. Tapi, nihil di sekitar kami tidak ada apa-apa."Lin, kamu ngelamunin apa, sih. Ditanya dari tadi lho. Kenapa diam aja?" ucap Mbak Niswa sembari menyenggol lenganku. Astaghfirullah … jadi tadi aku hanya melamun? Tapi, bagaimana kalau lamunanku itu menjadi kenyataan? Aku bergidik ngeri membayangkan istrinya Bang Randu yang datang secara tiba-tiba. Bukan hanya nama baikku sebagai janda yang hancur, tapi sebagai pengusaha pun namaku akan rusak."Bukannya saya tidak mengizinkan, Bang. Tapi, bagaimana dengan istri Abang? Apakah dia memperbolehkan Abang jalan-jalan dengan anak saya? Kalau memang tidak ada izin dari istri Abang lebih baik tidak usah membawa Wildan keluar, Bang. Saya hanya tidak mau ada yang melabeli sebagai janda yang tidak baik. Terlebih, saya ini pengusaha. Harap Bang Randu bisa memaklumi kekhawatiran saya ini." Kutanggu
POV RaditTidak sia-sia aku mencari kontak Alina. Ya, meskipun bukan nomor pribadi setidaknya aku masih bisa berbicara padanya. Justru ada keuntungan tersendiri bagiku dengan nomor bisnisnya ini. Setidaknya bila dia memblokir nomorku yang ini, aku masih bisa menghubungi dengan nomor yang lainnya. Mumpung Desti sedang sibuk di toko. Aku akan menelpon Alina. Alasannya sih menanyakan Wildan. Sejujurnya aku ingin mendengar suara wanita yang masih ada namanya di sudut hatiku yang lainnya.Yes … terhubung. Hatiku berdebar tak karuan. Layaknya anak abege yang mau bertemu pacarnya. "Dengan Langgeng catering di sini. Ada yang bisa kami bantu?" Sial, ini bukan suara Alina. Mungkin, asistennya."Bisa bicara dengan Bu Alina?" Aku harus bisa bicara dengan mantan istri pertama itu."Ini dari siapa?" Pertanyaan gadis itu sangat menjengkelkan. Apa susahnya sih langsung dikasihkan ke Alina tanpa harus bertanya dari siapa? Ibunya Wildan pasti akan menolak bila tahu ini dari aku."Langsung saja kasihk
"Lin, kamu masih di sana, kan?" Aku memastikan keberadaannya."Aku lamaran atau belum tidak ada sangkut pautnya dengan kamu, Mas! Jadi jangan kepo dengan kehidupanku selanjutnya. Satu hal lagi. Aku akan memberikan seorang Ayah yang berkualitas untuk Wildan. Bukan lelaki seperti kamu, Mas! Tentu aku akan menikah dengan pria yang jelas bibit, bebet, bobotnya selain itu dia pun harus menyayangi anak semata wayangku. Bukan seperti bapaknya yang tega membuang anak kesayanganku. Mulai detik ini jangan pernah mencemaskan keadaan dan masa depan Wildan lagi. Dia sudah tidak butuh bapak macam kamu, Mas!" Alina berhasil menumpahkan seluruh unek-uneknya.Kata-kata yang ke luar dari mulut Alina sungguh sangat tajam. Tapi, aku harus tetap tenang. Tidak boleh terpancing emosi ini. Aku mengatur napas sebelum kembali menjawab ucapan Alina yang sebenarnya sangat menyakitkan hati ini."Apa tidak sebaiknya Wildan itu berkumpul dengan kedua orang tuanya, Lin? Daripada dengan bapak sambung yang notabenenya
"Mbak, tolong terima ini, ya. Tadi waktu jalan-jalan sama anak-anak secara nggak sengaja aku melihat ini. Bagus. Aku pikir akan cocok untuk Mbak Alina." Bang Randu kembali menyodorkan kotak persegi yang belum aku ketahui apa isinya tersebut.Aku tak paham kenapa lelaki itu menyebutkan dirinya aku. Padahal, tadi siang masih menyebut saya untuk dirinya sendiri. "Bang, saya ucapkan terima kasih banyak atas hadiah ini. Tapi, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya. Lebih baik untuk istri Bang Randu di rumah." Dengan halus dan sesopan mungkin aku menolak pemberian lelaki tersebut. Alangkah tidak tahu dirinya, bila aku menerima pemberian lelaki yang telah beristri. Berarti aku gagal menjadi janda bermartabat. Bang Randu hanya mengulum senyum saat mendapatkan penolakanku."Ini saya beli khusus untuk Mbak Alina. Jangan risaukan masalah istri saya." Dengan tenang lelaki itu kekeuh menyodorkan benda berwarna hitam padaku.Aku hanya terdiam di tempat, mata ini menelisik raut Bang Randu yang t
"Mbak Alina. Sampai detik ini aku belum menikah lagi. Jadi, jangan merasa menjadi wanita yang merebut suami orang. Sungguh, saya masih duda. Sekarang, ayo, kita berangkat!" Mematung diri ini setelah mendengar penjelasan Bang Randu. Dia masih sendiri? Sedikit lega hati ini. Setidaknya aku tidak akan merasa bersalah terhadap wanita lain yang kuduga istrinya. Satu jam kemudian kami sudah bersiap meninggalkan rumah. Mbak Niswa turut serta bersama kami. Tidak mungkin aku pergi hanya bertiga dengan lelaki yang bukan mahram. Kali ini Wulan tidak lagi bisa mendampingiku. Hari pernikahan yang semakin dekat, membuatku tak ingin merepotkannya. Tadi sore Wulan sudah aku suruh pulang. Kuberikan izin libur setengah bulan. Besok pagi akan kupintakan izin tidak masuk sekolah untuk Wildan. Mbak Niswa pun akan melakukan hal serupa.Ini perjalanan pertamaku ke Rawajitu. Kami hanya asal jalan dengan petunjuk alamat yang telah dikirimkan Bang Zaki.Sejak memasuki mobil milik Bang Randu kami hanya terdi
Kubuka amplop putih ini dengan diselimuti segenap rasa penasaran. Mulai kurobek ujungnya. Isinya kertas putih yang dilipat-lipat dengan baik oleh Mbak Mela. Segera kubuka lipatan kertas dengan perasaan yang tak karuan. Mulai kubaca dengan seksama rangkaian huruf demi huruf yang ditulis oleh Mbak Mela. "Assalamualaikum, De Alina.Saat surat ini ada di tanganmu berarti Mbak sudah tidak ada di dunia ini. Lin, kamu wanita baik dan selalu tulus terhadap orang lain. Sebab itu Mbak menitipkan Naya padamu, De. Bang Zaki tidak mungkin sanggup mengasuhnya seorang diri. Tidak mungkin pula orang tua Mbak yang sudah sepuh ikut menjaganya. Kamu kan tahu Mbak anak tunggal. Tidak ada saudara yang bisa membantu merawat Naya. Naya butuh sosok seorang Ibu yang seperti dirimu, De. Gampang bagi abangmu untuk menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, Mbak nggak rela bila anak semata wayang kami diberikan ibu tiri yang tidak sesuai keinginan Mbak, Lin. Mbak takut perempuan yang menikahi abangmu tidak sayan
Perempuan yang telah menjadi ibu sambungku pun segera meraihnya. Kacamata yang masuh dalam wadahnya pun segera beliau ambil. Benda itu kini sudah bertengger di hidung istrinya Bapak. Bunda mulai membaca dengan bantuan kaca mata tersebut."Bun. Baca yang keras coba, biar Bapak tahu isi suratnya tanpa harus membaca sendiri." Bapak memang sudah tidak jelas penglihatannya. Beliau harus dibantu kacamata saat membaca. Saat ini benda tersebut sedang tidak ia bawa.Kami semua terdiam mendengar Bunda membacakan isi surat tersebut. Raut Bunda dan Bapak pun berubah setelahnya. Beban berat jelas teroeta di wajah Bapak. Entah apa yang beliau pikirkan saat ini? "Menurut Abang, gimana ini?" Bunda bertanya pada putra keduanya yang sedang menunduk menatap keramik bercorak kayu yang saat ini menjadi tempat duduk kami.Bang Zaki segera mendongak saat namanya disebut Ibunya. "Untuk saat ini aku tidak bisa berpikir apapun, Bun. Kita bicarakan nanti setelah aku siap dengan semua ini." Aku paham dengan p
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter